PENDAHULUAN
Metode
tafsir tematik yang disebut-sebut sebagai metode yang mampu menjawab tantangan
zaman memang menarik untuk dikaji. Jika menilik pada metode-metode tafsir yang
lama memang ditemui ketidak relevanan metode tersebut dengan masalah-masalah yang
terjadi sekarang. Metode tersebut belum bisa menyelesaikan permasalahan sampai
tuntas. Atas hal inilah metode tematik menjadi sangat penting. Metode ini
mempunyai keunggulan tersendiri dibanding metode yang lain. Untuk menerapkan
metode tersebut maka hal yang harus dilakukan adalah memahami tentang apa dan
bagaimana metode tematik itu. Agar dalam penerapannya nanti tidak terjadi
penyimpangan-penyimpanagn terhadap penafsiran Alquran.
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN :
Menurut bahasa, al-aud}u’i berasal dari
kata al-wad}’u yang dibentuk dari wad}a’a-yad}i’u-wa>d}i’un-maud}u>’un
yang artinya menjadikan, meletakkan, atau menetapkan sesuatu pada
tempatnya.[1]
Sementara itu menurut istilah, Tafsir dengan
metode maud}u’i adalah
metode tafsir secara tematik yang mana menafsiri Alquran dengan tema tertentu
disertai penjelasan yang detail berikut hal-hal yang berhubungan dengan ayat
tersebut, asba>b al-nuzu>l,
muna>sabah dan lain sebagainya. Menurut pendapat Prof.
Nashruddin Baidan, yang dimaksud metode tafsir tematik (maud}u’i) adalah metode yang
membahas ayat-yat Alquran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditentukan.
Semua ayat yang berkaitan dikumpulkan kemudian dikaji secara mendalam dan
tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti Asba>b al-nuzu>l, Muna>sabah, kosakata,
dan sebagainya, kemudian disertai fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah, baik argumen dari Al-Qur’an, hadi>s\, maupun rasionalitas.
Menurut Dr. Abd. Al-Hay Al-Farmawi dalam
bukunya Metode Tafsir Maud{u’i di sebutkan bahwa nama dan istilah
“Tafsir Maud}u’i” ini, dalam bentuknya yang kedua, adalah istilah baru dari
ulama sekarang dengan pengertian “menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai
maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan
menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut.
kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil
kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode
Maud}u’i, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan
melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk
menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut
dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk
memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[2]
Salah satu pesan Ali> bin Abi> T{a>lib adalah : “Ajaklah
Al-Qur’an berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara
lain mengharuskan penafsir merujuk kepada Al-Qur’an dalam rangka memahami
kandungannya. Dari sini lahir metode Maud}u’i dimana Mufassirnya berupaya
menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan
atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan
menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang
utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut
Quraisy S>{ihab berasal dari Muhammad Syalt}ut. Dalam hubungan ini Quraisy
S{ihab mengatakan, bahwa pada bulan juli 1960, Syaikh Mahmu>d Syalt{ut
menyusun kitab tafsir berjudul Tafsi>r Al-Qur’an al-Kari>m, dalam
bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w. 1388 M.) yaitu bahwa
setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda, ada satu
sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda
tersebut. berdasarkan ide Al-Syatibi tersebut, Syalt{ut tidak lagi menafsirkan
ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu
dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam
satu surat tersebut.
Namun menurut Quraisy S{ihab, apa yang ditempuh oleh Syalt{ut belum
menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Qur’an dipaparkan dalam bentuk
menyeluruh, karena seperti dikemukakan diatas, bahwa satu masalah dapat
ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua
ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu
dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir
dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam
puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maud{u’i gaya
Mahmud Syalt{ut diatas.
Berdasarkan data tersebut, Quraisy S{ihab sampai pada kesimpulan
bahwa metode Maud{u’i mempunyai dua pengertian yaitu :
Pertama,
penafsiran
menyangkut satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya
secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan
persoalan-persoalan yang beranekaragam dalam surat tersebut antara satu dengan
lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan
berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran
yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah
tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur’an dan yang sedapat mungkin
diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian
menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh
tentang masalah yang dibahas itu.[3]
·
Macam-Macam Bentuk Kajian
Tafsir Maud{u’i :
Seperti yang telah disebut kan oleh Quraisy S{ihab sebelumnya, Dr. Abd. Al-Hay Al-Farmawi dalam bukunya Metode
Tafsir Maudhu’i, menyebutkan ada dua bentuk kajian Tafsir Maud{u’i. Kedua
bentuk kajian Tafsir Maud{u’i yang dimaksud adalah :
1)
pembahasan mengenai satu
surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat
umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh
dan cermat.
2)
menghimpun sejumlah ayat dari
berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat
tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu tema bahasan, dan
selanjutnya ditafsirkan secara Maud{u’i. Bentuk kajian tafsir Maud{u’i
yang kedua inilah yang lazim terbayang dibenak kita ketika mendengar
istilah Tafsir Maud{u’i itu ketika diucapkan.[4]
Disisi lain, ada juga bentuk-bentuk kajian Tafsir Maud{u’i yang
penulis adobsi dari buku Metode penelitian Al-Qur’an dan Tafsir karangan
Dr. H. Abdul Mustaqim yang menyebutkan bahwa ada empat macam bentuk kajian
dalam tafsir Maud{u’i, ke-empat bentuk kajian Tafsir Maud{u’i yang dimaksud
adalah sebagai berikut :
1)
Tematik surat, yakni model
kajian tematik dengan meneliti surat-surat tertentu.
2)
Tematik Term, yakni model
kajian tematik yang secara khusus meneliti term (istilah-istilah) tertentu
dalam Al-Qur’an.
3)
Tematik konseptual, yakni
kajian pada konsep-konsep tertentu yang secara eksplisit tidak disebut dalam
Al-Qur’an, tetapi secara substansial ide tentang konsep itu ada dalam
Al-Qur’an.
4)
Tematik tokoh, yakni kajian
tematik yang dilakukan melalui tokoh. Misalnya ada tokoh yang mempunyai
pemikiran tentang konsep-konsep tertentu dalam Al-Qur’an.[5]
B.
KONSEP
METODOLOGIS :
Sesuai dengan namanya, metode penafsiran Maud{u’i (Tematik)
adalah upaya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan memfokuskan pada Maud{u’
(tema) yang telah ditetapkan dengan mengkaji secara serius tentang
ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut. Topik inilah yang menjadi ciri
utama dari metode Maud{u’i.
Diantara tokoh pemikir (baca: penafsir) kontemporer yang mendukung
gagasan penelitian model tematik adalah Hasan Hanafi. Beliau menawarkan
langkah-langkah model tafsir tematik juga perlu diadobsi dalam riset-riset
ilmiah. Metode tematik ala Hasan Hanafi yang ia sebut sebagai (rulers of
tematic interpretation) dapat diringkas sebagai berikut :
1)
Socio-political commitment, Artinya
seorang mufasir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya
terhadap problem sosial politik tertentu. Dengan lain ungkapan, setiap mufassir
yang muncul harus dilandasi oleh keprihatinan-keprihatinan tertentu atas
kondisi kontemporernya.
2)
Looking for something, Artinya
seorang mufasir perlu bercermin pada proses lahirnya teks Al-Qur’an yang
didahului oleh realitas, dan ia harus merumuskan tujuannya. Sebab tidak mungkin
seorang mufasir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin
dicapainya.
3)
Synopsis of the verses
concerning one theme. Dari rumusan komitmen dan tujuannya, barulah
seorang mufassir dapat mengiinventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang
menjadi komitmennya.
4)
Classification of the
linguistic form. Melakukan klasifikasi bentuk-bentuk bahasa.
Dari inventarisasi ayat kemudian diklasifikasikan atas dasar bentuk-bentuk
linguistik sebagai landasan bagi langkah kelima.
5)
Building the structure, yaitu
membangun sturktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju, sehingga makna
dan objek yang dituju menjadi satu kesatuan. Makna adalah subjek-objek,
demikian pula tujuan atau sasaran adalah obyek-subjek sekaligus.
6)
Analyzing the factual
situation. Analisis terhadap problem faktual dalam situasi
empirik (realitas) yang dihadapi penafsir, misalnya isu kemiskinan, penindasan,
pelanggaran hak manusia dan sebagainya.
7)
Comparation between the ideal
and the real. Membandingkan struktur ideal sebagai hasil
deduksi teks dengan problem faktual yang diinduksikan dari realitas empirik
melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.
8)
Description of the mode of
action. Menggambarkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses
penafsiran yang transformatif. Inilah yang dimaksud dari realitas menuju teks
dan teks menuju realitas. Ini pula yang dimaksud oleh Hasan Hanafi, bahwa
penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial penafsir dalam struktur
sosial. Dengan kata lain, menurut Hasan Hanafi tafsir adalah jawaban teoritis
yang dirumuskan Al-Qur’an atas berbagai problem kemasyarakatan yang mestinya
dapat diterapkan dalam dataran praksis tidak berhenti pada level teoritis
belaka. Tafsir dengan demikian selalu berakhir dalam praksis-empiris. Dari sini
tampak bahwa elaborasi Hasan Hanafi tentang metode tafsir tematik jauh lebih
canggih dan rinci.[6]
Disisi
lain, ada juga langkah-langkah model riset tematik yang penulis adobsi dari
buku Metode Tafsir Maudhu’i karangan Dr. Abd. Al-Hay Al-Farmawi, dalam
buku ini disebutkan langkah-langkah atau cara kerja metode tafsir Maud{u’i yang
dapat dirinci sebagai berikut :
1)
Memilih atau menetapkan
masalah Al-Qur’an yang akan dikaji secara Maud{u’i (tematik).
2)
Melacak dan menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan , ayat makiyyah dan
madaniyyah.
3)
Menyusun ayat-ayat tersebut
secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai
latar belakang turunnya ayat atau Asba>b al-nuzu>l.
4)
Mengetahui korelasi (muna>sabah)
ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
5)
Menyusun tema bahasan didalam
kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline).
6)
Melengkapi pembahasan dan
uraian dengan hadis\, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin
sempurna dan semakin jelas.
7)
Mempelajari ayat-ayat
tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang
mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan
Khas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan
ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasi>kh dan
mansu>kh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa
perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada
makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[7]
·
Kelebihan dan kekurangan
metode Maud{u’i :
Sebagai
suatu metode, maud{u’i mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri :
a)
Kelebihannya :
1.
Metode ini dapat
menghindarkan kita dari problem dan kelemahan metode lain.
2.
Karena metode ini menafsirkan
ayat dengan ayat atau hadis, yang dikenal sebagai cara terbaik dalam
menafsirkan Al-Qur’an, maka dengan sendirinya hasilnya lebih memuaskan, serta
objektivitasnya lebih tinggi.
3.
Kesimpulan yang dihasilkannya
mudah dipahami karena ia membawa kita kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan
berbagai pembahasan rinci mengenai satu disiplin ilmu. Juga membuktikan bahwa
persoalan yang disentuh Al-Qur’an tidak teoritis, sebab ia diharapkan dapat
membawa kita kepada jawaban-jawaban Al-Qur’an mengenainya. Dengan demikian
metode ini mengembalikan Al-Qur’an sebagai fungsinya sebagai kitab suci yang
menunjuki (hu>dan).
4.
Metode ini menolak adanya
anggapan bahwa didalam Al-Qur’an
terdapat pertentangan diantara ayat-ayatnya, dan sekaligus menjadi bukti
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dapat memimpin perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta perubahan sosial.
b)
Kekurangannya :
Seperti
pada setiap metode, kelemahan-kelemahan bisa saja terjadi pada metode maud{u’i.
Kelemahan itu bisa terjadi terutama dari segi subjek/mufasir yang tidak
sama kemampuannya dalam menguasai ilmu alat dalam menerapkan langkah-langkah
metode ini. Demikian pula, karena metode ini memusatkan perhatian kepada
ayat-ayat yang menyangkut topik/masalah tertentu, maka bisa saja pembahasan
ayat/surah tidak tuntas, karena yang tuntas adalah pembahasan ayat mengenai
topik tertentu.[8]
C.
ANALISA
PENULIS :
Tafsir maud{u’i merupakan
metode tafsir yang memang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan sampai
tuntas. Dengan kelebihannya yang sanggup memenuhi tantangan zaman mampu membuat
Alquran tidak stagnan dan berkembang dalam menyelesaikan setiap permasalahan
yang semakin kompleks di tiap zamannya. Inilah yang dimaksud dari
realitas menuju teks dan teks menuju realitas. Ini pula yang dimaksud oleh
Hasan Hanafi, bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial penafsir
dalam struktur sosial. Dengan kata lain, menurut Hasan Hanafi tafsir adalah
jawaban teoritis yang dirumuskan Al-Qur’an atas berbagai problem kemasyarakatan
yang mestinya dapat diterapkan dalam dataran praksis tidak berhenti pada level
teoritis belaka.
Tafsir dengan metode ini juga memberikan suatu
pemahaman yang mudah untuk dipahami, karena dalam kajiannya, tafsir ini tidak
terlalu bertele-tele/berlebihan dalam memberikan suatu penjelasan/penafsiran,
kalaupun memberikan penafsiran/penjelasan dengan panjang lebar meliputi
berbagai aspek nya, namun penafsiran dengan metode ini tetap tidak akan
kehilangan arah penjelasannya, karena didalam metode ini dibatasi oleh
tema-tema tertentu, oleh karenanya dapat dikatakan bahwa metode ini tidak akan
pernah memberikan penjelasan yang bertele-tele sehingga membuat pembaca merasa
sulit. Berbeda dengan metode yang lain,
sebut saja metode tahlili, dimana dalam metode ini seorang penafsir berupaya
untuk menguak seluruh isi atau kandungan ayat-ayatnya dari berbagai aspeknya
tanpa dibatasi oleh tema-tema tertentu, oleh karenanaya tafsir dengan metode
ini cenderung sulit untuk dipahami, dan terkesan bertele-tele dalam memberikan
penjelasan.
Kemudian, penafsiran dengan menggunakan metode ini
juga akan menghantarkan pembaca untuk memahami suatu permasalahan secara
mendalam, lebih dalam dari metode-metode yang lain. Karena fokus bahasan pada
metode ini hanyalah terbatas pada suatu tema tertentu, sehingga sudah barang
pasti pembaca akan mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam dan jelas.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Samsurrohman,
M.Si., Pengantar Ilmu Tafsir, AMZAH, Jakarta, 2014.
·
Dr. Abd.
Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1994.
·
Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2013, Hlm :222.
·
Dr. H. Syahrin
Harahap, MA., Metodologi studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, PT
RajaGrafindo, Jakarta, 2000, Hlm :20
·
Dr. H. Abdul Mustaqim, Metode Penelitian
Al-Qur’an dan Tafsir, Idea Press, Yogyakarta, 2014,
[1] Samsurrohman, M.Si., Pengantar
Ilmu Tafsir, AMZAH, Jakarta, 2014, Hlm :123.
[2] Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm :36.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata,
M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hlm
:222.
[4] Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm :35.
[5] Dr. H. Abdul Mustaqim, Metode
Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Idea Press, Yogyakarta, 2014, Hlm :61.
[6] Dr. H. Abdul Mustaqim, Metode
Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Idea Press, Yogyakarta, 2014, Hlm :63.
[7] Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode
Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm :45.
[8] Dr. H. Syahrin Harahap, MA., Metodologi
studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2000, Hlm
:20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar