Minggu, 04 Desember 2016

Metode Tafsir Maudhu'i (Tematik)






PENDAHULUAN
Metode tafsir tematik yang disebut-sebut sebagai metode yang mampu menjawab tantangan zaman memang menarik untuk dikaji. Jika menilik pada metode-metode tafsir yang lama memang ditemui ketidak relevanan metode tersebut dengan masalah-masalah yang terjadi sekarang. Metode tersebut belum bisa menyelesaikan permasalahan sampai tuntas. Atas hal inilah metode tematik menjadi sangat penting. Metode ini mempunyai keunggulan tersendiri dibanding metode yang lain. Untuk menerapkan metode tersebut maka hal yang harus dilakukan adalah memahami tentang apa dan bagaimana metode tematik itu. Agar dalam penerapannya nanti tidak terjadi penyimpangan-penyimpanagn terhadap penafsiran Alquran.












PEMBAHASAN
A.  PENGERTIAN :
Menurut bahasa, al-aud}u’i berasal dari kata al-wad}’u yang dibentuk dari wad}a’a-yad}i’u-wa>d}i’un-maud}u>’un yang artinya menjadikan, meletakkan, atau menetapkan sesuatu pada tempatnya.[1]
Sementara itu menurut istilah, Tafsir dengan metode maud}u’i adalah metode tafsir secara tematik yang mana menafsiri Alquran dengan tema tertentu disertai penjelasan yang detail berikut hal-hal yang berhubungan dengan ayat tersebut, asba>b al-nuzu>l, muna>sabah dan lain sebagainya. Menurut pendapat Prof. Nashruddin Baidan, yang dimaksud metode tafsir tematik (maud}u’i) adalah metode yang membahas ayat-yat Alquran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditentukan. Semua ayat yang berkaitan dikumpulkan kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti Asba>b al-nuzu>l, Muna>sabah, kosakata, dan sebagainya, kemudian disertai fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen dari Al-Qur’an, hadi>s\, maupun rasionalitas.
Menurut Dr. Abd. Al-Hay Al-Farmawi dalam bukunya Metode Tafsir Maud{u’i di sebutkan bahwa nama dan istilah “Tafsir Maud}u’i” ini, dalam bentuknya yang kedua, adalah istilah baru dari ulama sekarang dengan pengertian “menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode Maud}u’i, dimana ia meneliti ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[2]
Salah satu pesan Ali> bin Abi> T{a>lib adalah : “Ajaklah Al-Qur’an berbicara atau biarkan ia menguraikan maksudnya”. Pesan ini antara lain mengharuskan penafsir merujuk kepada Al-Qur’an dalam rangka memahami kandungannya. Dari sini lahir metode Maud}u’i dimana Mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai surat yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian penafsir membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adanya metode penafsiran dengan cara tematik tersebut, menurut Quraisy S>{ihab berasal dari Muhammad Syalt}ut. Dalam hubungan ini Quraisy S{ihab mengatakan, bahwa pada bulan juli 1960, Syaikh Mahmu>d Syalt{ut menyusun kitab tafsir berjudul Tafsi>r Al-Qur’an al-Kari>m, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syatibi (w. 1388 M.) yaitu bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda, ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut. berdasarkan ide Al-Syatibi tersebut, Syalt{ut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.
Namun menurut Quraisy S{ihab, apa yang ditempuh oleh Syalt{ut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Qur’an dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan diatas, bahwa satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan lebih lanjut oleh Prof. Dr. Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode Maud{u’i gaya Mahmud Syalt{ut diatas.
Berdasarkan data tersebut, Quraisy S{ihab sampai pada kesimpulan bahwa metode Maud{u’i mempunyai dua pengertian yaitu :
Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beranekaragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Qur’an dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[3]

·         Macam-Macam Bentuk Kajian Tafsir Maud{u’i :
Seperti yang telah disebut kan oleh Quraisy S{ihab sebelumnya,  Dr. Abd. Al-Hay Al-Farmawi dalam bukunya Metode Tafsir Maudhu’i, menyebutkan ada dua bentuk kajian Tafsir Maud{u’i. Kedua bentuk kajian Tafsir Maud{u’i yang dimaksud adalah :
1)      pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
2)      menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara Maud{u’i. Bentuk kajian tafsir Maud{u’i yang kedua inilah yang lazim terbayang dibenak kita ketika mendengar istilah Tafsir Maud{u’i itu ketika diucapkan.[4]
Disisi lain, ada juga bentuk-bentuk kajian Tafsir Maud{u’i yang penulis adobsi dari buku Metode penelitian Al-Qur’an dan Tafsir karangan Dr. H. Abdul Mustaqim yang menyebutkan bahwa ada empat macam bentuk kajian dalam tafsir Maud{u’i, ke-empat bentuk kajian Tafsir Maud{u’i yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1)      Tematik surat, yakni model kajian tematik dengan meneliti surat-surat tertentu.
2)      Tematik Term, yakni model kajian tematik yang secara khusus meneliti term (istilah-istilah) tertentu dalam Al-Qur’an.
3)      Tematik konseptual, yakni kajian pada konsep-konsep tertentu yang secara eksplisit tidak disebut dalam Al-Qur’an, tetapi secara substansial ide tentang konsep itu ada dalam Al-Qur’an.
4)      Tematik tokoh, yakni kajian tematik yang dilakukan melalui tokoh. Misalnya ada tokoh yang mempunyai pemikiran tentang konsep-konsep tertentu dalam Al-Qur’an.[5]

B.   KONSEP METODOLOGIS :
Sesuai dengan namanya, metode penafsiran Maud{u’i (Tematik) adalah upaya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan memfokuskan pada Maud{u’ (tema) yang telah ditetapkan dengan mengkaji secara serius tentang ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut. Topik inilah yang menjadi ciri utama dari metode Maud{u’i.
Diantara tokoh pemikir (baca: penafsir) kontemporer yang mendukung gagasan penelitian model tematik adalah Hasan Hanafi. Beliau menawarkan langkah-langkah model tafsir tematik juga perlu diadobsi dalam riset-riset ilmiah. Metode tematik ala Hasan Hanafi yang ia sebut sebagai (rulers of tematic interpretation) dapat diringkas sebagai berikut :
1)      Socio-political commitment, Artinya seorang mufasir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya terhadap problem sosial politik tertentu. Dengan lain ungkapan, setiap mufassir yang muncul harus dilandasi oleh keprihatinan-keprihatinan tertentu atas kondisi kontemporernya.
2)      Looking for something, Artinya seorang mufasir perlu bercermin pada proses lahirnya teks Al-Qur’an yang didahului oleh realitas, dan ia harus merumuskan tujuannya. Sebab tidak mungkin seorang mufasir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya.
3)      Synopsis of the verses concerning one theme. Dari rumusan komitmen dan tujuannya, barulah seorang mufassir dapat mengiinventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang menjadi komitmennya.
4)      Classification of the linguistic form. Melakukan klasifikasi bentuk-bentuk bahasa. Dari inventarisasi ayat kemudian diklasifikasikan atas dasar bentuk-bentuk linguistik sebagai landasan bagi langkah kelima.
5)      Building the structure, yaitu membangun sturktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju, sehingga makna dan objek yang dituju menjadi satu kesatuan. Makna adalah subjek-objek, demikian pula tujuan atau sasaran adalah obyek-subjek sekaligus.
6)      Analyzing the factual situation. Analisis terhadap problem faktual dalam situasi empirik (realitas) yang dihadapi penafsir, misalnya isu kemiskinan, penindasan, pelanggaran hak manusia dan sebagainya.
7)      Comparation between the ideal and the real. Membandingkan struktur ideal sebagai hasil deduksi teks dengan problem faktual yang diinduksikan dari realitas empirik melalui perhitungan statistik dan ilmu sosial.
8)      Description of the mode of action. Menggambarkan rumusan praktis sebagai langkah akhir proses penafsiran yang transformatif. Inilah yang dimaksud dari realitas menuju teks dan teks menuju realitas. Ini pula yang dimaksud oleh Hasan Hanafi, bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial penafsir dalam struktur sosial. Dengan kata lain, menurut Hasan Hanafi tafsir adalah jawaban teoritis yang dirumuskan Al-Qur’an atas berbagai problem kemasyarakatan yang mestinya dapat diterapkan dalam dataran praksis tidak berhenti pada level teoritis belaka. Tafsir dengan demikian selalu berakhir dalam praksis-empiris. Dari sini tampak bahwa elaborasi Hasan Hanafi tentang metode tafsir tematik jauh lebih canggih dan rinci.[6]

Disisi lain, ada juga langkah-langkah model riset tematik yang penulis adobsi dari buku Metode Tafsir Maudhu’i karangan Dr. Abd. Al-Hay Al-Farmawi, dalam buku ini disebutkan langkah-langkah atau cara kerja metode tafsir Maud{u’i yang dapat dirinci sebagai berikut :
1)      Memilih atau menetapkan masalah Al-Qur’an yang akan dikaji secara Maud{u’i (tematik).
2)      Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang ditetapkan , ayat makiyyah dan madaniyyah.
3)      Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau Asba>b al-nuzu>l.
4)      Mengetahui korelasi (muna>sabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
5)      Menyusun tema bahasan didalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna, dan utuh (outline).
6)      Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis\, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
7)      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan Khas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mengsinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasi>kh dan mansu>kh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.[7]

·         Kelebihan dan kekurangan metode Maud{u’i :
Sebagai suatu metode, maud{u’i mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri :
a)      Kelebihannya :
1.      Metode ini dapat menghindarkan kita dari problem dan kelemahan metode lain.
2.      Karena metode ini menafsirkan ayat dengan ayat atau hadis, yang dikenal sebagai cara terbaik dalam menafsirkan Al-Qur’an, maka dengan sendirinya hasilnya lebih memuaskan, serta objektivitasnya lebih tinggi.
3.      Kesimpulan yang dihasilkannya mudah dipahami karena ia membawa kita kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan rinci mengenai satu disiplin ilmu. Juga membuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Qur’an tidak teoritis, sebab ia diharapkan dapat membawa kita kepada jawaban-jawaban Al-Qur’an mengenainya. Dengan demikian metode ini mengembalikan Al-Qur’an sebagai fungsinya sebagai kitab suci yang menunjuki (hu>dan).
4.      Metode ini menolak adanya anggapan bahwa didalam Al-Qur’an  terdapat pertentangan diantara ayat-ayatnya, dan sekaligus menjadi bukti bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dapat memimpin perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan sosial.
b)      Kekurangannya :
Seperti pada setiap metode, kelemahan-kelemahan bisa saja terjadi pada metode maud{u’i. Kelemahan itu bisa terjadi terutama dari segi subjek/mufasir yang tidak sama kemampuannya dalam menguasai ilmu alat dalam menerapkan langkah-langkah metode ini. Demikian pula, karena metode ini memusatkan perhatian kepada ayat-ayat yang menyangkut topik/masalah tertentu, maka bisa saja pembahasan ayat/surah tidak tuntas, karena yang tuntas adalah pembahasan ayat mengenai topik tertentu.[8]

C.   ANALISA PENULIS :
Tafsir maud{u’i merupakan metode tafsir yang memang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan sampai tuntas. Dengan kelebihannya yang sanggup memenuhi tantangan zaman mampu membuat Alquran tidak stagnan dan berkembang dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang semakin kompleks di tiap zamannya. Inilah yang dimaksud dari realitas menuju teks dan teks menuju realitas. Ini pula yang dimaksud oleh Hasan Hanafi, bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi sosial penafsir dalam struktur sosial. Dengan kata lain, menurut Hasan Hanafi tafsir adalah jawaban teoritis yang dirumuskan Al-Qur’an atas berbagai problem kemasyarakatan yang mestinya dapat diterapkan dalam dataran praksis tidak berhenti pada level teoritis belaka.
  Tafsir dengan metode ini juga memberikan suatu pemahaman yang mudah untuk dipahami, karena dalam kajiannya, tafsir ini tidak terlalu bertele-tele/berlebihan dalam memberikan suatu penjelasan/penafsiran, kalaupun memberikan penafsiran/penjelasan dengan panjang lebar meliputi berbagai aspek nya, namun penafsiran dengan metode ini tetap tidak akan kehilangan arah penjelasannya, karena didalam metode ini dibatasi oleh tema-tema tertentu, oleh karenanya dapat dikatakan bahwa metode ini tidak akan pernah memberikan penjelasan yang bertele-tele sehingga membuat pembaca merasa sulit.  Berbeda dengan metode yang lain, sebut saja metode tahlili, dimana dalam metode ini seorang penafsir berupaya untuk menguak seluruh isi atau kandungan ayat-ayatnya dari berbagai aspeknya tanpa dibatasi oleh tema-tema tertentu, oleh karenanaya tafsir dengan metode ini cenderung sulit untuk dipahami, dan terkesan bertele-tele dalam memberikan penjelasan.
Kemudian, penafsiran dengan menggunakan metode ini juga akan menghantarkan pembaca untuk memahami suatu permasalahan secara mendalam, lebih dalam dari metode-metode yang lain. Karena fokus bahasan pada metode ini hanyalah terbatas pada suatu tema tertentu, sehingga sudah barang pasti pembaca akan mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam dan jelas.



















DAFTAR PUSTAKA
·         Samsurrohman, M.Si., Pengantar Ilmu Tafsir, AMZAH, Jakarta, 2014.
·         Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
·         Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hlm :222.
·         Dr. H. Syahrin Harahap, MA., Metodologi studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2000, Hlm :20
·         Dr. H. Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Idea Press, Yogyakarta, 2014,




[1] Samsurrohman, M.Si., Pengantar Ilmu Tafsir, AMZAH, Jakarta, 2014, Hlm :123.
[2] Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm :36.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, Hlm :222.
[4] Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm :35.
[5] Dr. H. Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Idea Press, Yogyakarta, 2014, Hlm :61.
[6] Dr. H. Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir, Idea Press, Yogyakarta, 2014, Hlm :63.

[7] Dr. Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’iy, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, Hlm :45.
[8] Dr. H. Syahrin Harahap, MA., Metodologi studi dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2000, Hlm :20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar