Senin, 05 Desember 2016

Tafsir (Neraka dan Para Penghuninya)



NERAKA DAN PARA PENGHUNINYA
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tafsir



Disusun Oleh:

Ahmad Miftachul Amin
NIM.212 342 9335













PRODI ILMU QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2014
PENDAHULUAN

Al Quran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw secara bertahap melalui perantara malaikat jibril, didalamnya berisi tentang berbagai macam ilmu-ilmu ketauhidan, syariat, aqidah, muamalah dan ilmu-imu yang lain, alquran merupakan kitab penyempurna dari tiga kitab yang diturunkan Allah SWT  kepada nabi-nabi sebelumnya yaitu Taurat, Injil dan Zabur, ciri bahasa Al Quran adalah global atau masih bersifat umum, oleh karenanya dalam memahami Al Quran dibutuhkan penafsiran secara mendalam. Penafsiran Al Quran yang pertama kali dilakukan oleh nabi muhammad SAW kemudian berlanjut pada masa sahabat-sahabat nabi diteruskan oleh tabiin, didalam Al-Quran akan banyak dijumpai ayat-ayat yang menyebutkan tentang keesaan Allah SWT, bagaimana eksistensi Allah dalam segala hal serta janji-janji Allah dan fitrah mengenal allah.
          Dalam makalah ini kami akan mencoba menyampaikan beberapa ayat yang menyajikan ayat-ayat tentang “Neraka dan para penghuninya” sesuai yang terdapat dalam al-qur’an serta dengan di dukung literatur-literatur yang telah di dapatkan.




                                     








PEMBAHASAN
1.      SURAT AL-A’RAF AYAT 179 :
s)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ  
179. dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
Ayat ini menjadi penjelasan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa pula yang lain di sesatkan Allah. Ayat ini juga berfungsi sebagai ancaman kepada mereka yang mengabaikan tuntunan pengetahuannya. Ia menjelaskan bahwa mereka yang kami kisahkan keadaannya itu, yang menguliti dirinya sehingga kami sesatkan adalah sebagaian dari yang kami jadikan untuk isi neraka dan demi keagungan dan kemuliaan kami sungguh kami telah ciptakan untuk isi neraka Jahannam banyak sekali  dari jenis jin dan jenis manusia karena kesesatan mereka; mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar petunjuk-petunjuk Allah. Mereka itu seperti binatang ternak yang tidak dapat memanfaatkan petunjuk, bahkan mereka lebih sesat lagi daripada binatang. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar amat lalai.
Hati, mata, dan telinga orang-orang yang memilih kesesatan dipersamakan dengan binatang karena binatang tidak dapat menganalogikan apa yang ia dengar dan lihat dengan sesuatu yang lain. Binatang tidak memiliki akal seperti manusia. Bahkan manusia yang tidak menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah lebih buruk, sebab binatang dengan instinknya akan selalu mencari kebaikan dan menghindari bahaya, sementar manusia durhaka justru menolak kebaikan dan kebenaran dan mengarah kepada bahaya yang tiada taranya. Setelah kematian, mereka kekal di api neraka, berbeda dengan binatang yang punah dengan kematiannya. Di sisi lain, binatang tidak dianugerahi potensi sebanyak potensi manusia, sehingga binatang tidak wajar dikecam bila tidak mencapai apa yang dapat dicapai manusia. Manusia pantas dikecam bila sama dengan binatang dan dikecam lebih banyak lagi jika ia lebih buruk dari pada binatang, karena potensi manusia dapat mengantarnya meraih ketinggian jauh melebihi kedudukan binatang.
Kata (الغافلون) al-ghafilun terambil dari kata (غفلة) ghaflah, yakni lalai, tidak mengetahui atau menyadari apa yang seharusnya diketahui dan disadari. Keimanan dan petunjuk Allah sedemikian jelas, apalagi bagi yang berpengetahuan, tetapi bila mereka tidak memanfaatkannya maka mereka bagaikan orang yang tidak mengetahui atau tidak menyadari bahwa mereka memiliki potensi atau alat untuk meraih kebahagiaan. Inilah kelalaian yang tiada taranya.[1]
Sesungguhnya kebanyakan jin dan manusia itu adalah makhluk yang diciptakan untuk isi neraka jahannam, di siapkan untuknya! Mengapa begitu?. Ada dua pandangan mengenai hal ini :
Pertama, sudah diketahui di dalam ilmu Allah yang azali, bahwa makhluk-makhluk ini akan masuk neraka jahannam. Hal ini tampaknya tidak memerlukan tindakan nyata yang karena tindakan ini mereka pantas masuk neraka. Maka, ilmu Allah itu meliputi sesuatu yang tidak terikat pada waktu dan tidak terikat pada gerakan nyata yang akan timbul sesudah itu dalam alam kebiasaan.
Kedua, ilmu yang azali (yang tidak terikat pada masa dan gerakan dalam alam manusia) bukan yang mendorong makhluk-makhluk ini kepada kesesatan yang karenanya mereka layak masuk neraka. Akan tetapi, yang menyebabkan mereka masuk neraka adalah karena keadaan dan sikap mereka seperti yang digambarkan dalam nash ayat tersebut,
“...mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan nya untuk memahami (ayat-ayat Allah). Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah)...”
Jadi, mereka tidak mau membuka hati yang telah diberi kemampuan untuk memikirkan petunjuk-petunjuk keimanan dan hidayah yang terbentang di alam semesta. Juga didalam risalah-risalah yang dapat diketahui oleh hati yang terbuka dan pandangan yang melek. Akan tetapi, mereka tidak mau membuka mata mereka untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta. Juga tidak mau membuka telinga mereka untuk mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan (Al-qur’an). Mereka telah mengabaikan perangkat-perangkat yang telah diberikan kepada mereka ini. Mereka tidak mau mempergunakannya. Mereka hidup dalam kelalaian dan tidak mau memikirkan dan merenungkan.
“... mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”
Orang-orang yang lalai terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta dan didalam kehidupan, dan yang lalai terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri mereka dan orang lain. Sehingga, tidak melihat adanya tangan Allah pada semua itu. Maka, mereka itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Binatang ternak memiliki perangkat-perangkat instingtif yang dapat menuntun mereka. Sedangkan, jin dan manusia ditambah lagi dengan kalbu yang dapat memahami, mata yang dapat memandang, dan telinga yang dapat menangkap suara. Apabila mereka tidak membuka hati, mata, dan pendengaran mereka untuk memikirkan dan merenungkan ketika mereka menempuh kehidupan dengan lengah, maka mereka itu lebih sesat dari pada binatang ternak yang Cuma dibekali fitrah saja. Sesudah itu mereka akan menjadi isi neraka jahannam!
Qadar Allah berlaku pada mereka, sesuai dengan kehendak-Nya ketika menciptakan mereka dengan persiapan-persiapan dan potensi-potensi itu. Dia juga telah membuat aturan mengenai pembalasannya. Maka, orang yang demikian sifat dan sikapnya, sebagaimana diketahui Allah dalam ilmu Nya yang qadim, adalah isi neraka jahannam sejak mereka ada!

2.      SURAT AL-MUDATSIR AYAT 42-47 :
$tB óOä3x6n=y Îû ts)y ÇÍËÈ   (#qä9$s% óOs9 à7tR šÆÏB tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇÍÌÈ   óOs9ur à7tR ãNÏèôÜçR tûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÍÍÈ   $¨Zà2ur ÞÚqèƒwU yìtB tûüÅÒͬ!$sƒø:$# ÇÍÎÈ   $¨Zä.ur Ü>Éjs3çR ÏQöquÎ/ ÈûïÏd9$# ÇÍÏÈ   #Ó¨Lym $oY9s?r& ßûüÉ)uø9$# ÇÍÐÈ  
42. "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
43. mereka menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
44. dan Kami tidak (pula) memberi Makan orang miskin,
45. dan adalah Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya,
46. dan adalah Kami mendustakan hari pembalasan,
47. hingga datang kepada Kami kematian".
Bentuk pertanyaan yang menggunakan kata apa bukan siapa menunjukkan bahwa keterjerumusan mereka ke neraka adalah akibat langsung dari bentuk-bentuk perbuatan tertentu sebagaimana yang terbaca pada ayat-ayat berikut.
Ayat-ayat diatas adalah jawaban para pendurhaka atas pertanyaan penghuni surga yang dikemukakan dalam ayat tadi. Mereka menjawab menjelaskan sebab mereka masuk ke neraka : “kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat yang diwajibkan lima kali sehari, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, dan adalah kami senantiasa membicarakan yang bathil, bersama dengan para pembicara-nya yang demikian buruk kepribadiannya, dan adalah kami selalu juga mendustakan hari pembalasan. Kedurhakaan kami itu berlanjut hingga datang kepada kami keyakinan yakni kematian atau sakaratnya.”
Shalat merupakan ibadah wajib dalam seluruh agama. Ia adalah pengakuan tentang keagungan Allah dan kewajaran-Nya untuk di sembah dan dimohon bantuan-Nya. Dengan demikian pengakuan bahwa mereka tidak termasuk kelompok hamba-hamba Allah yang shalat mencerminkan buruknya hubungan mereka dengan Allah. Yang dimaksud dalam ayat ini tentunya adalah shalat wajib.
Kata (مسكين) miskin terambil dari kata (مسكنة) maskanah yang berarti kehinaan atau ketundukan. Boleh juga ia berasal dari kata (سكن) sakana yang berarti tenang atau tidak bergerak. Hal-hal tersebut terjadi akibat kekurangan harta benda atau oleh sebab lain seperti keteraniayaan, kerendahan hati, dan sebagainya. Yang dimaksud oleh ayat 44 di atas adalah tidak menunaikan kewajiban zakat atau keharusan bersedekah. Itu adalah perlambang keburukan hubungan mereka terhadap sesama manusia.
Kata (نخوض) nakhudu yang pelaku-pelakunya disebut (الخائضين) al-khaidin pada mulanya berarti masuk kedalam suatu tempat yang digenangi air atau berlumpur. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini pada mulanya berarti kedalaman air. Seseorang yang masuk tercebur ke kedalaman air, tetapi tidak pandai berenang dan kakinya pun tidak menyentuh dasar sungai atau laut tempat dia tercebur itu, tentu saja tidak dapat berjalan karena ia tidak memiliki pijakan. Demikianlah keadaan seseorang yang melecehkan agama, ia berbicara tanpa dasar. Karena itu, kata ini pada umumnya tidak digunakan kecuali untuk makna pembicaraan atau aktivitas yang bathil serta tidak berdasar bahkan yang mengakibatkan kecemaran dan kekotoran.
Al-qur’an pada umumnya menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan pembicaraan-pembicaraan batil dan tidak berguna. Kedurhakaan yang mereka akui ini menggambarkan sikap mereka yang meremehkan ajaran agama atau bersikap tak acuh terhadap tuntunan-tuntunannya.
Kata (اليقين) al-yaqin antara lain berarti pengetahuan yang pasti dan yang lahir setelah sebelumnya ada kerancuan. Kata ini juga diartikan sebagai kematian karena, di samping kematian merupakan sesuatu yang bersifat pasti, juga karena ajaran-ajaran agama yang harus dipercayai itu akan diketahui dan terungkap secara pasti dan diyakini secara penuh setelah datangnya kematian.
Pengakuan bahwa mereka tidak mempercayai keniscayaan kiamat, merupakan penyebab utama dari aneka kedurhakaan yang disebut sebelum ini.[2]

3.      SURAT AN-NAZI’AT AYAT 37-39 :
$¨Br'sù `tB 4ÓxösÛ ÇÌÐÈ   trO#uäur no4quŠptø:$# $u÷R9$# ÇÌÑÈ   ¨bÎ*sù tLìÅspgø:$# }Ïd 3urù'yJø9$# ÇÌÒÈ  
37. Adapun orang yang melampaui batas,
38. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,
39. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
“melampaui batas” disini lebih luas cakupannya daripada maknanya yang terbatas. Maka, ia merupakan sifat bagi setiap orang yang melampaui batas kebenaran dan petunjuk. Jangkauannya lebih luas dari pada thughat “para tiran” yang memiliki kekuasaan dan diktator. Melampaui batas di sini mencakup semua orang yang melampaui batas petunjuk serta mengutamakan dan memililih kehidupan dunia dari pada memilih kehidupan akhirat. Sehingga, ia bekerja dan berbuat untuk dunia saja, tanpa memperhitungkan akhirat sama sekali.
Memperhatikan akhirat inilah yang meletakkan timbangan di tangan manusia dan di dalam hati nuraninya. Apabila ia telah mengabaikan perhitungan akhirat atau lebih mengutamakan dunia, maka rusaklah semua timbangan yang ada di tangannya, rusaklah semua ukuran nilai. Rusaklah semua kaidah berperasaan dan berperilaku di dalam hidupnya. Ia dianggap sebagai orang yang berlebihan, melanggar, serta melampaui batas dan ukuran.
Orang yang demikian ini, “maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)”. Neraka yang terbuka, terlihat, dekat, dan dihadapan mata, pada hari ketika terjadi malapetaka yang sangat besar.
Kata (المأوى) al-ma’wa terambil dari kata (أوى ) awa yang berarti bergabung. Al-ma’wa adalah tempat bergabung untuk tinggal bersama yang lain. Sementara ulama memahami huruf alif dan lam (al) pada kata al-ma’wa sebagai pengganti nama yang menunjuk persona ketiga (nya). Dengan demikian, kata al-ma’wa berarti tempat tinggalnya. Ada yang memunculkan dalam benaknya kata (له) lahu/ baginya agar kalimat ayat-ayat di atas lebih mudah dipahami. [3]

4.      SURAT LUQMAN AYAT 21 :
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ7®KtR $tB $tRôy`ur Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 4 öqs9urr& tb%Ÿ2 ß`»sÜø¤±9$# öNèdqããôtƒ 4n<Î) É>#xtã ÎŽÏè¡¡9$# ÇËÊÈ  
21. dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya) mengikuti apa yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?
Kendati yang membantah itu tidak memiliki sedikitpun pijakan, bahkan bukti-bukti yang menunjukkan kesesatan pandangan dan kepercayaan mereka, mereka tetap juga durhaka. Dan apabila dikatakan kepada mereka oleh siapa pun yang tulus menasihatinya bahwa : “ikutilah secara sungguh-sungguh apa, yakni tuntunan, yang telah diturunkan Allah, pencipta dan pemelihara alam semesta”, mereka menjawab dengan angkuh sambil berkata: “Tidak, kami enggan mengikutinya, tetapi kami hanya mengikuti secara sungguh-sungguh apa yang kami dapati atas dasar-nya bapak-bapak kami. Kami tidak akan mengerjakan apa pun yang bertentangan dengan tradisi dan kebiasaan leluhur”.
Mendengar jawaban ini, orang yang menasihati itu berkomentar heran : “Apakah mereka mengikuti bapak-bapak mereka padahal bapak-bapak mereka mengikuti setan dan apakah mereka mengikutinya walaupun setan yang terkutuk senantiasa dan sejak dahulu terus-menerus menyeru mereka memercayai dan melakukan aneka aktivitas yang mengantar mereka masuk ke dalam siksa api neraka yang menyala-nyala?”
Thabatthaba’i menjelaskan bahwa kalimat : (اتبعوماأنزل اللله) ittabi’u ma anzalallah/ ikutilah apa yang diturunkan Allah agaknya sengaja di pilih, bukan misalnya “ikutilah Al-kitab” atau “ikutilah Al-qur’an” untuk mengisyaratkan bahwa ajakan ini adalah ajakan yang memiliki hujjah yang kuat, bukan ajakan tanpa dalil. Ini karena turunnya tuntunan ilahi itu dikukuhkan oleh bukti kenabian. Ayat ini, menurut ulama beraliran syi’ah itu, seakan-akan menyatakan : apabila mereka diajak kepada agama tauhid yang dibuktikan oleh kitab suci yang turunnya dari Allah secara pasti, lalu disampaikan kepada mereka dengan bukti-bukti itu, mereka berkata tanpa bukti bahwa : “Kami mengikuti apa yang kami dapati dari leluhur kami”.[4]
Di terangkan dalam tafsir fi zhilalil qur’an bahwa, itu lah patokan dan sandaran mereka satu-satunya. Dan, itulah bukti dan dalil mereka yang sangat aneh! Itu merupakan taqlid yang membutakan dan membuat orang tidak bersandar kepada ilmu dan tidak berpatokan kepada pikiran. Suatu sikap taqlid yang ingin di basmi oleh islam dan islam ingin membebaskan mereka daripadanya.kemudian membebaskan pikiran mereka untuk memikirkan, menyebarkan sikap dinamis, kesadaran dan cahaya didalamnya. Taklid itu telah membuat mereka enggan berpaling dari masa lalu yang menyimpang dan selalu berpegang kepada ikatan-ikatan dan rantai-rantai yang membelenggunya.
Sesungguhnya islam itu adalah kebebasan dalam hati nurani, gerakan dan perasaan, pencarian kepada pencerahan, dan manhaj baru dalam kehidupan yang membebaskan dari ikatan taqlid dan jumud. Namun demikian, kelompok manusia itu enggan menerimanya, menghalangi diri dan ruh mereka sendiri dari hidayahnya, dan mereka menentang Allah tanpa ilmu, hidayah, dan kitab yang mencerahkan. Oleh karena itu, pantaslah mereka mendapat hardikan dan penghinaan. Dan, dari sisi yang sempit terdapat isyarat dalam ayat ini tentang hukuman dan akibat dari sikap keraguan dan kebingungan ini.
“...apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?”
Sikap ini merupakan ajakan setan terhadap mereka kepada azab neraka yang sama-sama akan mereka rasakan. Nah, apakah mereka akan tetap bersikeras memegang ajaran setan itu, walaupun ia menuntun mereka kepada tempat kembali yang menderitakan itu? Demikian suatu sentuhan yang menyadarkan dan sangat membekas, setelah pemaparan tentang dalil alam semesta yang agung dan lembut itu.
Berkenaan dengan penentangan yang keras kepala dan tidak bersandar kepada ilmu pengetahuan, tidak di tuntun dengan hidayah, dan tidak bersumber kepada kitab yang dapat dipertanggung jawabkan. Al-qur’an menunjukkan kepada perilaku yang wajib dan seharusnya diarahkan kepadanya. Hal ini sebagai konsekuensi dari pengarahan bukti dalam alam semesta yang luar biasa dan nikmat yang berlimpah.















DAFTAR PUSTAKA

Ø  M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002
Ø  Sayyid Qutb, Fi Zhilalil Qur’an.




[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 5, Hlm: 313
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 14, Hlm :607-608
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 15, Hlm :56-57
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 10, Hlm 322

Tidak ada komentar:

Posting Komentar