Minggu, 04 Desember 2016

Hadis Syadz



HADIS SYADZ
A.  Definisi syadz :

a.       Menurut bahasa : merupakan isim fa’il dari kata syadz, yang berarti yang menyendiri (asing). Jadi, syadz itu bermakna terasing dari kebanyakan orang.
b.      Menurut istilah : hadis yang diriwayatkan rawi maqbul (bisa diterima), yang menyelisihi dengan orang yang lebih utama.

B.   Penjelasan :

Yang dimaksud dengan maqbul adalah, (rawinya) adil dan sempurna kedhabitannya, atau (rawinya) adil tetapi tingkat kedhabitannya lebih ringan. Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang lebih utama adalah, lebih rajih (kuat) dibandingkan dengan dirinya, baik karena derajat kedhabitannya lebih tinggi, atau lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang termasuk dalam aspek tarjih.
Para ulama telah berselisih mengenai defenisinya dengan berbagai pernyataan, akan tetapi Al-Hafidh ibnu hajar telah memilih definisi tersebut seraya berkata: ‘Definisi itu menjadi sandaran bagi definisi hadist syadz yang sesuai dengan istilah’.

C.   Terjadinya syadz :

Kejanggalan (syadz) suatu hadis adakalanya terdapat pada sanad dan adakalanya terdapat pada matan.

Ø  Contoh hadias syadz pada sanad ialah:
 hadis yang diriwayatkan Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah melalui jalur Ibnu Uyainah dari Amru bin Dinar dari Ausajah dari Ibnu Abbas, yang mana hadis itu menerangkan :
“bahwasannya seorang lelaki meninggal dunia di masa Rasulullah saw dengan tiada meninggalkan orang yang menerima pusaka dari padanya, selain dari seorang budak yang telah dimerdekakan, maka Rasulullah saw memulangkan segala harta orang yang telah meninggal itu, kepada budak tersebut”.
Jika kita perhatikan riwayat ini, nyatalah bahwa Ibnu ‘Uyainah menerima Hadist ini dari Amer ibn Dinar dari Ausajah, dari Ibnu Abbas r.a. sanad Ibnu Uyainah ini berlawanan dengan sanad yang dibawa oleh Hammad ibn Zaid, seorang yang adil dan Hafidh hadis. Menurut sanad Hammad, tiada terdapat didalam nya nama ibnu Abbas. Hammad ibnu Zaid tiada menyebut dalam sanad riwayat ini, nama Ibnu Abbas. Sanad yang dibawa Ibnu Uyainah, diakui oleh Ibnu Juraij dan lain-lain. Oleh karena itu hadis At-Tirmidzi yang bersanad Ibnu Uyainah, Amer bin Dinar, Ausajah dan Ibnu Abbas r.a, adalah hadis mahfudh. Sebab hadis tersebut, disamping mempunyai rawi-rawi yang terdiri dari orang-orang yang tsiqah, juga mempunyai mutabi’, yaitu Ibnu Juraij dan lainnya.
Hadis Ash-Habus-Sunan yang bersanad Hammad ibn Zaid, Amer ibn Dinar dan Ausajah, adalah hadis Mursal. Sebab Ausajah meriwayatkan hadis tersbut tanpa melalui sahabat ibnu Abbas r.a. padahal dia adalah seorang Tabi’iy. Hammad ibn Zaid itu terrmasuk rawi yang tsiqah, karenanya ia tergolong rawi yang diterima (makbul) periwayatannya. Akan tetapi karena periwayatan Hammad inb Zaid itu berlawanan dengan periwayatan ibnu Uyainah yang lebih Rajih, karena sanadnya muttashil dan ada mutabi’nya. Maka hadis At-turmudzi yang melalui sanad Ibnu Uyainah lah yang rajih dan disebut dengan hadis mahfudh, sedang hadis Ash-Habus-Sunan yang bersanad Hammad ibn Zaid, adalah marjuh dan disebut dengan hadis syadz.

Ø  Contoh hadis syadz pada matan:
 seperti hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi dari hadisnya Abdul Wahid bin Ziad dari Al-A’masy dari Abi Shaleh dari Abu Hurairah, secara marfu’ :
“Rasulullah saw bersabda : bila salah seorang dari kamu telah selesai bersembahyang sunnat dua raka’at fajar, hendaklah ia berbaring miring di atas pinggang kanannya”.
Hadis ini adalah hadis syadz pada matan. Hal itu dapat kita ketahui setelah meninjau hadis bukhary yang bersanad ‘Abdullah bin Zubair dan ‘Aisyah r.a., dan riwayat dari rawi-rawi lain yang lebih tsiqah, yang meriwayatkan atas dasar fi’il (perbuatan nabi). Hadis tersebut berbunyi :
“konon Rasulullah saw bila telah selesai bersembahyang sunnat dua raka’at fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanan nya”.
Sedang hadis Abu daud diriwayatkan atas dasar qaul (perkataan) nabi. Oleh karena menyalahi (mukhalafah) hadis Abu daud dengan hadis Bukhary (yang lebih tsiqah) tersebut terjadi pada matannya, bukan dalam sanadnya, maka hadis Abu Daud tersebut dinamai hadis syadz pada matannya, sedang hadist bukhari dan lainnya disebut hadist mahfudh (pada matannya).
Dengan memperhatikan ta’rif hadis munkar dan ma’ruf di satu pihak, dan hadis syadz dan mahfudh dipihak lain, maka dapat ditarik perbedaan-perbedaan sebagai berikut :
1.      Bahwa hadis syadz itu diriwayatkan oleh rawi-rawi yang makbul, tetapi menyalahi akan rawi-rawi yang lebih makbul. Sedang hadis munkar, diriwayatkan oleh rawi-rawi yang ghairu-makbul, menyalahi rawi-rawi yang makbul.
2.      Hadis syadz dan munkar, kedua-duanya adalah hadis marjuh, sedang hadis ma’ruf dan mahfudh, kedua-duanya adalah hadis yang rajih.

Sebagian muhadisin menetapkan hadis syadz itu, tidak tergantung kepada adanya perlawanan dengan hadis lain yang lebih rajih, tetapi cukuplah men-syadzkan suatu hadis, apabila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang saja (satu sanad), baik ia kepercayaan atau tidak. Riwayat seorang yang tidak kepercayaan ditinggalkan, tidak makbul, sedang riwayat dari orang yang kepercayaan ditawaqqufkan, tidak dapat dibuat hujjah.

D.  Batasan syadz :

Batasan syadz ini sulit. Namun ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam syadz, yaitu : penyendirian dan perlawanan. Jadi, hadis syadz – dengan bentuknya yang umum – ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang yang terpercaya, berlawanan dengan riwayat orang-orang terpercaya yang lain. Atau dengan kata lain : hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima, berlawanan dengan orang yang lebih utama daripadanya. Al-Hafidh Ibnu hajar menegaskan bahwa inilah batasan hadis syadz menurut istilah yang dipegangi.
Agaknya dengan batasan syadz yang dipegangi itu, Ibnu hajar mencoba mendekatkan perbedaan yang sulit antara dua istilah terkenal yang oleh banyak orang disangka berlawanan. Dua istilah itu dinisbatkan kepada imam syafi’i dan Al-Hakim.
Imam syafi’i berkata: “Hadis syadz bukanlah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang terpercaya yang tidak diriwayatkan oleh orang lain. Ini bukan syadz. Tetapi hadis syadz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang terpercaya yang berlawanan dengan riwayat banyak o9rang yang juga terpercaya. Inilah hadis syadz. Seakan-akan ia mengatakan: “syadz ialah hadis yang diriwayatkan seorang terpercaya, berlawanan dengan orang-orang terpercaya yang lain.” Dengan demikian, ia tidak menegaskan kesendirian secara mutlak, melainkan kesendirian dan sekaligus berlawanan. Hanya saja ia tidak menerangkan perlawanan itu terhadap orang yang lebih utama atau lebih terpercaya, melainkan berlawanan dengan orang banyak yang juga terpercaya.
Istilah ini banyak dikutip oleh ulama hijaz. Ibnu katsir menarik kesimpulan bahwa apabila orang yang terpercaya meriwayatkan suatu hadis yang tidak diriwayatkan oleh orang lain, maka bisa diterima asal ia orang yang adil dan kuat ingatan. Andaikata orang semacam ini ditolak, maka tertolaklah banyak hadis dari segi ini dan tidak sedikit masalah yang terhalang dari dalil.
Ibnu Qayyim telah mengukuhkan istilah ini dengan redaksi yang pasti: “...Syudzudz ialah bila orang-orang yang terpercaya berbeda pendapat mengenai hadis yang mereka riwayatkan. Sedangkan kalau seorang yang terpercaya meriwayatkan suatu hadis yang menyendiri, sedangkan orang-orang terpercaya yang lain tidak meriwayatkan yang berlawanan dengannya, hadis itu tidak bisa disebut syadz. Jika makna ini diistilahkan dengan sebutan “syadz”, istilah ini tidak menyebabkannya ditolak dan tidak ada alasan untuk itu.
Al-Hakim  berpendapat bahwa “syadz ialah hadis yang diriwayatkan sendiri oleh salah seorang perawi tsiqoh (terpercaya) dan hadis ini tidak mempunyai mutabi’ (jalan lain) yang menguatkan perawi tsiqah tersebut. dalam definisi ini, Al-Hakim mengemukakan batasan kesendirian dengan lafadz yang jelas. Sedangkan batasan “berlawanan” dikemukakan juga – menurut pendapat kami – tetapi dengan lafaz yang tidak jelas. Seandainya hadis tadi mempunyai mutabi’ yang menguatkan perawi tsiqoh tersebut, ia tentu tidak berlawanan dengan perawi-perawi tsiqah yang lain. Sebagai mana kit tahu, dalam hadis syadz ini Al-Hakim mensyaratkan tidak adanya mutabi’. Jadi seakan-akan tidak usah pergi jauh-jauh, cukup lah kita meraba-raba pengaertian batasan syadz itu. Setiap kejumbuhan akan hilang manakala kita mau menggabungkannya dengan batsan yang diberikan oleh imam syafi’i.

E.   Metode mendeteksi syadz :

Sebuah hadis muncul tidak serta merta diriwayatkan oleh satu orang saja dalam satu tema, akan tetapi hadis muncul dengan adanya nuasa yang kebersamaan sahabat-sahabat Nabi dalam mendengarkan hadis-hadis yang dilantunkan dan disabdakan oleh Nabi. Konsekwensinya adalah bahwa hadis-hadis dengan tema yang sama akan mudah terdeteksi apabila mengalami penyelewengan dan penyalahgunaan pembacaan.
Standar kompentensi menjadi syarat utama dalam melihat dan meneliti apakah hadis-hadis yang diriwayatkan seorang rawi itu siqah atau tidak, bahkan kesiqahan saja menjadi bumerang apabila menyalahi dari perawi lain yang lebih siqah-- yang dalam istilah hadis dikenal dengan Syadz.
Untuk mengetahui apakah hadis tersebut mengalami syadz atau tidak, ulama hadis mempunyai kata sepakat untuk memperbandingkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lain(metode muqaran). Adapun metode muqoran--sebagaimana dikatakan oleh Hasjim Abbas--adalah sebuah upaya uji redaksional, yang berpola pada tiga hal; 1) Upaya uji redaksional antara riwayat yang satu dengan riwayat yang lain; 2) Uji redaksional antara riwayat dengan al-Qur`an; dan 3) Uji redaksional antara riwayat dengan hadis mutawatir.


















DAFTAR PUSTAKA
·         Dr. Mahmud Thahan, Ilmu Hadis Praktis, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, 2010
·         Dr. Subhi As-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuhu/Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Dar al-Ilm lil-Malayin, Beirut, 1997
·         Drs. Faturrahman, Ikhtisar Musthalahul Hadis, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1974

Tidak ada komentar:

Posting Komentar