MUHAMMAD ABDUH
A. Biografi
Muhammad Abduh :
Tanggal,
lahirnya dan desa tempat lahir muhammad Abduh belum diketahui dengan pasti.
Mungkin karena orang tuanya bersal dari desa dan hidup berpindah-pindah
memandang tidak penting untuk mencatatnya. Yang pasti ia lahir pada akhir
pemerintahan muhammad Ali (1805-1849). Umumnya literatur-literatur yang
dijumpai, menyatakan muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di sebuah desa, di
mesir Hilir.
Menjelang
lahirnya, mesir berada dibawah penguasa tunggal Muhammad Ali, raja yang
absolute. Raja yang menguasai sumber kekayaan, terutama tanah yang ada di
negeri itu, pertanian dan perdagangan. Di daerah-daerah, para pegawai muhammad
Ali bersikap keras dalam melaksanakan kehendak dan perintahnya. Rakyat merasa
tertindas. Untuk mengelakkan dari kekerasan yang dijalankan para pegawai
muhammad Ali, rakyat di daerah ada yang terpaksa berpindah-pindah tempat.
Keadaan demikian dialami pula oleh orang tua muhammad Abduh.
Ayahnya
bernama Abduh bin hasan Khairullah, berasal dari turki yang telah lama tinggal
di mesir. Sedangkan ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke
suku bangsanya umar ibn khattab. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa
bersama dua saudara perempuannya dalam lingkungan desa dibawah asuhan ibu dan
bapak yang tidak mengenal pendidikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan
yang teguh.
Sejak
kecil muhammad Abduh belajar membaca dan menulis Al-Qur’an. Setelah mahir ia
diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih menghafal Al-Qur’an. Ia dapat
hafal dalam waktu dua tahun. Dalam usia 13 tahun muhammad Abduh dikirim ke
Tanta untuk belajar agama di masjid syaikh Ahmad. Di sini ia belajar ilmu
kalam, bahasa arab dan fikih. Setelah dua tahun belajar, ia merasa jenuh dan
tidak mengerti apa-apa. Mungkin karena metode pengajarannya bersifat hafalan,
kemudian ia memutuskan pulang dengan cita-cita menjadi petani di desa.
Dalam
usia 16 tahun ia menikah, 40 hari setelah itu ia dipaksa oleh orang tuanya
kembali belajar ke Tanta (Theological school). Karena trouma belajar
hafalan, ia pergi meninggalkan kampung, tapi bukan ke Tanta malahan untuk
bersembunyi di rumah salah satu pamannya. Diluar dugaannya disana muhammad
Abduh bertemu dengan teman ayahnya, syaikh Darwis Khadr. Syaikh mengetahui
muhammad Abduh enggan belajar, maka syaikh dengan sabar membujuknya dan
mengajarinya dengan metode Teks reading. Setiap kalimat yang dibacanya
diberikan penjelasan yang luas oleh syaikh, sampai akhirnya minat belajarnya
tumbuh kembali, selanjutnya ia memutuskan belajar lagi di Tanta.
Setelah
selesai belajar di Tanta, pada usia 17 tahun
muhammad Abduh melanjutkan studinya di Al-Azhar, Kairo. Lima tahun
kemudian ia berjumpa dengan jamaluddin al-Afghani yang datang ke mesir dalam
perjalanannya ke istanbul. Muhammad Abduh sangat tertarik kepada kuliah-kuliah
yang diberikan al-afghani, setelah itu muhammad abduh menjadi muridnya yang
paling setia. Di antara mata kuliah yang menarik perhatiannya adalah filsafat,
sejarah, hukum dan pemikiran teologi rasional. Pada tahun 1877 lulus dari
Al-Azhar dengan gelar ‘Alim.
Setelah
itu ia mulai mengajar, mulanya di Al-Azhar, kemudian di Darul Ulum dan di
rumahnya sendiri. Di antara buku-buku yang di ajarkannya ialah buku akhlak
karangan ibnu Miskawaih, mukaddimah ibn Khaldun dan sejarah Kebudayaan Eropa
karya Guizot. Dua tahun setelah mengajar, ia dituduh terlibat gerakan politik
anti pemerintah. Ia diasingkan ke luar kota kairo, setahun kemudian ia
dibolehkan kembali ke kairo. Pada tahun yang sama (1880) diangkat menjadi
redaktur surat kabar resmi pemerintah mesir, Al-Waqa’i al-Misriyyat.
Berselang
dua tahun muhammad Abduh ikut berperan dalam Revolusi Nasional Urabi Pasya.
Bersama pemimpin revolusi lainnya ia dipenjarakan kemudian diasingkan ke
beirut. Sesudah itu ia pergi ke paris. Pengasingannya ke paris bukan membuat ia
terkucil, malahan semakin memberikan keleluasaan untuk tetap membuat gerakan.
Di paris ia bertemu dengan bertemu dengan al-afghani. Bersama gurunya muhammad
Abduh menerbitkan jurnal pergerakan politik dan keagamaan, al-Urwat
al-Wutsqa. empat tahun kemudian (1884) melalui bantuan teman-temannya ia
diiznkan kembali ke mesir. Di mesir tidak lagi diizinkan mengajar, pemerintah
khawatir terhadap pengaruh politiknya kepada mahasiswa. Betapapun Al-azhar
sangat membutuhkan kemampuan intelektualnya. Kemudian ia memilih bekerja
sebagai hakim di salah satu pengadilan.
Tahun
1894 ia diangkat menjadi anggota majelis tinggi untuk Al-azhar. Kesempatan yang
baik ini dipergunakannya untuk mengadakan perubahan dan perbaikan yang mendasar
dalam lembaga pendidikan tinggi yang dianggapnya kolot. Lima tahun kemudian
(1899) ia diangkat menjadi mufti mesir. Kedudukan terhormat ini dijabatnya
sampai akhir hayatnya tahun 1905.
Semasa
hidupnya banyak menulis buku, majalah, surat kabar, dan brosur-brosur.
Buku-buku yang ditulisnya antara lain: Al-Islam Din al-ilm wa al-Madaniah,
Al-Radd Badi’ al-Dahriyah, Risalah al-tawhid, maqamat badi’i al-zaman
al-hamdani, Nahj al balaghah, Hasyiah ‘ala Sharh al-dawani li al-aqaid
al-adudiah.
B. Metode
berfikir :
Pokok
pemikiran Muhammad Abduh sangat berkaitan dengan corak teologi yang dianutnya.
Para penulis terdahulu berbeda pendapat dalam menilai corak teologi mana yang
dianut Muhammad Abduh. Penelitian
terakhir yang dilakukan oleh harun nasution, menunjukkan bahwa teologi
muhammad Abduh bercorak rasional, dekat kepada teologi Mu’tazilah yang
mempercayai hukum alam. Sedangkan dalam menempatkan fungsi dan kemampuan akal
orang khawas lebih tinggi ketimbang Mu’tazilah. Kecenderungan muhammad
Abduh kepada teologi Mu’tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang
berjudul Hasyiah ‘Ala Syarh al-Aqaid al-Dawani Li al-Adudiah yang
diterbitkan oleh Al-Matba’ah al-Khairiyah di kairo tahun 1905. Buku
tersebut di cetak ulang tahun 1985 dengan kata pengantar dari sulaiman Dunya
dari Al-Azhar dengan judul pengantar Muhammad Abduh bain al-Falsafah wa
al-Kalamiah. Dalam buku tersebut terdapat komentar terhadap paham-paham
Al-Asy’ari, komentar itu menggambarkan pemikiran Mu’tazilah.
Dengan
teologi rasional itulah ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai ruang
gerak yang lebih luas, di bawah sikap rasional dan paham kebebasan manusia ide
pembaharuannya bercorak dinamis, dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat
islam pada zaman modern. Dengan kata lain, gagasan utama pembaharuannya
berangkat dari asumsi dasar bahwa semangat rasional harus mewarnai sikap pikir
masyarakat dalam memahami ajaran islam. Jika semangat ini telah dapat
ditumbuhkan, kecenderungan taqlid dan menutup pintu ijtihad dapat dikikis.
C. IDE-IDE
PEMBAHARUANNYA :
1. PEMBAHARUAN
BIDANG KEAGAMAAN :
Ø
Aqidah
Sebagai
seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi
kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal
ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risalah Tauhid. Pemikiran Abduh
mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya
yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi
aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang
benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan
qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah
ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk
tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam
masalah ini.
Menurutnya,
bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa
muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah
terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang
pernah terlihat dalam sejarah Islam.
Pemahaman
Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik
dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang
masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam
ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang
justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat
semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Konsekuensi
logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun
perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi,
peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi
penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan
kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.
Mempercayai
qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau
peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut
menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah
berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut,
menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut
kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri
yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak
berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam
Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada
setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum
alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu
sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum
alam tersebut. Dengan demikian, nasib
manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang
demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan
manusia.
Menurutnya,
manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan
perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang
akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan
selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas
bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasan dalam
menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah
dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil
keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud.
Namun,
manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh
membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam
peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan
peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai
batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan
Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi
melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah
hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas
dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan
kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia
sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum
sebab akibat itu.
Ø
Mengikis
sifat jumud dan khurafat
Menurut muhammad Abduh, penyebab kemunduran
umat islam pada akhir abad pertengahan adalah sikap jumud. Dalam sikap ini
mengandung arti keadaan membeku, statis, berpegang teguh pada adat. Karena
dipengaruhi sifat jumud umat islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau
menerima perubahan. Timbulnya sikap jumud berawal dari tradisi orang-ornag non
islam yang kemudian masuk islam dengan tetap membawa adat istiadat dan
paham-paham animistis. Kelompok ini besar pengaruhnya terhadap umat islam yang
mereka perintah. Disamping itu, raja-raja dari dinasti Mamluk menghindari ilmu
pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat, yang
dikhawatirkan memberontak. Rakyat sengaja dibodohkan, lebih dari itu mereka
sengaja membawa ke dalam islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat statis.
Seperti pemujaan yang berlebebihan terhadap syaikh dan wali, kepatuhan membuta
kepada ulama, tawakkal serta penyerahan bulat terhadap takdir.
Menghadapi
keadaan masyarakat yang jumud dan penuh khurafat tersebut, Muhammad Abduh
bangkit dengan ide kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an
dan Hadis, sebagai ide pemurniannya Abdul Wahhab. Di samping itu, ia berpendapat,
perlunya memfungsikan akal secara optimal untuk mengkaji ulang pemahaman
terhadap ajaran-ajaran islam sehingga sesuai dengan perkembangan zaman modern.
Hasil reinterpretasi tersebut selanjutnya harus disosislisasikan melalui
pendidikan. Muhammad Abduh menggunakan pendapat ibn Taimiyah tentang kategori
dalam ajaran islam. Ajaran islam terdiri dari ibadah dan mu’amalah. Ajaran
islam mengenai ibadah sudah rinci dan jelas, namun dalam masalah mu’amalah
ajaran islam bersifat umum, hanya memuat prinsip-prinsipnya saja. Dari
celah-celah ajaran tentang mu’amalah inilah ajaran islam dikembangkan sesuai
dengan tantangan zaman.
Ø
Pemikiran
tentang ijtihad
Muhammad Abduh pada mulanya bermazhab maliki,
tetapi di al-Azhar ia mempelajari Mazhab hanafi. Ia menghargai semua mazhab,
tetapi ia tidak mau terikat pada salah satu daripadanya. Mazhab menurut
pendapatnya adalah jalan yang ditempuh ulama masa lalu dalam memahami Al-Qur’an
dan hadis. Mengikuti mazhab ia artikan mengikuti para imam dalam berpegang
teguh pada dua sumber, Al-Qur’an dan Hadis. Membuat pendapat imam sesuatu yang
bersifat absolut adalah bertentangan dengan ajaran islam.
Ajaran
islam yang universal dan sebenarnya mutlak, jika dihadapkan pada zaman modern
yang ditandai dengan pesatnya IPTEK terdapat jurang yang harus dijembatani
dengan semangat ijtihad. Penyesuaian dasar-dasar ajaran islam dengan situasi
modern memerlukan interpretasi baru, dan untuk itu apa yang kata orang pintu
ijtihad sudah tertutup perlu dibuka. Ijtihad, kata muhammad Abduh harus
dijalankan langsung pada Al-Qur’an dan hadis, sedangkan pendapat-pendapat ulama
tidak mengikat. Mengenai ijtihad ini, hanya bagi orang-orang yang mempunyai
kemempuan dan memenuhi persyaratan tertentu, yang tidak punya kemempuan dan
persyaratan harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya.
Dalam
sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan. Ijtihad dalam arti berusaha
keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Dalam istilah fikih, ijtihad
berarti berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dali-dalil agama.
Kelihatannya ijtihad dalam arti ini lah yang banyak digunakan orang, terutama
di indonesia. Dalam arti yang luas, sebagai pendapatnya ibn Taimiyah, ijtihad
digunakan pula pada aspek-aspek selain agama/fikih, kaum sufi adalah mujtahid
dalam masalah kepatuhan dan kesederhanaan, ahli dalam bidang tata negara adalah
mujtahid dalam bidangnya. Dr. Muhammad Al-ruwaihi juga menjelaskan bahwa
dimasa-masa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang islam, baik di barat,
timur maupun pada orang arab serta orang islam sendiri. “pendapat-pendapat
orang itu merupakan ijtihad, baik secara perseorangan maupun secara kolektif,
yang akan memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu.
Ijtihad
yang dimaksud muhammad Abduh kelihatannya bukan sekedar fikih, tetapi dalam
aspek-aspek lainnya sebagai yang diungkapkan oleh ibn Taimiyah diatas.
Tahun
1885 ketika muhammad Abduh pulang dari paris ia mengajarkan tafsir tanpa
terikat pada penafsir-penafsir klasik, ia menafsirkan Al-qur’an sesuai dengan
ijtihadnya sendiri. Ketika ia diangkat jadi mufti mesir (1899), fatwa yang
dikeluarkannya bukan hanya untuk keperluan resmi pemerintah mesir, tetapi juga
untuk kepentingan umum. Salah satu fatwanya yang kontroversial dan menghebohkan
ulama mesir adalah tentang “halalnya sembelihan orang nasrani dan yahudi”,
karena dianggap ahli kitab bagi umat islam.
Ø
Kalam
1. Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Ada dua
persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya
sendiri, yaitu:
Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid
yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai mana haknya salaf
al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni
memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam
percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan
media massa.
Dua
persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada
masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat ini
dapat digambarkan sebagian “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup
rapat-rapt pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at
Allah atau meng-istibnat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup
dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal
(jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
Atas dasar kedua fokus pikiran nya itu,
Muhammad Abduh memberikan peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun
Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi
kepada akal daripada Mu’tazilah. Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal
berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
b. Keberadaan hidup diakhirat
c. Kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada upaya mengenal
tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak
mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
d. Kewajiban manusia mengenal tuhan
e. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan
jahat untuk kebahagiaan diakhirat
f.
hukum-hukum
mengenai kewajiban itu.
Dengan
memperhatikan perbandingan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat
diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya adalah sebagai penolong (al-mu’min). kata ini pergunakan
untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
Wahyu, katanya, menolong akal untuk
mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat. Mengatur kehidupan
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya. Menyempurnakan akal
tentang tuhan dan sifat-sifatnya. Dan mengetahui cara beribadah serta berterima
kasih pada Tuhan. dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk
menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
Lebih
jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam.
Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam, kata
nya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan
agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal,
wahyu yang dibawa nabi tidak mungkin bertententangan dengan akal. Kalau
ternyata keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan
dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong
pada penyesuaian.
2. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi
Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan
memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau
sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi mahluk
lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang
dilakukannya. Kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mengwujudkan
perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
Karena
manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam menentukan
kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan
manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh.
Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih,
namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan
manusia mempunyai kebesan mutlak sebagai orang yang angkuh.
3. Sifat-Sifat Tuhan
Dalam
Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai sifat itu termasuk
asensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar
kemampuan menusia. sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa Abduh
cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk asensi Tuhan walaupun tidak
secara tegas mengatakannya.
4. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena
yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak
bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi
kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mengwujudkan perbuatan
-perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah yang telah
ditetapkannya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya
sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan Sunnatullah Sunnatullah yang
diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
5. Keadilan Tuhan
Karena
memberi daya besar kepada akal dan
kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau
alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak tuhan, tetapi juga dari segi
pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan
untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa
mamfaat bagi manusia. Adapum masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan
hanya dari segi kemaha sempurnaan-Nya, tapi juga dari pemikiran rasional
manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidak
adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
6. Antrofomorfisme
Karena
Tuhan termasuk kedalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa
Tuhan mempunyai sifat-sifat Jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada
akal, berpendapat bahwa tidak mungkin asensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil
bentuk tubuh atau roh mahluk dialam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk
sebaginya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang arab
kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam Al-Qur’an bearti
kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy bearti pengetahuan.
7. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan
pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohan
itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya dihari perhitungan
kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan
bahwa tidak ada suatupun dari mahluk yang menyerupai tuhan) sepakat mengatakan
bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata.
Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu
diakhirat.
8. Perbuatan Tuhan
Karena pendapat ada
perbuatan tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan
bahwa wajib bagi tuhan untuk berbuat apa yang terbaik untuk manusia.
2. PEMBAHARUAN BIDANG PENDIDIKAN :
Jika
melihat aktivitas Muhammad Abduh, tampak bahwa ia lebih banyak mencurahkan
perhatiannya pada aspek pendidikan ketimbang pada aspek-aspek lain. Ketika pulang adari pengasingan, ia ingin
jadi tenaga pengajar, tetapi penguasa menghendaki lain, ia bekerja menjadi
hakim. Ketika menjadi hakim, keputusan-keputusannya bertujuan mendidik rakyat. Demikian juga ketika ia menjabat
majelis syura (parlemen), keputusan-keputusannya bertujuan mendidik rakyat.
Muhammad abduh bukan seorang revolusioner yang mengadakan pembaharuan dalam
waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang membawa pembaharuan melalui
pendidikan yang memakan waktu panjang.
Walaupun
ia ikut aktif dalam kegiatan politik, itu bukan karena panggilan jiwanya,
tetapi lebih kepada pengaruh gurunya, jamaluddin Al-afghani. Baik ketika di
mesir maupun ketika di paris. Jalan yang di tempuh muhammad Abduh dan gurunya
sangat berbeda. Kata rasyid ridha, murid muhammad Abduh. Al-afghani menghendaki
pembaharuan melalui politik, sedangkan muhammad Abduh berpendapat pembaharuan
lebih baik diadakan melalui pengajaran dan pendidikan. Dengan kata lain, yang
satu menghendaki “pembaharuan umat melalui negara”, sedang yang satu lagi
menginginkan “pembaharuan negara melalui pembaharuan umat”.
Ketika muhammad Abduh bersama gurunya
berusaha meneruskan penerbitan majalah al-urwah al-wusqah gagal, ia
mengajak gurunya untuk meninggalkan aktivitas politiknya dan memusatkan
perhatian pada bidang pendidikan. Ide yang diajukan pada gurunya yaitu
mengusulkan mereka berdua pindah ketempat yang jauh, yang tidak dikenal orang,
ditempat baru nanti mereka pilih 10 orang pemuda cerdas untuk di didik sesuai
tujuan mereka, masing-masing dari 10 pemuda itu dapat pula mendidik 10 orang
pemuda lain. Maka dalam masa singkat mereka akan memperoleh seratus pimpinan
pembaharuan. Ide ini di tolak al-afghani, akhirnya mereka berpisah dengan
jalannya masing-masing.
Ide
pembaharuannya dalam pendidikan ialah merombak sistem dualisme pendidikan.
Menurutnya disekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan di sekolah-sekolah
agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern. Ia ingin membawa ilmu-ilmu
modern yang sedang berkembang di eropa ke dalam Al-Azhar. Ia ingin membuat
al-Azhar serupa dengan universitas-universitas yang ada di barat. umat islam
harus belajar bahasa-bahasa barat, menurutnya seorang baru biasa disebut ulama
jika memahami bahasa barat, terutama perancis dan jerman. Ketika idenya di
sampaikan ke al-Azhar, ia mendapat tantangan dari ulama yang berpengaruh di
al-Azhar. Menurut mereka ilmu pengetahuan modern itu tidak sesuai dengan ajaran
islam.
Pada
tanggal 15 januari 1895 muhammad Abduh di angkat oleh khadevi Abbas menjadi
anggota dewan pimpinan al-Azhar mewakili pemerintah mesir. Dalam dewan tersebut
ia menjadi jiwa penggeraknya. Honorarium ulama ditentukan dengan layak,
sehingga tidak tergantung dengan pemberian-pemberian mahasiswa, beasiswa
mahasiswa jumlahnya di naikkan, asrama di perbaiki dengan memasukkan air
kedalamnya, untuk keperluan administrasi ia dirikan gedung tersendiri. Untuk
membantu rektor ia angkat para pegawai yang sebelumnya tidak ada. Selanjutnya
ia perpanjang masa belajar dan perpendek masa libur, kepada mahasiswa untuk
empat tahun pertama dibuat peraturan yang melarang pembacaan hasyiyah dan
syarh, kepada mereka diberikan pokok-pokok mata pelajaran dalam bahasa
yang sudah dimengerti. Perpustakaan al-Azhar mendapat perhatiannya juga, ia
mengerti betul pentingnya arti perpustakaan bagi suatu perguruan tinggi.
Buku-buku al-Azhar yang bertebaran di berbagai tempat penyimpanan, ia kumpulkan
dalam satu perpustakaan yang teratur, sehingga memudahkan bagi mahasiswa yang
membutuhkan.
Sungguhpun
ia sibuk menertibkan soal-soal administrasi, ia tetap memberi kuliyah di
al-Azhar dalam mata pelajaran teologi, islam, logika, retorika, dan tafsir.
Sebagai akibat dari pembahruan ini, jumlah mahasiswa yang tiap tahun mengajukan
diri untuk di uji terus bertambah.
Perbaikan
dan pembaharuan yang dibawanya kedalam
al-Azhar, ia mengharap universitas ini menjadi pusat pembaharuan yang
diingininya untuk dunia islam. Sungguhpun usahanya untuk mengubah al-Azhar
menjadi serupa dengan universitas eropa dan menjadi pusat pembaharuan dunia
islam gagal, ia berhasil memasukkan beberapa mata pelajaran umum seperti
matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi kedalam kurikulum al-Azhar.
Usaha-usaha
pembaharuan dalam pendidikan mendapat tantangan dari para ulama yang kuat
berpegang pada tradisi lama. Tantangan terhadap muhammad Abduh bertambah keras
setelah khadevi Abbas terpengaruh dan akirnya tidak merestui usaha-usaha
pembaharuan itu. Dengan demikian, usaha muhammad Abduh kandas. Tampaknya karena
tekanan Abbas itu lah, ia mengundurkan diri dari keanggotaan dewan pimpinan
al-Azhar pada tahun 1905. Beberapa bulan kemudian ia wafat, sebelum niatnya
untuk melaksanakan ibadah haji terlaksana.
3. PEMBAHARUAN BIDANG POLITIK :
Dalam
bidang politik, muhammad Abduh berpendapat bahwa kekuasaan negara harus di
batasi oleh konstitusi. Pemerintah wajib bersikap adil terhadap rakyat.
Sebaliknya terhadap pemerintah yang adil rakyat harus patuh dan setia. Muhammad
Abduh menghendaki kehidupan politik yang demokratis yang didasarkan atas
musyawarah.
Pada
masa muhammad Abduh, mesir mempunyai konstitusi dan pada tahun 1899 ia ikut
aktif dalam majelis syura, dewan legislatif mesir. Atas usaha-usahanya
kerjasama antara majelis syura dan pemerintah berjalan harmonis. Kedua lembaga
itu berhasil diyakinkan bahwa keduanya adalah untuk kepentingan rakyat mesir.
Pemerintah pun mengirim rencana-rencana untuk dibahas oleh majelis.
Pembahasannya dilakukan oleh panitia yang dibentuk khusus untuk masing-masing
rencana yang diajukan, dan biasanya Muhammad Abduh lah yang dipilih menjadi
ketuanya.
Kepala
negara adalah manusia biasa yang mempunyai nafsu, ia dapat berbuat salah. Untuk
meluruskan kesalahan itu diperlukan kesadaran dan keberanian rakyat yang
berfungsi sebagai alat kontrol, ide ini menggambarkan bahwa Muhammad Abduh
ingin menanamkan nilai-nilai demokratis di mesir khususnya. Sikap demokratis
akan melahirkan kebebasan berfikir dan bertindak yang pada perkembangan
selanjutnya akan menumbuhkan sikap dinamis dan akan membuahkan kemajuan.
Dalam salah
satu pendapatnya tentang politik, ia berpendapat bahwa sungguhpun aktif dalam
politik, secara pribadi tidak ingin terlibat banyak dalam masalah politik. Bagi
Muhammad Abduh politik mengekang kebebasan berfikir, perkembangan ilmu dan
agama. Ia pada akhirnya begitu tidak senang pada politik, sehingga ia menulis
“Aku berlindung pada Allah dari politik, kata politik dan arti politik”.
4.
Dampak
pemikiran Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam kontemporer :
Mohammad
Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam.
Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran
umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran
pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal
Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran
dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor.
Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan
dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin
Al-Afghani.
Muhammad
Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan danpembaharuan pemikiran Islam
kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:
1.Reformasi pendidikan
Mohammad
Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai
sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem
pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.
2.Mendirikan lembaga dan yayasan
sosial.
Sepak
terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada
aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan
tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial.
Diantaranya: Jami’ah khairiyah islamiyah,jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan
juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan.
3.Mendirikan sekolah pemikiran.
Muhammad
Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang
memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal
umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang dengan gencar
menyerang umat muslim saat ini.
4.Penafsiran al-Qur’an
Di
antara pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan menghadirkan buah
karya penafsiran al-qur’an. Adalah Tafir Al-Mannar yang di tulis Muhammad Abduh
dan muridnya Muhammad Rasyid Ridho yang telah meberikan corak baru dalam ilmu
tafsir. Corak tafsir yang dikembangkan ini disebut Mufassirin “adabi ijtima’i” (budaya masyarakat). Corak
ini menurut Muhammad Husein adz-Dzahabi menitik beratkan penjelasan ayat-ayat
al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam
suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi
kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum
alm yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Diantara
prinsip Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat adalah, Al-Qur’an menjadi pokok.
al-Qur’an didasarkan segala mazhab dan aliran keagamaan, bukannya mazhab-mazhab
dan aliran yang menjadi pokok, dan ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijadikan
pendukung mazhab-mazhab tersebut. Kecuali itu, Muhammad Abduh membuka lebar pintu
ijtihad. Menurutnya dengan membuka pintu ijtihad akan memberi semangat dinamis
terhadap perkembangan Islam dalam seluruh aspeknya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Prof. Dr. H.
Ris’an Rusli, M.A. Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, Palembang, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar