NERAKA DAN PARA PENGHUNINYA
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah Tafsir

Disusun Oleh:
Ahmad Miftachul
Amin
NIM.212 342 9335
PRODI ILMU
QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN
USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI BENGKULU
2014
PENDAHULUAN
Al Quran adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw
secara bertahap melalui perantara malaikat jibril, didalamnya berisi tentang
berbagai macam ilmu-ilmu ketauhidan, syariat, aqidah, muamalah dan ilmu-imu
yang lain, alquran merupakan kitab penyempurna dari tiga kitab yang diturunkan
Allah SWT kepada nabi-nabi sebelumnya
yaitu Taurat, Injil dan Zabur, ciri bahasa Al Quran adalah global atau masih
bersifat umum, oleh karenanya dalam memahami Al Quran
dibutuhkan penafsiran secara mendalam. Penafsiran Al Quran yang pertama
kali dilakukan oleh nabi muhammad SAW kemudian berlanjut pada masa
sahabat-sahabat nabi diteruskan oleh tabiin, didalam Al-Quran akan banyak
dijumpai ayat-ayat yang menyebutkan tentang keesaan Allah SWT, bagaimana
eksistensi Allah dalam segala hal serta janji-janji Allah dan fitrah mengenal
allah.
Dalam makalah ini kami akan mencoba
menyampaikan beberapa ayat yang menyajikan ayat-ayat tentang “Neraka dan para
penghuninya” sesuai yang terdapat dalam al-qur’an serta dengan di dukung literatur-literatur
yang telah di dapatkan.
PEMBAHASAN
1.
SURAT AL-A’RAF
AYAT 179 :
s)s9ur $tRù&us zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2 ÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% w cqßgs)øÿt $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã $pkÍ5 öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
179.
dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah
orang-orang yang lalai.
Ayat
ini menjadi penjelasan mengapa seseorang tidak mendapat petunjuk dan mengapa
pula yang lain di sesatkan Allah. Ayat ini juga berfungsi sebagai ancaman
kepada mereka yang mengabaikan tuntunan pengetahuannya. Ia menjelaskan bahwa
mereka yang kami kisahkan keadaannya itu, yang menguliti dirinya sehingga kami
sesatkan adalah sebagaian dari yang kami jadikan untuk isi neraka dan demi
keagungan dan kemuliaan kami sungguh kami telah ciptakan untuk isi
neraka Jahannam banyak sekali dari jenis jin dan jenis manusia
karena kesesatan mereka; mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka
gunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar
petunjuk-petunjuk Allah. Mereka itu seperti binatang ternak yang tidak
dapat memanfaatkan petunjuk, bahkan mereka lebih sesat lagi daripada
binatang. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar amat lalai.
Hati,
mata, dan telinga orang-orang yang memilih kesesatan dipersamakan dengan
binatang karena binatang tidak dapat menganalogikan apa yang ia dengar dan
lihat dengan sesuatu yang lain. Binatang tidak memiliki akal seperti manusia.
Bahkan manusia yang tidak menggunakan potensi yang dianugerahkan Allah lebih
buruk, sebab binatang dengan instinknya akan selalu mencari kebaikan dan
menghindari bahaya, sementar manusia durhaka justru menolak kebaikan dan
kebenaran dan mengarah kepada bahaya yang tiada taranya. Setelah kematian,
mereka kekal di api neraka, berbeda dengan binatang yang punah dengan
kematiannya. Di sisi lain, binatang tidak dianugerahi potensi sebanyak potensi
manusia, sehingga binatang tidak wajar dikecam bila tidak mencapai apa yang
dapat dicapai manusia. Manusia pantas dikecam bila sama dengan binatang dan
dikecam lebih banyak lagi jika ia lebih buruk dari pada binatang, karena
potensi manusia dapat mengantarnya meraih ketinggian jauh melebihi kedudukan
binatang.
Kata
(الغافلون)
al-ghafilun terambil dari kata (غفلة) ghaflah, yakni lalai, tidak
mengetahui atau menyadari apa yang seharusnya diketahui dan disadari. Keimanan
dan petunjuk Allah sedemikian jelas, apalagi bagi yang berpengetahuan, tetapi
bila mereka tidak memanfaatkannya maka mereka bagaikan orang yang tidak
mengetahui atau tidak menyadari bahwa mereka memiliki potensi atau alat untuk
meraih kebahagiaan. Inilah kelalaian yang tiada taranya.[1]
Sesungguhnya
kebanyakan jin dan manusia itu adalah makhluk yang diciptakan untuk isi neraka
jahannam, di siapkan untuknya! Mengapa begitu?. Ada dua pandangan mengenai hal
ini :
Pertama,
sudah
diketahui di dalam ilmu Allah yang azali, bahwa makhluk-makhluk ini akan masuk
neraka jahannam. Hal ini tampaknya tidak memerlukan tindakan nyata yang karena
tindakan ini mereka pantas masuk neraka. Maka, ilmu Allah itu meliputi sesuatu
yang tidak terikat pada waktu dan tidak terikat pada gerakan nyata yang akan
timbul sesudah itu dalam alam kebiasaan.
Kedua,
ilmu
yang azali (yang tidak terikat pada masa dan gerakan dalam alam manusia) bukan
yang mendorong makhluk-makhluk ini kepada kesesatan yang karenanya mereka layak
masuk neraka. Akan tetapi, yang menyebabkan mereka masuk neraka adalah karena
keadaan dan sikap mereka seperti yang digambarkan dalam nash ayat tersebut,
“...mereka
mempunyai hati, tetapi tidak digunakan nya untuk memahami (ayat-ayat Allah).
Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah). Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah)...”
Jadi,
mereka tidak mau membuka hati yang telah diberi kemampuan untuk memikirkan petunjuk-petunjuk
keimanan dan hidayah yang terbentang di alam semesta. Juga didalam
risalah-risalah yang dapat diketahui oleh hati yang terbuka dan pandangan yang
melek. Akan tetapi, mereka tidak mau membuka mata mereka untuk melihat
tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta. Juga tidak mau membuka telinga
mereka untuk mendengar ayat-ayat Allah yang dibacakan (Al-qur’an). Mereka telah
mengabaikan perangkat-perangkat yang telah diberikan kepada mereka ini. Mereka
tidak mau mempergunakannya. Mereka hidup dalam kelalaian dan tidak mau
memikirkan dan merenungkan.
“... mereka itu
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah
orang-orang yang lalai.”
Orang-orang
yang lalai terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta dan didalam kehidupan, dan
yang lalai terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri mereka dan orang
lain. Sehingga, tidak melihat adanya tangan Allah pada semua itu. Maka, mereka
itu bagaikan binatang ternak bahkan lebih sesat lagi. Binatang ternak memiliki
perangkat-perangkat instingtif yang dapat menuntun mereka. Sedangkan, jin dan
manusia ditambah lagi dengan kalbu yang dapat memahami, mata yang dapat
memandang, dan telinga yang dapat menangkap suara. Apabila mereka tidak membuka
hati, mata, dan pendengaran mereka untuk memikirkan dan merenungkan ketika
mereka menempuh kehidupan dengan lengah, maka mereka itu lebih sesat dari pada
binatang ternak yang Cuma dibekali fitrah saja. Sesudah itu mereka akan menjadi
isi neraka jahannam!
Qadar
Allah berlaku pada mereka, sesuai dengan kehendak-Nya ketika menciptakan mereka
dengan persiapan-persiapan dan potensi-potensi itu. Dia juga telah membuat
aturan mengenai pembalasannya. Maka, orang yang demikian sifat dan sikapnya,
sebagaimana diketahui Allah dalam ilmu Nya yang qadim, adalah isi neraka
jahannam sejak mereka ada!
2.
SURAT
AL-MUDATSIR AYAT 42-47 :
$tB óOä3x6n=y Îû ts)y ÇÍËÈ (#qä9$s% óOs9 à7tR ÆÏB tû,Íj#|ÁßJø9$# ÇÍÌÈ óOs9ur à7tR ãNÏèôÜçR tûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÍÍÈ $¨Zà2ur ÞÚqèwU yìtB tûüÅÒͬ!$sø:$# ÇÍÎÈ $¨Zä.ur Ü>Éjs3çR ÏQöquÎ/ ÈûïÏd9$# ÇÍÏÈ #Ó¨Lym $oY9s?r& ßûüÉ)uø9$# ÇÍÐÈ
42.
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
43. mereka
menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
44. dan Kami
tidak (pula) memberi Makan orang miskin,
45. dan adalah
Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya,
46. dan adalah
Kami mendustakan hari pembalasan,
47. hingga
datang kepada Kami kematian".
Bentuk
pertanyaan yang menggunakan kata apa bukan siapa menunjukkan
bahwa keterjerumusan mereka ke neraka adalah akibat langsung dari bentuk-bentuk
perbuatan tertentu sebagaimana yang terbaca pada ayat-ayat berikut.
Ayat-ayat
diatas adalah jawaban para pendurhaka atas pertanyaan penghuni surga yang
dikemukakan dalam ayat tadi. Mereka menjawab menjelaskan sebab mereka
masuk ke neraka : “kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan
shalat yang diwajibkan lima kali sehari, dan kami tidak pula memberi
makan orang miskin, dan adalah kami senantiasa membicarakan yang bathil,
bersama dengan para pembicara-nya yang demikian buruk kepribadiannya, dan
adalah kami selalu juga mendustakan hari pembalasan. Kedurhakaan
kami itu berlanjut hingga datang kepada kami keyakinan yakni kematian
atau sakaratnya.”
Shalat
merupakan ibadah wajib dalam seluruh agama. Ia adalah pengakuan tentang
keagungan Allah dan kewajaran-Nya untuk di sembah dan dimohon bantuan-Nya.
Dengan demikian pengakuan bahwa mereka tidak termasuk kelompok hamba-hamba
Allah yang shalat mencerminkan buruknya hubungan mereka dengan Allah. Yang
dimaksud dalam ayat ini tentunya adalah shalat wajib.
Kata
(مسكين)
miskin terambil dari kata (مسكنة) maskanah yang berarti kehinaan atau
ketundukan. Boleh juga ia berasal dari kata (سكن) sakana yang berarti tenang atau
tidak bergerak. Hal-hal tersebut terjadi akibat kekurangan harta benda
atau oleh sebab lain seperti keteraniayaan, kerendahan hati, dan sebagainya.
Yang dimaksud oleh ayat 44 di atas adalah tidak menunaikan kewajiban zakat atau
keharusan bersedekah. Itu adalah perlambang keburukan hubungan mereka terhadap
sesama manusia.
Kata
(نخوض)
nakhudu yang pelaku-pelakunya disebut (الخائضين)
al-khaidin pada mulanya berarti masuk kedalam suatu tempat yang
digenangi air atau berlumpur. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ini pada
mulanya berarti kedalaman air. Seseorang yang masuk tercebur ke
kedalaman air, tetapi tidak pandai berenang dan kakinya pun tidak menyentuh
dasar sungai atau laut tempat dia tercebur itu, tentu saja tidak dapat berjalan
karena ia tidak memiliki pijakan. Demikianlah keadaan seseorang yang melecehkan
agama, ia berbicara tanpa dasar. Karena itu, kata ini pada umumnya tidak
digunakan kecuali untuk makna pembicaraan atau aktivitas yang bathil serta
tidak berdasar bahkan yang mengakibatkan kecemaran dan kekotoran.
Al-qur’an
pada umumnya menggunakan kata tersebut untuk menggambarkan
pembicaraan-pembicaraan batil dan tidak berguna. Kedurhakaan yang mereka akui
ini menggambarkan sikap mereka yang meremehkan ajaran agama atau bersikap tak
acuh terhadap tuntunan-tuntunannya.
Kata
(اليقين) al-yaqin antara lain berarti pengetahuan yang pasti
dan yang lahir setelah sebelumnya ada kerancuan. Kata ini juga diartikan
sebagai kematian karena, di samping kematian merupakan sesuatu yang
bersifat pasti, juga karena ajaran-ajaran agama yang harus dipercayai itu akan
diketahui dan terungkap secara pasti dan diyakini secara penuh setelah
datangnya kematian.
Pengakuan
bahwa mereka tidak mempercayai keniscayaan kiamat, merupakan penyebab utama
dari aneka kedurhakaan yang disebut sebelum ini.[2]
3.
SURAT
AN-NAZI’AT AYAT 37-39 :
$¨Br'sù `tB 4ÓxösÛ ÇÌÐÈ trO#uäur no4quptø:$# $u÷R9$# ÇÌÑÈ ¨bÎ*sù tLìÅspgø:$# }Ïd 3urù'yJø9$# ÇÌÒÈ
37.
Adapun orang yang melampaui batas,
38. dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia,
39. Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).
“melampaui
batas” disini lebih luas cakupannya daripada maknanya yang terbatas. Maka,
ia merupakan sifat bagi setiap orang yang melampaui batas kebenaran dan
petunjuk. Jangkauannya lebih luas dari pada thughat “para tiran” yang
memiliki kekuasaan dan diktator. Melampaui batas di sini mencakup semua orang
yang melampaui batas petunjuk serta mengutamakan dan memililih kehidupan dunia
dari pada memilih kehidupan akhirat. Sehingga, ia bekerja dan berbuat untuk dunia
saja, tanpa memperhitungkan akhirat sama sekali.
Memperhatikan
akhirat inilah yang meletakkan timbangan di tangan manusia dan di dalam hati
nuraninya. Apabila ia telah mengabaikan perhitungan akhirat atau lebih
mengutamakan dunia, maka rusaklah semua timbangan yang ada di tangannya,
rusaklah semua ukuran nilai. Rusaklah semua kaidah berperasaan dan berperilaku
di dalam hidupnya. Ia dianggap sebagai orang yang berlebihan, melanggar, serta
melampaui batas dan ukuran.
Orang
yang demikian ini, “maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya)”. Neraka
yang terbuka, terlihat, dekat, dan dihadapan mata, pada hari ketika terjadi
malapetaka yang sangat besar.
Kata
(المأوى)
al-ma’wa terambil dari kata (أوى
) awa yang berarti bergabung. Al-ma’wa adalah tempat bergabung
untuk tinggal bersama yang lain. Sementara ulama memahami huruf alif dan
lam (al) pada kata al-ma’wa sebagai pengganti nama yang menunjuk
persona ketiga (nya). Dengan demikian, kata al-ma’wa berarti tempat
tinggalnya. Ada yang memunculkan dalam benaknya kata (له)
lahu/ baginya agar kalimat ayat-ayat di atas lebih mudah dipahami. [3]
4.
SURAT LUQMAN
AYAT 21 :
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ7®KtR $tB $tRôy`ur Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 4 öqs9urr& tb%2 ß`»sÜø¤±9$# öNèdqããôt 4n<Î) É>#xtã ÎÏè¡¡9$# ÇËÊÈ
21.
dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan
Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi Kami (hanya) mengikuti apa
yang Kami dapati bapak-bapak Kami mengerjakannya". dan Apakah mereka (akan
mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam
siksa api yang menyala-nyala (neraka)?
Kendati
yang membantah itu tidak memiliki sedikitpun pijakan, bahkan bukti-bukti yang
menunjukkan kesesatan pandangan dan kepercayaan mereka, mereka tetap juga
durhaka. Dan apabila dikatakan kepada mereka oleh siapa pun yang tulus
menasihatinya bahwa : “ikutilah secara sungguh-sungguh apa, yakni
tuntunan, yang telah diturunkan Allah, pencipta dan pemelihara alam
semesta”, mereka menjawab dengan angkuh sambil berkata: “Tidak, kami
enggan mengikutinya, tetapi kami hanya mengikuti secara
sungguh-sungguh apa yang kami dapati atas dasar-nya bapak-bapak kami.
Kami tidak akan mengerjakan apa pun yang bertentangan dengan tradisi dan
kebiasaan leluhur”.
Mendengar
jawaban ini, orang yang menasihati itu berkomentar heran : “Apakah mereka
mengikuti bapak-bapak mereka padahal bapak-bapak mereka mengikuti setan dan
apakah mereka mengikutinya walaupun setan yang terkutuk senantiasa
dan sejak dahulu terus-menerus menyeru mereka memercayai dan melakukan
aneka aktivitas yang mengantar mereka masuk ke dalam siksa api neraka yang
menyala-nyala?”
Thabatthaba’i
menjelaskan bahwa kalimat : (اتبعوماأنزل اللله) ittabi’u ma anzalallah/ ikutilah apa
yang diturunkan Allah agaknya sengaja di pilih, bukan misalnya “ikutilah
Al-kitab” atau “ikutilah Al-qur’an” untuk mengisyaratkan bahwa ajakan ini
adalah ajakan yang memiliki hujjah yang kuat, bukan ajakan tanpa dalil. Ini
karena turunnya tuntunan ilahi itu dikukuhkan oleh bukti kenabian. Ayat ini,
menurut ulama beraliran syi’ah itu, seakan-akan menyatakan : apabila mereka
diajak kepada agama tauhid yang dibuktikan oleh kitab suci yang turunnya dari
Allah secara pasti, lalu disampaikan kepada mereka dengan bukti-bukti itu,
mereka berkata tanpa bukti bahwa : “Kami mengikuti apa yang kami dapati dari
leluhur kami”.[4]
Di
terangkan dalam tafsir fi zhilalil qur’an bahwa, itu lah patokan dan
sandaran mereka satu-satunya. Dan, itulah bukti dan dalil mereka yang sangat
aneh! Itu merupakan taqlid yang membutakan dan membuat orang tidak bersandar
kepada ilmu dan tidak berpatokan kepada pikiran. Suatu sikap taqlid yang ingin
di basmi oleh islam dan islam ingin membebaskan mereka daripadanya.kemudian
membebaskan pikiran mereka untuk memikirkan, menyebarkan sikap dinamis,
kesadaran dan cahaya didalamnya. Taklid itu telah membuat mereka enggan
berpaling dari masa lalu yang menyimpang dan selalu berpegang kepada
ikatan-ikatan dan rantai-rantai yang membelenggunya.
Sesungguhnya
islam itu adalah kebebasan dalam hati nurani, gerakan dan perasaan, pencarian
kepada pencerahan, dan manhaj baru dalam kehidupan yang membebaskan dari ikatan
taqlid dan jumud. Namun demikian, kelompok manusia itu enggan menerimanya,
menghalangi diri dan ruh mereka sendiri dari hidayahnya, dan mereka menentang
Allah tanpa ilmu, hidayah, dan kitab yang mencerahkan. Oleh karena itu,
pantaslah mereka mendapat hardikan dan penghinaan. Dan, dari sisi yang sempit
terdapat isyarat dalam ayat ini tentang hukuman dan akibat dari sikap keraguan
dan kebingungan ini.
“...apakah
mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke
dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?”
Sikap
ini merupakan ajakan setan terhadap mereka kepada azab neraka yang sama-sama
akan mereka rasakan. Nah, apakah mereka akan tetap bersikeras memegang ajaran
setan itu, walaupun ia menuntun mereka kepada tempat kembali yang menderitakan
itu? Demikian suatu sentuhan yang menyadarkan dan sangat membekas, setelah
pemaparan tentang dalil alam semesta yang agung dan lembut itu.
Berkenaan
dengan penentangan yang keras kepala dan tidak bersandar kepada ilmu
pengetahuan, tidak di tuntun dengan hidayah, dan tidak bersumber kepada kitab
yang dapat dipertanggung jawabkan. Al-qur’an menunjukkan kepada perilaku yang
wajib dan seharusnya diarahkan kepadanya. Hal ini sebagai konsekuensi dari
pengarahan bukti dalam alam semesta yang luar biasa dan nikmat yang berlimpah.
DAFTAR PUSTAKA
Ø M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002
Ø Sayyid
Qutb, Fi Zhilalil Qur’an.
[1] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 5, Hlm: 313
[2] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 14, Hlm
:607-608
[3] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 15, Hlm :56-57
[4] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Lentera Hati, Jakarta, 2002, Jilid 10, Hlm 322
Tidak ada komentar:
Posting Komentar