HADIS
SYADZ
A. Definisi syadz :
a.
Menurut bahasa : merupakan
isim fa’il dari kata syadz, yang berarti yang menyendiri (asing). Jadi, syadz
itu bermakna terasing dari kebanyakan orang.
b.
Menurut istilah : hadis yang
diriwayatkan rawi maqbul (bisa diterima), yang menyelisihi dengan orang yang
lebih utama.
B.
Penjelasan
:
Yang
dimaksud dengan maqbul adalah, (rawinya) adil dan sempurna kedhabitannya,
atau (rawinya) adil tetapi tingkat kedhabitannya lebih ringan. Sedangkan
yang dimaksud dengan orang yang lebih utama adalah, lebih rajih (kuat)
dibandingkan dengan dirinya, baik karena derajat kedhabitannya lebih
tinggi, atau lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang termasuk dalam
aspek tarjih.
Para ulama
telah berselisih mengenai defenisinya dengan berbagai pernyataan, akan tetapi
Al-Hafidh ibnu hajar telah memilih definisi tersebut seraya berkata: ‘Definisi
itu menjadi sandaran bagi definisi hadist syadz yang sesuai dengan istilah’.
C.
Terjadinya
syadz :
Kejanggalan
(syadz) suatu hadis adakalanya terdapat pada sanad dan adakalanya terdapat pada
matan.
Ø Contoh
hadias syadz pada sanad ialah:
hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu
Majah melalui jalur Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu
Abbas, yang mana hadis itu menerangkan :
“bahwasannya
seorang lelaki meninggal dunia di masa Rasulullah saw dengan tiada meninggalkan
orang yang menerima pusaka dari padanya, selain dari seorang budak yang telah
dimerdekakan, maka Rasulullah saw memulangkan segala harta orang yang telah
meninggal itu, kepada budak tersebut”.
Jika
kita perhatikan riwayat ini, nyatalah bahwa Ibnu ‘Uyainah menerima Hadist ini dari
Amer ibn Dinar dari Ausajah, dari Ibnu Abbas r.a. sanad Ibnu Uyainah ini
berlawanan dengan sanad yang dibawa oleh Hammad ibn Zaid, seorang yang adil dan
Hafidh hadis. Menurut sanad Hammad, tiada terdapat didalam nya nama ibnu Abbas.
Hammad ibnu Zaid tiada menyebut dalam sanad riwayat ini, nama Ibnu Abbas.
Sanad yang dibawa Ibnu Uyainah, diakui oleh Ibnu Juraij dan lain-lain. Oleh
karena itu hadis At-Tirmidzi yang bersanad Ibnu Uyainah, Amer bin Dinar,
Ausajah dan Ibnu Abbas r.a, adalah hadis mahfudh. Sebab hadis tersebut, disamping
mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang yang tsiqah, juga mempunyai
mutabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
Hadis
Ash-Habus-Sunan yang bersanad Hammad ibn Zaid, Amer ibn Dinar dan Ausajah, adalah
hadis Mursal. Sebab Ausajah meriwayatkan hadis tersbut tanpa melalui sahabat
ibnu Abbas r.a. padahal dia adalah seorang Tabi’iy. Hammad ibn Zaid itu
terrmasuk rawi yang tsiqah, karenanya ia tergolong rawi yang diterima (makbul)
periwayatannya. Akan tetapi karena periwayatan Hammad inb Zaid itu berlawanan
dengan periwayatan ibnu Uyainah yang lebih Rajih, karena sanadnya muttashil dan
ada mutabi’nya. Maka hadis At-turmudzi yang melalui sanad Ibnu Uyainah lah yang
rajih dan disebut dengan hadis mahfudh, sedang hadis Ash-Habus-Sunan
yang bersanad Hammad ibn Zaid, adalah marjuh dan disebut dengan hadis syadz.
Ø Contoh hadis
syadz pada matan:
seperti hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan
Tirmidzi dari hadisnya Abdul Wahid bin Ziad dari Al-A’masy dari Abi Shaleh dari
Abu Hurairah, secara marfu’ :
“Rasulullah
saw bersabda : bila salah seorang dari kamu telah selesai bersembahyang sunnat
dua raka’at fajar, hendaklah ia berbaring miring di atas pinggang kanannya”.
Hadis
ini adalah hadis syadz pada matan. Hal itu dapat kita ketahui setelah
meninjau hadis bukhary yang bersanad ‘Abdullah bin Zubair dan ‘Aisyah r.a., dan
riwayat dari rawi-rawi lain yang lebih tsiqah, yang meriwayatkan atas dasar
fi’il (perbuatan nabi). Hadis tersebut berbunyi :
“konon
Rasulullah saw bila telah selesai bersembahyang sunnat dua raka’at fajar,
beliau berbaring miring diatas pinggang kanan nya”.
Sedang
hadis Abu daud diriwayatkan atas dasar qaul (perkataan) nabi. Oleh karena
menyalahi (mukhalafah) hadis Abu daud dengan hadis Bukhary (yang lebih tsiqah)
tersebut terjadi pada matannya, bukan dalam sanadnya, maka hadis Abu Daud
tersebut dinamai hadis syadz pada matannya, sedang hadist bukhari dan
lainnya disebut hadist mahfudh (pada matannya).
Dengan
memperhatikan ta’rif hadis munkar dan ma’ruf di satu pihak, dan hadis syadz
dan mahfudh dipihak lain, maka dapat ditarik perbedaan-perbedaan sebagai
berikut :
1. Bahwa
hadis syadz itu diriwayatkan oleh rawi-rawi yang makbul, tetapi menyalahi akan
rawi-rawi yang lebih makbul. Sedang hadis munkar, diriwayatkan oleh rawi-rawi
yang ghairu-makbul, menyalahi rawi-rawi yang makbul.
2. Hadis
syadz dan munkar, kedua-duanya adalah hadis marjuh, sedang hadis ma’ruf dan
mahfudh, kedua-duanya adalah hadis yang rajih.
Sebagian muhadisin menetapkan hadis syadz itu,
tidak tergantung kepada adanya perlawanan dengan hadis lain yang lebih rajih,
tetapi cukuplah men-syadzkan suatu hadis, apabila hadis itu hanya diriwayatkan
oleh seorang saja (satu sanad), baik ia kepercayaan atau tidak. Riwayat
seorang yang tidak kepercayaan ditinggalkan, tidak makbul, sedang riwayat dari
orang yang kepercayaan ditawaqqufkan, tidak dapat dibuat hujjah.
D. Batasan syadz :
Batasan syadz
ini sulit. Namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam syadz,
yaitu : penyendirian dan perlawanan. Jadi, hadis syadz – dengan bentuknya yang
umum – ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya, berlawanan
dengan riwayat orang-orang terpercaya yang lain. Atau dengan kata lain : hadis
yang diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima, berlawanan dengan orang yang
lebih utama daripadanya. Al-Hafidh Ibnu hajar menegaskan bahwa inilah batasan
hadis syadz menurut istilah yang dipegangi.
Agaknya
dengan batasan syadz yang dipegangi itu, Ibnu hajar mencoba mendekatkan
perbedaan yang sulit antara dua istilah terkenal yang oleh banyak orang
disangka berlawanan. Dua istilah itu dinisbatkan kepada imam syafi’i dan
Al-Hakim.
Imam syafi’i
berkata: “Hadis syadz bukanlah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang
terpercaya yang tidak diriwayatkan oleh orang lain. Ini bukan syadz. Tetapi
hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang terpercaya yang
berlawanan dengan riwayat banyak o9rang yang juga terpercaya. Inilah hadis
syadz. Seakan-akan ia mengatakan: “syadz ialah hadis yang diriwayatkan seorang
terpercaya, berlawanan dengan orang-orang terpercaya yang lain.” Dengan
demikian, ia tidak menegaskan kesendirian secara mutlak, melainkan kesendirian
dan sekaligus berlawanan. Hanya saja ia tidak menerangkan perlawanan itu
terhadap orang yang lebih utama atau lebih terpercaya, melainkan berlawanan
dengan orang banyak yang juga terpercaya.
Istilah
ini banyak dikutip oleh ulama hijaz. Ibnu katsir menarik kesimpulan bahwa
apabila orang yang terpercaya meriwayatkan suatu hadis yang tidak diriwayatkan
oleh orang lain, maka bisa diterima asal ia orang yang adil dan kuat ingatan.
Andaikata orang semacam ini ditolak, maka tertolaklah banyak hadis dari segi
ini dan tidak sedikit masalah yang terhalang dari dalil.
Ibnu
Qayyim telah mengukuhkan istilah ini dengan redaksi yang pasti: “...Syudzudz
ialah bila orang-orang yang terpercaya berbeda pendapat mengenai hadis yang
mereka riwayatkan. Sedangkan kalau seorang yang terpercaya meriwayatkan suatu
hadis yang menyendiri, sedangkan orang-orang terpercaya yang lain tidak
meriwayatkan yang berlawanan dengannya, hadis itu tidak bisa disebut syadz.
Jika makna ini diistilahkan dengan sebutan “syadz”, istilah ini tidak
menyebabkannya ditolak dan tidak ada alasan untuk itu.
Al-Hakim
berpendapat bahwa “syadz ialah hadis
yang diriwayatkan sendiri oleh salah seorang perawi tsiqoh (terpercaya) dan
hadis ini tidak mempunyai mutabi’ (jalan lain) yang menguatkan perawi tsiqah
tersebut. dalam definisi ini, Al-Hakim mengemukakan batasan kesendirian dengan
lafadz yang jelas. Sedangkan batasan “berlawanan” dikemukakan juga – menurut
pendapat kami – tetapi dengan lafaz yang tidak jelas. Seandainya hadis tadi
mempunyai mutabi’ yang menguatkan perawi tsiqoh tersebut, ia tentu tidak
berlawanan dengan perawi-perawi tsiqah yang lain. Sebagai mana kit tahu, dalam
hadis syadz ini Al-Hakim mensyaratkan tidak adanya mutabi’. Jadi seakan-akan
tidak usah pergi jauh-jauh, cukup lah kita meraba-raba pengaertian batasan
syadz itu. Setiap kejumbuhan akan hilang manakala kita mau menggabungkannya dengan
batsan yang diberikan oleh imam syafi’i.
E.
Metode
mendeteksi syadz :
Sebuah
hadis muncul tidak serta merta diriwayatkan oleh satu orang saja dalam satu
tema, akan tetapi hadis muncul dengan adanya nuasa yang kebersamaan
sahabat-sahabat Nabi dalam mendengarkan hadis-hadis yang dilantunkan dan
disabdakan oleh Nabi. Konsekwensinya adalah bahwa hadis-hadis dengan tema yang
sama akan mudah terdeteksi apabila mengalami penyelewengan dan penyalahgunaan
pembacaan.
Standar
kompentensi menjadi syarat utama dalam melihat dan meneliti apakah hadis-hadis
yang diriwayatkan seorang rawi itu siqah atau tidak, bahkan kesiqahan saja
menjadi bumerang apabila menyalahi dari perawi lain yang lebih siqah-- yang
dalam istilah hadis dikenal dengan Syadz.
Untuk
mengetahui apakah hadis tersebut mengalami syadz atau tidak, ulama hadis
mempunyai kata sepakat untuk memperbandingkan antara hadis yang satu dengan
hadis yang lain(metode muqaran). Adapun metode muqoran--sebagaimana dikatakan
oleh Hasjim Abbas--adalah sebuah upaya uji redaksional, yang berpola pada tiga
hal; 1) Upaya uji redaksional antara riwayat yang satu dengan riwayat yang
lain; 2) Uji redaksional antara riwayat dengan al-Qur`an; dan 3) Uji
redaksional antara riwayat dengan hadis mutawatir.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Dr. Mahmud Thahan, Ilmu
Hadis Praktis, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2010
·
Dr. Subhi As-Shalih, Ulum
al-Hadis wa Musthalahuhu/Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Dar al-Ilm lil-Malayin,
Beirut, 1997
·
Drs. Faturrahman, Ikhtisar
Musthalahul Hadis, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1974
Tidak ada komentar:
Posting Komentar