A.
Pendahuluan
Syari’at
islam adalah seperangkat pranata aturan yang memiliki dimensi vertical dan
horizontal. Dalam tatanan vertical telah diatur hukum-hukum yang bersifat
ta’abudi, sebagaimana tata cara shalat dan puasa. Dalam wilayah ini, ketentuan-ketentuannya
berlaku sepanjang masa sebagaimana
adanya.
Dalam
tatanan hubungan horizontal yang menyangkut sesama manusia yang sebagian besar
bersifat muamalah. Dalam menawarkan solusi dari berbagai problematika
kehidupan, antara lain: qiyas,maslahah mursalah, ishtihsan, ‘‘Urf, dan
lainnya. Dalam menetapkan hukum melalui dalil tersebut, para ulama masih
memperselisihkan penggunaannya.
Untuk itu dalam makalah ini penulis ingin
mengulas pendapat para ulama tentang kehujjahan ‘‘Urf dan maslahah mursalah
sebagai salah satu dalil dalam pensyari’atan hukum.
B.
Pengertian
Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, maslahah berarti
manfa’at dan kebaikan, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu
kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir
kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau
pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau
tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh
syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi
menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’
atas dasar memelihara kemaslahatan.
Menurut ishtilah, maslahah mursalah
ialah kemashlahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan
tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.[1] Pada
hakekatnya, maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi) dan
sisi negatif (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan kebaikan (ijad
al-manfa’ah). Sedang sisi negatif berupa menolak kerusakan atau bahaya (daf
al-mafsadah). [2]
C. Kehujjahan Masalihul Mursalah.
Hukum Islam diciptakan adalah untuk menuju kemaslahatan manusia pada semua
tempat dan waktu.[3]
Jumhur ulama menolak mashalihul mursalah sebagai sumber hukum dengan alasan
berikut ini :
1. Dengan nash-nash yang ada dan cara qiyas yang benar, syara’
senantiasa mampu merespons masalah yang muncul demi kemaslahatan manusia.
2. Bila menetapkan hukum hanya berdasarkan kemaslahatan berarti dapat
membuka pintu keinginan hawa nafsu.
Sementara imam syafi’i membolehkan berpegang mashalihul mursalah dengan
syarat harus sesuai dengan dalil kulli atau dalil juz’i dan syara’.[4]
Sedangkan Imam Malik membolehkan secara mutlak, dengan alasan sebagi berikut :
1. Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk
merealisasikan kemashlahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah
mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya
serta tujuan pensyari’atannya.
2. Bahwa setiap hukum selalu mengandung kemaslahatan bagi manusia. Rasul
diutus juga untuk menjadi rahmat bagi setiap alam. Kemaslahatan manusia ,akan
senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka
sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan
membawa kesulitan manusia.
3. Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak
melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun
dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.
Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil
hanya maslahah dharuriyah. Sedang maslahah hajiyah dan maslahah
tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
D. Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah dapat
dijadikan sebagai dalil dengan syarat:
1. Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah
yang diduga atau diasumsikan;
2. Kemashlahatan tersebut harus kemashlahatan umum, bukan kemashlahatan
pribadi atau kemashlahatan khusus.
3. Kemashlahatan tersebut sesuai dengan maqashid al-syari’ah dan tidak
bertentangan dengan dalil-dalil syara’;
4. Kemashlahatan tersebut harus selaras dan sejalan dengan akal sehat. Artinya
kemashlahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
5. Pengambilan kemashlahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemashlahatan
dharuriyah, bukan kemashlahatan hajiyah atau tahsiniyah.
E.
Pembagian Maslahah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah,
para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu :
1. Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu
kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus
yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya
terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras
dalam hadits Rasulullah
saw hukuman bagi pencuri dengan keharusan mengembalikan barang curiannya, jika
masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang
dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga
maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama,
qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk
menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sabetan kepada peminum arak untuk
menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.
2. Maslahah al-Mulghah, yaitu
kemaslahatan yang ditolak oleh syara’,
karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-
turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang dibanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa’ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).
karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-
turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang dibanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa’ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).
3. Maslahah al-Mursalah, yaitu
kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan
atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah
yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum
qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
(a)
Maslahah
al-Gharibah,
yaitu
kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan
dari syara’, baik secara rinci mapun secara umum. Para ulama ushul fiqh (masa
itu) tidak dapat menemukan contoh pastinya. Bahkan Imam as-Syathibi mengatakan
kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada dalam
teori.
(b)
Maslahah
al-Mursalah,
yaitu
kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’
atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadist).
atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadist).
Macam-Macam Maslahah
Berdasarkan Tingkatannya. Berdasarkan
pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah,
para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan[5]:
1. Maslahah Dhoruriyyat, Yaitu maslahah yang ditetapkan demi keberlangsungan hidup
manusia di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini tidak terealisisir,
maka hilanglah kehidupan manusia di dunia, hilanglah kenikmatan dan tersiksalah
di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang telah disebutkan di atas, yang
menjadi maqasid al-syari’ah.
2. Maslahah Hajiyyat, Yaitu maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk
menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah tersebut tidak
tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan kesusahan, tidak sampai
menghilangkan kehidupannya.[6]
Maslahah ini terdapat pada masalah furu’ yang bersifat mu’amalah, –seperti jual
beli– serta berbagai macam keringanan (rukhsoh) yang telah ditetapkan oleh
syari’, misalnya menjama’ dan menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagai
orang orang hamil dan menyusui dan lain sebagainya.
3. Maslahah Tahsiniyyat, Yaitu maslahah yang dimaksudkan untuk memperbaiki adat
kebiasaan dan memulyakan akhlak manusia. Seperti bersuci ketika akan melakukan
shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya makanan yang kotor dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemashlahatan
dhorury menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum
yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifat tahsiniy/takmily.
F.
Para
ulama tentang Maslahah Mursalah
1.
Pandangan Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah
Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai
ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah
menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
a.) Praktek
para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat
mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan
pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga
al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu,
merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan
alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
b.) Adanya
maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena
itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang
berdiri sendiri.
c.) Seandainya
maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka
orang-orang mualaf akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:
Artinya;
“Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj
78). Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah.
2. Pandangan
golongan syafi’i dan hanafi
Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi
tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan
memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah
mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
a.) Penerapan
maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
b.) Posisi
maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya
pada sebagian yang lain.
c.) Penerapan
maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam.
3. Pandangan
jumhur ulama
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai
metode ishtinbath hukum dengan alasan:
a.) Hasil
induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia.
b.) Kemaslahatan
manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan
mereka sendiri. Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada
saja, akan membawa kesulitan.
G.
Kemashlahatan
dalam Pandangan
Ulama Al- Thufi
Najm al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M),
sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-maslahah al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan
menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik maslahah
itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi maslahah
tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.[7]
Di antara pemikiran at-Thufi yang amat
bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsep maslahah bertolak
dari hadis Rasulullah yang berbunyi :
Tidak
boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang
termuat dalam nash adalah maslahah bagi
umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari’atkan dan
kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik
oleh nash tertentu
maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah nash. Oleh
karena itu, maslahah menurutnya
merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan
dalam menentukan hukum syara’.
Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada
bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di
atas, atas empat dasar sebagai berikut;
1) Akal
manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahat dan mana mafsadat. Karena
akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang mafsadat.
2) Maslahat
menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nash.
3) Lapangan
operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang
ibadah dan muqoddarod.
4) Maslahat merupakan dalil hukum Islam yang
paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika
tidak ada nash dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nash dan ijma’
ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif
Surtmaputra, pengutamaan maslahat atas nash dan ijma’ tersebut dilakukan oleh
at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nash,
sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.[8] Pengutamaan
maslahah atas nash qoth’i dan ijma’ didasarkan pada argumen:
a.
Bahwa
ijma’ itu kehujahannya diperselisihkan oleh para ulama, sedang maslahah
disepakati termasuk oleh mereka yang menentang ijma’. Ini berarti bahwa
mendahulukan sesuatu yang disepakati (maslahah) atas sesuatu yang di
perselisihkan (ijma’), lebih utama di mata al-Thufi.
b.
Bahwa
nash itu banyak mengandung pertentangan, dan hal inilah, yang salah satunya,
menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat yang tercela dalam hukum menurut
pandangan syara’. Sedang, memelihara maslahah secara substansial
merupakan sesuatu yang hakiki, yang tidak diperselisihkan. Dengan demikian,
pengutamaan maslahah merupakan sebab terjadinya kesepakatan yang
dikehendaki oleh syara’.
Meskipun terdapat sejumlah kritik
terhadap konsep dan argumentasi yang dikemukakan oleh at- Thufi, namun pada
kenyataan teorinya banyak diikuti para ulama generasi berikutnya.
H.
Pengertian ‘Urf :
‘Urf adalah : sesuatu yang telah dikenal dengan orang banyak dan
telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau
keadaan meninggalkan. Ia juga disebut : adat. Sedangkan menurut istilah para
ahli syara’, tidaka ada perbedaan antara ‘urf dan adat kebiasaan. Maka ‘urf
yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual
beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shighat lafzhiyyah (ungkapan
melalui perkataan). Sedangkan ‘urf yang bersifat pemutlakan lafazh “Al-walad”
terhadap anak laki-laki, bukan anak perempuan, dan saling pengertian mereka
untuk tidak memutlakan lafazh “Al-Lahm” (daging) terhadap ikan.
‘Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak,
sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari
masyarakat, dan kelompok elite mereka. Ini berbeda dengan ijma’, karena
sesungguhnya ijma’ terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan
orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.
I.
Pembagian ‘Urf :
Dilihat dari segi obyeknya, ‘Urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan
urf amali :
1.
Urf lafzhi ialah kebiasaan
masyarakat dalam mempergunakan lafazh tertentu dalam mengungkapkan sesuatu,
sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas di pikiran
masyarakat. Seperti kebiasaan masyarakat arab menggunakan kata “walad” untuk
anak laki-laki. Padahal, menurut makna aslinya kata itu berarti anak laki-laki
dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka menggunakan kata “lahm”
untuk daging binatang darat, padahal Alqur’an menggunakan kata itu untuk semua
jenis daging, termasuk daging ikan, penggunaan kata “dabbah” untuk binatang
berkaki empat, padahal kata ini menurut aslinya mencakup semua binatang yang
melata.
2.
Urf amali ialah kebiasaan
masyarakat yeng berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperadatan.
Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa akad (bai’al-tha’thi),
kebiasaan sewa kamar mandi tanpa dibatasi waktu dan jumlah air yang digunakan,
kebiasaan sewa-menyewa perabot rumah, penyajian hidangan bagi tamu untuk
dimakan, mengunjungi tempat-tempat rekreasi pada hari libur, kebiasaan
masyarakat memberi kado pada acara ulang tahun, dan lain-lain.
Dari
segi cakupannya Urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash:
1.
Urf amm ialah kebiasaan
tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah.
Contoh urf amm yang berbentuk perbuatan misalnya dalam jual beli mobil, seperti
kunci, tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad
tersendiri dan biaya tambahan. Yang berupa ucapan (al-urf al-qouli al-amm)
misalnya pemakaian/pemaknmaan kata “thalaq” untuk lepasnya ikatan perkawinan
dan lain-lain.
2.
Urf khash ialah kebiasaan
yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, seperti kebiasaan masyarakat
jawa merayakan lebaran ketupat, sekatenan, atau kebiasaan masyarakat bengkulu
merayakan tabot pada bulan muharram. Demikian juga kebiasaan yang berlaku pada
bidang pekerjaan dan profesi tertentu, seperti kebiasaan di kalangan
pengacarahukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dilakukannya harus dibayar
dahulu sebagian oleh kliennya dan kebiasaan mencicipi buah tertentu bagi calon
pembeli untuk mengetahui rasanya. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa seperti dikutip
Haroen, bahwa urf khash ini tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang
sesuai situasi dan kondisi masyarakat.
Dilihat
dari segi diterima atau ditolaknya urf dubagi dua yaitu:
1.
Urf shahih, ialah urf yang
tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’, tidak bertentangan dengan
masalah mu’tabarah dan tidak mendatangkan mafsadah yang nyata. Urf shahih
adalah urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan
syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum akad nikah. Atau kebiasaan
masyarakat bersalaman dengan teman sesama jenis kelamin kala bertemu.
2.
Urf fasid, yaitu urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima
karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian. Atau
seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.
Hukum urf yang shahih harus
dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian dari hukum islam. Sedangkan urf
fasid harus ditinggalkan kerana bertentangan dengann dalil dan semangat hukum
islam dalam membina masyarakat.
J.
Hukum ‘Urf :
Adapun ‘Urf yang shahih, maka wajib dipelihara dalam pembentukan
hukum dan dalam peradilan. Seorang mujtahid haruslah memperhatikan tradisi
dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikannya dalam
peradilannya. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan
sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari
kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu,
maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara’, maka wajib diperhatikan.
Syar’i telah memelihara terhadap tradisi bangsa arab dalam pembentukan
hukumnya. Misalnya, menetapkan kewajiban denda atas orang perempuan berakal,
mensyarat kan adanya keseimbangan (Kufu’) dalam perkawinan dan
memperhitungkan ahli waris yang tidak mendapat bagian pasti dalam perwalian dan
pembagian harta waris.
Oleh
karena itu Ulama’ berkata :
العادة شريعة محكّمة
Artinya
:
“adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”.
‘Urf mendapat pengakuan di dalam syara’. Imam banyak mendasarkan
hukumnya atas amal perbuatan penduduk madinah. Abu hanifah dan para pemgikutnya
berbeda pendapat mengenai sejumlah hukum
berdasarkan perbedaan ‘Urf mereka. Imam Syafi’i ketika turun ke mesir, maka ia
merubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika ia berada di
baghdad, karena perubahan ‘urf. Karena ini pula lah, maka ia mempunyai dua
mazhab, yaitu :
1.
Mazhab
lama, dan
2.
Mazhab
baru.
Demikian
pula di dalam fiqh mazhab Hanafiyyah terdapat sejumlah hukum yang di dasarkan
atas ‘urf. Diantaranya ialah : apabila dua orang yang saling dakwa-mendakwa
berbeda pendapat dan tidak ada bukti pada salah seorang dari mereka, maka
perkataan yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh ‘urf. Apabila suami
isteri tidak sepakat atas mahar yang harus didahulukan dan mahar yang
diakhirkan penyerahannya, maka hukum yang diputuskan adalah kebiasaan. Barang
siapa yang bersumpah tidak akan memakan daging, kemudian ia memakan ikan, maka
ia tidak melanggar sumpahnya, atas dasar kebiasaan (‘Urf). Benda yang dapat
dipindah-pindahkan sah untuk diwakafkan apabila ‘Urf tentang hal itu berlaku.
Persyaratan dalam perjanjian adalah sah apabila ada pengakuan oleh syara’, atau
dikehendaki oleh perjanjian itu sendiri, atau diberlakukan oleh ‘urf.
Almarhul
al-‘alamah ibnu ‘Abidin telah menyusun sebuah risalah yang ia namakan :
نشرالعرف
فيما بني من لأحكام على العرف
(penyebaran
‘urf dalam hukum yang didasarkan atas ‘urf)
Diantara
ungkapan yang terkenal ialah :
المعروف
عرفا كا لمشروط شرطا. والثّابت با لمعروف كالثّابت بالنّصّ.
Artinya :
“sesuatu yang
dikenal sebagai adat kebiasaan adalah seperti sesuatu yang dipersyaratkan
sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu
yang tetap berdasarkan nash”.
Adapun
‘urf fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka ia tidak wajib diperhatikan,
karena memperhatikannya berarti bertentangan dengan dalil syar’i, atau
membatalkan hukum syar’i. Maka apabila manusia telah terbiasa mengadakan suatu
perjanjian yang termasuk diantara perjanjian yang fasid, seperti perjanjian
yang bersifat riba, atau perjanjian yang mengandung penipuan atau bahaya, maka
‘urf ini tidak mempunyai pengaruh terhadap pembolehan perjanjian tersebut. oleh
karena inilah, maka dalam undang-undang yang dibuat, ‘urf yang bertentangan
dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui. ‘urf hanyalah dilihat dalam
perjanjian seperti ini dari segi lain, yaitu : sesungguhnya perjanjian itu
apakah termasuk kondisi darurat manusia atau termasuk dari kebutuhan mereka,
dimana apabila akad itu dibatalkan, maka struktur krhidupan mereka akan rusak,
atau mereka akan memperoleh keberatan dan kesempitan ataukah tidak ? jika akad
tersebut termasuk kondisi darurat mereka atau kebutuhan mereka, maka ia
diperbolehkan. Karena sesungguhnya darurat memperbolehkan hal-hal terlarang.
Sedangkan kebutuhan ditempatkan pada tempat darurat dalam masalah ini. Akan
tetapi jika ia tidak termasuk kondisi darurat mereka dan tidak pula termasuk
kebutuhan mereka, maka ia diputuskan kebatalannya, dan tidak di akui adanya
‘urf itu.
Hukum
yang didasar kan atas ‘urf dapat berubah dengan perubahannya pada suatu masa
atau tempat. Karena sesungguhnya cabang akan berubah dengan perubahan pokoknya.
Oleh karena inilah dalam perbedaan pendapat semacam ini, fuqaha’ mengatakan :
“sesungguhnya perbedaan tersebut adalah perbedaan masa dan zaman, bukan
perbedaan hujjah dan dalil”.
Setelah
dibuktikan, sebenarnya ‘urf bukanlah suatu dalil syar’i yang berdiri sendiri.
Biasanya ‘urf adalah termasuk dari memelihara maslahah mursalah. Sebagaimana
ia diperhatikan didalam pembentukan berbagai hukum, ia juga diperhatikan dalam
menginterpretasikan nash-nash. Ia dapat dipergunakan untuk mentakhsishkan
lafazh yang ‘am (umum), dan membatasi terhadap yang mutlak. Qiyas terkadang
ditinggalkan karena ada ‘urf. Oleh karena itulah perjanjian produksi adalah
sah, karena berlakunya ‘urf padanya. Jika di qiyaskan, tentu ia idak tidak sah,
karena ia merupakan perjanjian atas`sesuatu yang tidak ada.
KESIMPULAN
maslahah mursalah ialah kemashlahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’
dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyruh mengambil atau
menolaknya.
Syarat-syarat maslahah
mursalah:
1.
Maslahah tersebut harus maslahah yang
hakiki,
2.
Kemashlahatan tersebut
harus kemashlahatan umum,
3.
Kemashlahatan tersebut
sesuai dengan maqashid al-syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil
syara’,
4.
Kemashlahatan tersebut
harus selaras dan sejalan dengan akal sehat,
5.
Pengambilan
kemashlahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemashlahatan dharuriyah.
Pembagian maslahah
dari segi pandangan syara’: Maslahah mu’tabarah, Maslahah mulghah,
dan Maslahah mursalah.
Pembagian maslahah berdasarkan tingkatannya: Maslahah dharuriyah,
Maslahah hajiyah, dan Maslahah tahsiniyah
‘‘Urf adalah segala
sesuatu yang sudah di kenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan,
perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Syarat-syarat ‘‘Urf:
1.
‘Urf
tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan masyarakat,
2.
‘Urf
tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf
tersebut ditetapkan,
3.
Tidak
terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya,
4.
‘Urf
tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum syari’at.
Pembagian ‘‘Urf
dari segi obyeknya:’Urf lafzil qauli dan ‘Urf amali Pembagian ‘‘Urf
dari segi cakupannya adalah ‘Urf amm dan ‘Urf khash.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Jawari Mughni Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Ilmi, Bairut, 1975
Ø Al-imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Multazam At-tib’u Wa
An-nashr, 1958
Ø Ptof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus,
2005
Ø Prof. Dr. Satria Efendi,m. Zein, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana,
2008
Ø Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Drs. H. Januri, M. Ag., Fiqh Ushul
Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Ø Suwarjin, M.A Ushul Fiqh, Teras, Yogyakarta, 2012
[1] Nasrun
Haroen, ushul fiqh, jakarta, logos, 1997
[2] Zaidan, al-
Wajiz, beirut, muassasah al-risalah, 1996
[3] ibid
[4] Ibid,
hlm. 240
[5] Alaidin
Koto, ilmu fiqh dan ushul fiqh (jakarta, raja grafindo persada, 2004,
hlm 122
[6] Az-zuhaili,
ushul, hlm.125
[7] Suwarjin,
ushul Fiqh, yogyakarta, teras, 2012, hlm. 146
[8] Ibid,
hlm. 147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar