Minggu, 04 Desember 2016

Muhammad Abduh (Riwayat dan Pemikiran)





MUHAMMAD ABDUH
A.   Biografi Muhammad Abduh :
Tanggal, lahirnya dan desa tempat lahir muhammad Abduh belum diketahui dengan pasti. Mungkin karena orang tuanya bersal dari desa dan hidup berpindah-pindah memandang tidak penting untuk mencatatnya. Yang pasti ia lahir pada akhir pemerintahan muhammad Ali (1805-1849). Umumnya literatur-literatur yang dijumpai, menyatakan muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 di sebuah desa, di mesir Hilir.
Menjelang lahirnya, mesir berada dibawah penguasa tunggal Muhammad Ali, raja yang absolute. Raja yang menguasai sumber kekayaan, terutama tanah yang ada di negeri itu, pertanian dan perdagangan. Di daerah-daerah, para pegawai muhammad Ali bersikap keras dalam melaksanakan kehendak dan perintahnya. Rakyat merasa tertindas. Untuk mengelakkan dari kekerasan yang dijalankan para pegawai muhammad Ali, rakyat di daerah ada yang terpaksa berpindah-pindah tempat. Keadaan demikian dialami pula oleh orang tua muhammad Abduh.
Ayahnya bernama Abduh bin hasan Khairullah, berasal dari turki yang telah lama tinggal di mesir. Sedangkan ibunya berasal dari bangsa arab yang silsilahnya sampai ke suku bangsanya umar ibn khattab. Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa bersama dua saudara perempuannya dalam lingkungan desa dibawah asuhan ibu dan bapak yang tidak mengenal pendidikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.
Sejak kecil muhammad Abduh belajar membaca dan menulis Al-Qur’an. Setelah mahir ia diserahkan kepada seorang guru untuk dilatih menghafal Al-Qur’an. Ia dapat hafal dalam waktu dua tahun. Dalam usia 13 tahun muhammad Abduh dikirim ke Tanta untuk belajar agama di masjid syaikh Ahmad. Di sini ia belajar ilmu kalam, bahasa arab dan fikih. Setelah dua tahun belajar, ia merasa jenuh dan tidak mengerti apa-apa. Mungkin karena metode pengajarannya bersifat hafalan, kemudian ia memutuskan pulang dengan cita-cita menjadi petani di desa.
Dalam usia 16 tahun ia menikah, 40 hari setelah itu ia dipaksa oleh orang tuanya kembali belajar ke Tanta (Theological school). Karena trouma belajar hafalan, ia pergi meninggalkan kampung, tapi bukan ke Tanta malahan untuk bersembunyi di rumah salah satu pamannya. Diluar dugaannya disana muhammad Abduh bertemu dengan teman ayahnya, syaikh Darwis Khadr. Syaikh mengetahui muhammad Abduh enggan belajar, maka syaikh dengan sabar membujuknya dan mengajarinya dengan metode Teks reading. Setiap kalimat yang dibacanya diberikan penjelasan yang luas oleh syaikh, sampai akhirnya minat belajarnya tumbuh kembali, selanjutnya ia memutuskan belajar lagi di Tanta.
Setelah selesai belajar di Tanta, pada usia 17 tahun  muhammad Abduh melanjutkan studinya di Al-Azhar, Kairo. Lima tahun kemudian ia berjumpa dengan jamaluddin al-Afghani yang datang ke mesir dalam perjalanannya ke istanbul. Muhammad Abduh sangat tertarik kepada kuliah-kuliah yang diberikan al-afghani, setelah itu muhammad abduh menjadi muridnya yang paling setia. Di antara mata kuliah yang menarik perhatiannya adalah filsafat, sejarah, hukum dan pemikiran teologi rasional. Pada tahun 1877 lulus dari Al-Azhar dengan gelar ‘Alim.
Setelah itu ia mulai mengajar, mulanya di Al-Azhar, kemudian di Darul Ulum dan di rumahnya sendiri. Di antara buku-buku yang di ajarkannya ialah buku akhlak karangan ibnu Miskawaih, mukaddimah ibn Khaldun dan sejarah Kebudayaan Eropa karya Guizot. Dua tahun setelah mengajar, ia dituduh terlibat gerakan politik anti pemerintah. Ia diasingkan ke luar kota kairo, setahun kemudian ia dibolehkan kembali ke kairo. Pada tahun yang sama (1880) diangkat menjadi redaktur surat kabar resmi pemerintah mesir, Al-Waqa’i al-Misriyyat.
Berselang dua tahun muhammad Abduh ikut berperan dalam Revolusi Nasional Urabi Pasya. Bersama pemimpin revolusi lainnya ia dipenjarakan kemudian diasingkan ke beirut. Sesudah itu ia pergi ke paris. Pengasingannya ke paris bukan membuat ia terkucil, malahan semakin memberikan keleluasaan untuk tetap membuat gerakan. Di paris ia bertemu dengan bertemu dengan al-afghani. Bersama gurunya muhammad Abduh menerbitkan jurnal pergerakan politik dan keagamaan, al-Urwat al-Wutsqa. empat tahun kemudian (1884) melalui bantuan teman-temannya ia diiznkan kembali ke mesir. Di mesir tidak lagi diizinkan mengajar, pemerintah khawatir terhadap pengaruh politiknya kepada mahasiswa. Betapapun Al-azhar sangat membutuhkan kemampuan intelektualnya. Kemudian ia memilih bekerja sebagai hakim di salah satu pengadilan.
Tahun 1894 ia diangkat menjadi anggota majelis tinggi untuk Al-azhar. Kesempatan yang baik ini dipergunakannya untuk mengadakan perubahan dan perbaikan yang mendasar dalam lembaga pendidikan tinggi yang dianggapnya kolot. Lima tahun kemudian (1899) ia diangkat menjadi mufti mesir. Kedudukan terhormat ini dijabatnya sampai akhir hayatnya tahun 1905.
Semasa hidupnya banyak menulis buku, majalah, surat kabar, dan brosur-brosur. Buku-buku yang ditulisnya antara lain: Al-Islam Din al-ilm wa al-Madaniah, Al-Radd Badi’ al-Dahriyah, Risalah al-tawhid, maqamat badi’i al-zaman al-hamdani, Nahj al balaghah, Hasyiah ‘ala Sharh al-dawani li al-aqaid al-adudiah.

B.   Metode berfikir :
Pokok pemikiran Muhammad Abduh sangat berkaitan dengan corak teologi yang dianutnya. Para penulis terdahulu berbeda pendapat dalam menilai corak teologi mana yang dianut Muhammad Abduh. Penelitian  terakhir yang dilakukan oleh harun nasution, menunjukkan bahwa teologi muhammad Abduh bercorak rasional, dekat kepada teologi Mu’tazilah yang mempercayai hukum alam. Sedangkan dalam menempatkan fungsi dan kemampuan akal orang khawas lebih tinggi ketimbang Mu’tazilah. Kecenderungan muhammad Abduh kepada teologi Mu’tazilah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Hasyiah ‘Ala Syarh al-Aqaid al-Dawani Li al-Adudiah yang diterbitkan oleh Al-Matba’ah al-Khairiyah di kairo tahun 1905. Buku tersebut di cetak ulang tahun 1985 dengan kata pengantar dari sulaiman Dunya dari Al-Azhar dengan judul pengantar Muhammad Abduh bain al-Falsafah wa al-Kalamiah. Dalam buku tersebut terdapat komentar terhadap paham-paham Al-Asy’ari, komentar itu menggambarkan pemikiran Mu’tazilah.
Dengan teologi rasional itulah ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh mempunyai ruang gerak yang lebih luas, di bawah sikap rasional dan paham kebebasan manusia ide pembaharuannya bercorak dinamis, dan mempunyai arti penting bagi kemajuan umat islam pada zaman modern. Dengan kata lain, gagasan utama pembaharuannya berangkat dari asumsi dasar bahwa semangat rasional harus mewarnai sikap pikir masyarakat dalam memahami ajaran islam. Jika semangat ini telah dapat ditumbuhkan, kecenderungan taqlid dan menutup pintu ijtihad dapat dikikis.

C.   IDE-IDE PEMBAHARUANNYA :
1.    PEMBAHARUAN BIDANG KEAGAMAAN :
Ø  Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risalah Tauhid. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah.  pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.

Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.

Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.

Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.

Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam  tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.

Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud.

Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu.

Ø  Mengikis sifat jumud dan khurafat
 Menurut muhammad Abduh, penyebab kemunduran umat islam pada akhir abad pertengahan adalah sikap jumud. Dalam sikap ini mengandung arti keadaan membeku, statis, berpegang teguh pada adat. Karena dipengaruhi sifat jumud umat islam tidak menghendaki perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Timbulnya sikap jumud berawal dari tradisi orang-ornag non islam yang kemudian masuk islam dengan tetap membawa adat istiadat dan paham-paham animistis. Kelompok ini besar pengaruhnya terhadap umat islam yang mereka perintah. Disamping itu, raja-raja dari dinasti Mamluk menghindari ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan akan membuka mata rakyat, yang dikhawatirkan memberontak. Rakyat sengaja dibodohkan, lebih dari itu mereka sengaja membawa ke dalam islam ajaran-ajaran yang akan membuat rakyat statis. Seperti pemujaan yang berlebebihan terhadap syaikh dan wali, kepatuhan membuta kepada ulama, tawakkal serta penyerahan bulat terhadap takdir.

Menghadapi keadaan masyarakat yang jumud dan penuh khurafat tersebut, Muhammad Abduh bangkit dengan ide kembali kepada nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadis, sebagai ide pemurniannya Abdul Wahhab. Di samping itu, ia berpendapat, perlunya memfungsikan akal secara optimal untuk mengkaji ulang pemahaman terhadap ajaran-ajaran islam sehingga sesuai dengan perkembangan zaman modern. Hasil reinterpretasi tersebut selanjutnya harus disosislisasikan melalui pendidikan. Muhammad Abduh menggunakan pendapat ibn Taimiyah tentang kategori dalam ajaran islam. Ajaran islam terdiri dari ibadah dan mu’amalah. Ajaran islam mengenai ibadah sudah rinci dan jelas, namun dalam masalah mu’amalah ajaran islam bersifat umum, hanya memuat prinsip-prinsipnya saja. Dari celah-celah ajaran tentang mu’amalah inilah ajaran islam dikembangkan sesuai dengan tantangan zaman.

Ø  Pemikiran tentang ijtihad
 Muhammad Abduh pada mulanya bermazhab maliki, tetapi di al-Azhar ia mempelajari Mazhab hanafi. Ia menghargai semua mazhab, tetapi ia tidak mau terikat pada salah satu daripadanya. Mazhab menurut pendapatnya adalah jalan yang ditempuh ulama masa lalu dalam memahami Al-Qur’an dan hadis. Mengikuti mazhab ia artikan mengikuti para imam dalam berpegang teguh pada dua sumber, Al-Qur’an dan Hadis. Membuat pendapat imam sesuatu yang bersifat absolut adalah bertentangan dengan ajaran islam.
Ajaran islam yang universal dan sebenarnya mutlak, jika dihadapkan pada zaman modern yang ditandai dengan pesatnya IPTEK terdapat jurang yang harus dijembatani dengan semangat ijtihad. Penyesuaian dasar-dasar ajaran islam dengan situasi modern memerlukan interpretasi baru, dan untuk itu apa yang kata orang pintu ijtihad sudah tertutup perlu dibuka. Ijtihad, kata muhammad Abduh harus dijalankan langsung pada Al-Qur’an dan hadis, sedangkan pendapat-pendapat ulama tidak mengikat. Mengenai ijtihad ini, hanya bagi orang-orang yang mempunyai kemempuan dan memenuhi persyaratan tertentu, yang tidak punya kemempuan dan persyaratan harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui pahamnya.

Dalam sejarah pemikiran islam, ijtihad telah banyak digunakan. Ijtihad dalam arti berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu. Dalam istilah fikih, ijtihad berarti berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dali-dalil agama. Kelihatannya ijtihad dalam arti ini lah yang banyak digunakan orang, terutama di indonesia. Dalam arti yang luas, sebagai pendapatnya ibn Taimiyah, ijtihad digunakan pula pada aspek-aspek selain agama/fikih, kaum sufi adalah mujtahid dalam masalah kepatuhan dan kesederhanaan, ahli dalam bidang tata negara adalah mujtahid dalam bidangnya. Dr. Muhammad Al-ruwaihi juga menjelaskan bahwa dimasa-masa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang islam, baik di barat, timur maupun pada orang arab serta orang islam sendiri. “pendapat-pendapat orang itu merupakan ijtihad, baik secara perseorangan maupun secara kolektif, yang akan memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya ijtihad itu.
Ijtihad yang dimaksud muhammad Abduh kelihatannya bukan sekedar fikih, tetapi dalam aspek-aspek lainnya sebagai yang diungkapkan oleh ibn Taimiyah diatas.
Tahun 1885 ketika muhammad Abduh pulang dari paris ia mengajarkan tafsir tanpa terikat pada penafsir-penafsir klasik, ia menafsirkan Al-qur’an sesuai dengan ijtihadnya sendiri. Ketika ia diangkat jadi mufti mesir (1899), fatwa yang dikeluarkannya bukan hanya untuk keperluan resmi pemerintah mesir, tetapi juga untuk kepentingan umum. Salah satu fatwanya yang kontroversial dan menghebohkan ulama mesir adalah tentang “halalnya sembelihan orang nasrani dan yahudi”, karena dianggap ahli kitab bagi umat islam.

Ø  Kalam
1.      Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
            Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri, yaitu:
Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai mana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
             Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan ummat Islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi ummat Islam saat ini dapat digambarkan sebagian “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapt pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng-istibnat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.
                            Atas dasar kedua fokus pikiran nya itu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang diberikan olehnya sehingga Harun Nasution menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberi kekuatan yang lebih tinggi kepada akal daripada Mu’tazilah. Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:
a.       Tuhan dan sifat-sifatnya
b.      Keberadaan hidup diakhirat
c.       Kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
d.      Kewajiban manusia mengenal tuhan
e.       Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan diakhirat
f.        hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
             Dengan memperhatikan perbandingan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana fungsi wahyu baginya adalah sebagai  penolong (al-mu’min). kata ini pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
             Wahyu, katanya, menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat. Mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya. Menyempurnakan akal tentang tuhan dan sifat-sifatnya. Dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih pada Tuhan. dengan demikian, wahyu bagi Abduh  berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi.
             Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam, kata nya, adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya, kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal, wahyu yang dibawa nabi tidak mungkin bertententangan dengan akal. Kalau ternyata keduanya terdapat pertentangan, menurutnya, terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlukan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.
2.      Kebebasan Manusia dan Fatalisme
            Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi mahluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya. Kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya  sendiri, dan selanjutnya mengwujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
             Karena manusia menurut hukum alam dan sunnatullah mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan daya untuk mewujudkan kemauan, faham perbuatan yang dipaksakan manusia atau Jabariyah tidak sejalan dengan pandangan hidup Muhammad Abduh. Manusia, menurutnya, mempunyai kemampuan berpikir dan kebebasan dalam memilih, namun tidak memiliki kebebasan absolut. Ia menyebut orang yang mengatakan manusia mempunyai kebesan mutlak sebagai orang yang angkuh.
3.      Sifat-Sifat Tuhan
             Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai sifat itu termasuk asensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan menusia. sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk asensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.
4.      Kehendak Mutlak Tuhan
             Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mengwujudkan perbuatan -perbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah yang telah ditetapkannya. Didalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan Sunnatullah Sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.
5.      Keadilan Tuhan
             Karena memberi daya besar kepada  akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia. Adapum masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari segi kemaha sempurnaan-Nya, tapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidak adilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.
6.      Antrofomorfisme
             Karena Tuhan termasuk kedalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin asensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh mahluk dialam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk sebaginya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang arab kepadanya. Dengan demikian, katanya, kata al-arsy dalam Al-Qur’an bearti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy bearti pengetahuan.
7.      Melihat Tuhan
             Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohan  itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya dihari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari mahluk yang menyerupai tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu diakhirat.
8.      Perbuatan Tuhan
 Karena pendapat ada perbuatan tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi tuhan untuk berbuat apa yang terbaik untuk manusia.
2.    PEMBAHARUAN BIDANG PENDIDIKAN :
Jika melihat aktivitas Muhammad Abduh, tampak bahwa ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya pada aspek pendidikan ketimbang pada aspek-aspek lain.  Ketika pulang adari pengasingan, ia ingin jadi tenaga pengajar, tetapi penguasa menghendaki lain, ia bekerja menjadi hakim. Ketika menjadi hakim, keputusan-keputusannya bertujuan mendidik  rakyat. Demikian juga ketika ia menjabat majelis syura (parlemen), keputusan-keputusannya bertujuan mendidik rakyat. Muhammad abduh bukan seorang revolusioner yang mengadakan pembaharuan dalam waktu singkat, tetapi seorang pendidik yang membawa pembaharuan melalui pendidikan yang memakan waktu panjang.

Walaupun ia ikut aktif dalam kegiatan politik, itu bukan karena panggilan jiwanya, tetapi lebih kepada pengaruh gurunya, jamaluddin Al-afghani. Baik ketika di mesir maupun ketika di paris. Jalan yang di tempuh muhammad Abduh dan gurunya sangat berbeda. Kata rasyid ridha, murid muhammad Abduh. Al-afghani menghendaki pembaharuan melalui politik, sedangkan muhammad Abduh berpendapat pembaharuan lebih baik diadakan melalui pengajaran dan pendidikan. Dengan kata lain, yang satu menghendaki “pembaharuan umat melalui negara”, sedang yang satu lagi menginginkan “pembaharuan negara melalui pembaharuan umat”.
Ketika muhammad Abduh bersama gurunya berusaha meneruskan penerbitan majalah al-urwah al-wusqah gagal, ia mengajak gurunya untuk meninggalkan aktivitas politiknya dan memusatkan perhatian pada bidang pendidikan. Ide yang diajukan pada gurunya yaitu mengusulkan mereka berdua pindah ketempat yang jauh, yang tidak dikenal orang, ditempat baru nanti mereka pilih 10 orang pemuda cerdas untuk di didik sesuai tujuan mereka, masing-masing dari 10 pemuda itu dapat pula mendidik 10 orang pemuda lain. Maka dalam masa singkat mereka akan memperoleh seratus pimpinan pembaharuan. Ide ini di tolak al-afghani, akhirnya mereka berpisah dengan jalannya masing-masing.

Ide pembaharuannya dalam pendidikan ialah merombak sistem dualisme pendidikan. Menurutnya disekolah-sekolah umum harus diajarkan agama, sedangkan di sekolah-sekolah agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern. Ia ingin membawa ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang di eropa ke dalam Al-Azhar. Ia ingin membuat al-Azhar serupa dengan universitas-universitas yang ada di barat. umat islam harus belajar bahasa-bahasa barat, menurutnya seorang baru biasa disebut ulama jika memahami bahasa barat, terutama perancis dan jerman. Ketika idenya di sampaikan ke al-Azhar, ia mendapat tantangan dari ulama yang berpengaruh di al-Azhar. Menurut mereka ilmu pengetahuan modern itu tidak sesuai dengan ajaran islam.

Pada tanggal 15 januari 1895 muhammad Abduh di angkat oleh khadevi Abbas menjadi anggota dewan pimpinan al-Azhar mewakili pemerintah mesir. Dalam dewan tersebut ia menjadi jiwa penggeraknya. Honorarium ulama ditentukan dengan layak, sehingga tidak tergantung dengan pemberian-pemberian mahasiswa, beasiswa mahasiswa jumlahnya di naikkan, asrama di perbaiki dengan memasukkan air kedalamnya, untuk keperluan administrasi ia dirikan gedung tersendiri. Untuk membantu rektor ia angkat para pegawai yang sebelumnya tidak ada. Selanjutnya ia perpanjang masa belajar dan perpendek masa libur, kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama dibuat peraturan yang melarang pembacaan hasyiyah dan syarh, kepada mereka diberikan pokok-pokok mata pelajaran dalam bahasa yang sudah dimengerti. Perpustakaan al-Azhar mendapat perhatiannya juga, ia mengerti betul pentingnya arti perpustakaan bagi suatu perguruan tinggi. Buku-buku al-Azhar yang bertebaran di berbagai tempat penyimpanan, ia kumpulkan dalam satu perpustakaan yang teratur, sehingga memudahkan bagi mahasiswa yang membutuhkan.

Sungguhpun ia sibuk menertibkan soal-soal administrasi, ia tetap memberi kuliyah di al-Azhar dalam mata pelajaran teologi, islam, logika, retorika, dan tafsir. Sebagai akibat dari pembahruan ini, jumlah mahasiswa yang tiap tahun mengajukan diri untuk di uji terus bertambah.
Perbaikan dan pembaharuan  yang dibawanya kedalam al-Azhar, ia mengharap universitas ini menjadi pusat pembaharuan yang diingininya untuk dunia islam. Sungguhpun usahanya untuk mengubah al-Azhar menjadi serupa dengan universitas eropa dan menjadi pusat pembaharuan dunia islam gagal, ia berhasil memasukkan beberapa mata pelajaran umum seperti matematika, aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi kedalam kurikulum al-Azhar.
Usaha-usaha pembaharuan dalam pendidikan mendapat tantangan dari para ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama. Tantangan terhadap muhammad Abduh bertambah keras setelah khadevi Abbas terpengaruh dan akirnya tidak merestui usaha-usaha pembaharuan itu. Dengan demikian, usaha muhammad Abduh kandas. Tampaknya karena tekanan Abbas itu lah, ia mengundurkan diri dari keanggotaan dewan pimpinan al-Azhar pada tahun 1905. Beberapa bulan kemudian ia wafat, sebelum niatnya untuk melaksanakan ibadah haji terlaksana.

3.    PEMBAHARUAN BIDANG POLITIK :
Dalam bidang politik, muhammad Abduh berpendapat bahwa kekuasaan negara harus di batasi oleh konstitusi. Pemerintah wajib bersikap adil terhadap rakyat. Sebaliknya terhadap pemerintah yang adil rakyat harus patuh dan setia. Muhammad Abduh menghendaki kehidupan politik yang demokratis yang didasarkan atas musyawarah.
Pada masa muhammad Abduh, mesir mempunyai konstitusi dan pada tahun 1899 ia ikut aktif dalam majelis syura, dewan legislatif mesir. Atas usaha-usahanya kerjasama antara majelis syura dan pemerintah berjalan harmonis. Kedua lembaga itu berhasil diyakinkan bahwa keduanya adalah untuk kepentingan rakyat mesir. Pemerintah pun mengirim rencana-rencana untuk dibahas oleh majelis. Pembahasannya dilakukan oleh panitia yang dibentuk khusus untuk masing-masing rencana yang diajukan, dan biasanya Muhammad Abduh lah yang dipilih menjadi ketuanya.
Kepala negara adalah manusia biasa yang mempunyai nafsu, ia dapat berbuat salah. Untuk meluruskan kesalahan itu diperlukan kesadaran dan keberanian rakyat yang berfungsi sebagai alat kontrol, ide ini menggambarkan bahwa Muhammad Abduh ingin menanamkan nilai-nilai demokratis di mesir khususnya. Sikap demokratis akan melahirkan kebebasan berfikir dan bertindak yang pada perkembangan selanjutnya akan menumbuhkan sikap dinamis dan akan membuahkan kemajuan.
Dalam salah satu pendapatnya tentang politik, ia berpendapat bahwa sungguhpun aktif dalam politik, secara pribadi tidak ingin terlibat banyak dalam masalah politik. Bagi Muhammad Abduh politik mengekang kebebasan berfikir, perkembangan ilmu dan agama. Ia pada akhirnya begitu tidak senang pada politik, sehingga ia menulis “Aku berlindung pada Allah dari politik, kata politik dan arti politik”.

4.      Dampak pemikiran Muhammad Abduh dalam pemikiran Islam kontemporer :
Mohammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan danpembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:
1.Reformasi pendidikan
Mohammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.

2.Mendirikan lembaga dan yayasan sosial.
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah khairiyah islamiyah,jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan.

3.Mendirikan sekolah pemikiran.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.

4.Penafsiran al-Qur’an
Di antara pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh adalah dengan menghadirkan buah karya penafsiran al-qur’an. Adalah Tafir Al-Mannar yang di tulis Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridho yang telah meberikan corak baru dalam ilmu tafsir. Corak tafsir yang dikembangkan ini disebut Mufassirin  “adabi ijtima’i” (budaya masyarakat). Corak ini menurut Muhammad Husein adz-Dzahabi menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alm yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Diantara prinsip Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat adalah, Al-Qur’an menjadi pokok. al-Qur’an didasarkan segala mazhab dan aliran keagamaan, bukannya mazhab-mazhab dan aliran yang menjadi pokok, dan ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijadikan pendukung mazhab-mazhab tersebut. Kecuali itu, Muhammad Abduh membuka lebar pintu ijtihad. Menurutnya dengan membuka pintu ijtihad akan memberi semangat dinamis terhadap perkembangan Islam dalam seluruh aspeknya.
























DAFTAR PUSTAKA
·         Prof. Dr. H. Ris’an Rusli, M.A. Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam, Palembang, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar