PEMBAHASAN
1.
AGAMA DAN KEHIDUPAN MANUSIA
a)
Pengertian Agama :
ada beberapa orang mengartikan kata-kata “Agama” dengan “menegakkan”,
karena dianggap kata tersebut berasal dari bahasa arab “Aqoma”. Tapi arti
demikian belum tentu dapat dibenarkan. Marilah kita bandingkan dengan pendapat
lain, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa “Agama” adalah kata-kata yang
paralel dengan yang terdapat dalam kata mejemuk yang menjadi nama kitab yang
berbahasa jawa kuna seperti “Negara Kertagama” yang mengandung arti : peraturan-peraturan
tentang kemakmuran negara; sedang “Asmaragama” berarti tata cara atau
peraturan-peraturan yang berhubungan dengan asmara.
Dilihat dari pengertian tersebut, maka kita lebih cenderung untuk
menerima arti letterlijk “agama” sebagai peraturan/tata cara, bukannya berasal
dari bahasa arab “Aqoma” yang artinya menegakkan.[1]
Sedangkan pengertian agama yang penulis adopsi dari buku “Metodologi
Studi Islam” karangan Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. yaitu, pengertian agama
dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun
Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama,
dikenal pula kata Din dari bahasa arab dan kata Religi dalam
bahasa eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Menurut satu
pendapat, demikian harun nasution mengtakan, kata itu tersusun dari dua kata, a
= tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat,
diwarisi secara turun temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat
agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari satu generasu ke generasi
lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks
atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya
dikatakan lagi bahwa agama berarti tuntunan. Pengertian ini tampak
menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
Selanjutnya din dalam bahasa semit berarti undang-undang atau
hukum. Dalam bahasa arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan,
patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan
kandungan agama yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan
hukum yang harus dipatuhi penganut agama yang bersangkutan.
Adapun kata religi berasal dari bahasa latin. Menurut satu
pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegree
yang nmengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu
juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi
kepada tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.
Dari beberapa definisi tersebut, akhirnya Harun
Nasution mnyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah
diatas ialah ikatan. Agama memang mengandung ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan
manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi
dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap oleh panca indera.[2]
Adapun pengertian agama dari segi istilah, karena demikian banyak
definisi agama yang dikemukakan oleh para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa
dapat diberi definisi sebagai berikut: 1) pengakuan terhadap adanya hubungan
manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi; 2) pengakuan terhadap adanya
kekuatan ghaib yang menguasai manusia; 3) mengikatkan diri pada suatu bentuk
hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri
manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; 4) kepercayaan pada
suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; 5) suatu sistem
tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib; 6) pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib; 7)
pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan
takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia; 8)
ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[3]
Pengertian mengenai agama juga telah dijelaskan dalam buku ”Pendidikan
Agama Islam” karangan Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, yang mana
penjelasannya ialah : Perkataan agama berasal dari
bahasa Sansekerta yang erat hubungannya dengan agama Hindu dan Budha. Dalam kepustakaan dapat dijumpai uraian tentang perkataan ini.
Karena itu ada bermacam teori mengenai kata agama. Salah satu diantaranya
mengatakan, akar kata agama adalah gam
yang mendapat awalan a dan akhiran a sehingga menjadi a – gam – a. Akar itu kadang-kadang mendapat awalan i dengan akhiran yang sama, sehingga
menjadi i – gam – a, kadangkala
mendapat awalan u dengan akhiran yang
sama sehingga menjadi u – gam – a.
Bahasa Sansekerta yang menjadi asal perkataan agama, termasuk dalam rumpun
bahasa Indo- Jerman, serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris.
Dalam bahasa
Belanda kita temukan kata-kata ga, gaan dan dalam bahasa Inggris kata go yang artinya sama dengan gam: pergi. Namun, setelah mendapat
awalan dan akhiran a pengertiannya
berubah menjadi jalan. Dalam hubungan
dengan makna perkataan-perkataan di atas (agama,
igama, dan ugama) dalam bahasa
Bali ketiganya mempunyai makna berikut. Agama
artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata
cara, upacara dalam berhubungan dengan Dewa-Dewa; sedang ugama ialah peraturan,
tata cara dalam berhubungan antar manusia. Ketiga kata itu kini dipakai dalam
tiga bahasa: agama dalam bahasa
Indonesia, igama dalam bahasa Jawa
dan ugama dalam bahasa Melayu
(Malaysia) dengan pengertian yang sama. Pengertian jalan sebagai perubahan arti
pergi, terdapat juga dalam agama Syinto (Jepang), Budha menyebut undang-undang
pokoknya: jalan. Jesus Kristus menyuruh agar pengikutnya mengikuti jalannya.
Dalam agama Islam terdapat perkataan Syari’at dan tarikat artinya jalan (Haro
Din dkk., 1990: 254). Agama Hindu dan Budha menyebarkan kata agama di Kepulauan Nusantara ini,
diambil alih oleh bahasa Melayu dan dilanjutkan oleh bahasa Indonesia. Selain
dari arti agama yang telah disebutkan di atas, menurut teori, ada beberapa arti
lain yang dikandung oleh perkataan agama.
Dari uraian
tersebut di atas jelas bahwa ada masalah mengenai makna perkataan agama di
tanah air kita. Permasalahannya adalah, dilihat dari sudut ilmu pengetahuan
keagamaan, terdapat kerancuan dalam pemakaian kata agama, karena dipakai untuk
agama-agama yang berbeda sistem dan ruang lingkupnya. Sistem dan ruang lingkup
agama Nasrani, seperti telah disebut di atas tetapi disebut kembali untuk
menegaskan, hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, sedang sistem
dan ruang lingkup agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan
Allah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia, termasuk dirinya
sendiri serta lingkungan hidupnya. Memperbandingkan sistem dan ruang lingkup
ini sengaja dilakukan terhadap dua agama samawi
atau agama Wahyu yaitu Nasrani dan Islam untuk memudahkan pemahaman. Namun,
segera harus dikemukakan bahwa perbedaan itu tidak boleh dipergunakan untuk
menyerang dan merendahkan agama lain, karena kedua agama yang dibandingkan itu
sama-sama berasal dari Allah. Kita harus saling menghormati pemeluk agama lain
yang sistem, ruang lingkup agamanya berbeda dengan agama yang kita peluk.
Namun, perlu segera ditegaskan pula bahwa persamaan istilah untuk menyebut
agama yang berbeda sistem dan ruang lingkupnya
itu, tidak boleh dipahami atau dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa semua
agama sama. Tidak. Agama-agama tidak sama karena berbeda sistem, ruang lingkup,
dan klsifikasinya.
Agama adalah “the problem of ultimate concern”: masalah
yang mengenai kepentingan mutlak setiap orang. Oleh karena itu, menurut Paul
Tillich, setiap orang yang beragama selalu berada dalam keadaan involved (terlibat) dengan agama yang
dianutnya. Memang, kata Profesor Rasjidi, manusia yang beragama itu “aneh”. Ia
melibatkan diri dengan agama yang dipeluknya dan mengikatkan diri kepada Tuhan.
Tetapi, bersamaan dengan itu ia merasa bebas, karena bebas menjalankan segala
sesuatu menurut keyakinannya. Ia tunduk kepada Yang Maha kuasa, tetapi
(bersamaan dengan itu) ia merasa dirinya terangkat, karena merasa mendapat keselamatan. Keselamatanlah yang menjadi
tujuan akhir kehidupan manusia dan keselamatan itu akan diperolehnya melalui
pelaksanaan keyakinan agama yang ia peluk.
Karena agama
mengenai kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang beragama terlibat
dengan agama yang dipeluknya, maka tidaklah mudah membuat sebuah definisi yang
mencakup semua agama. Kesulitannya adalah karena setiap orang beragama cenderung memahami agama menurut
ajaran agamanya sendiri. Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa dalam
kenyataannya agama di dunia ini amat beragam. Namun, karena ada segi-segi agama
yang sama, suatu rumusan umum (sebagai
definisi kerja) mungkin dapat dikemukakan. Agama ialah kepercayaan kepada Tuhan
yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara,
penyembahan, dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau
berdasarkan ajaran agama itu. Selain segi-segi persamaan, antara agama yang
beragama itu terdapat juga perbedaan-perbedaan, seperti telah disebut di atas.
Dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu di dalam masyarakat majemuk karena
beragamnya agama di tanah air kita sikap yang perlu ditegakkan oleh pemeluk
agama adalah sikap ‘agree in disagreement”, sikap setuju (hidup bersama) dalam
perbedaan.[4]
Sudah diakui
secara umum oleh para pengkaji bahwa semua masyarakat yang dikenal di dunia
ini, sampai batas tertentu, bersifat relijius. Pengakuan ini tentunya merupakan
kesepakatan mengenai apa sajakah yang membentuk perilaku keagamaan, namun dalam
kenyataannya kesepakatan mengenai hak ini lebih sulit bisa diperoleh. Argumen
yang dikemukakan mengenai bagaimana cara mendefinisikan agama, dan bagaimana
membedakannya, di satu pihak, dengan magi, sains dan filsafat, dan dengan beberapa
jenis entusiasme politik dan sosial di lain pihak, sudah muncul selama
bertahun-tahun. Hal inilah, meskipun telah ada kesepakatan substansial, yang
dalam prakteknya merupakan cakupan dan corak data yang harus dicoba atasi oleh
setiap ahli (dan pengkaji) sosiologi agama.
E. B. Tylor
dalam buku perintisnya, Primitive Culture,
yang diterbitkan pada tahun 1871, mengemukakan apa yang dikenal dengan
“definisi minimum” agama yang tidak akan memberikan penilaian lagi mengenai
sumber atau fungsinya. Dia mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap
adanya wujud-wujud spiritual”. Namun ketidakpuasan dikemukakan terhadap
definisi ini atas dasar bahwa definisi itu terlalu bercoarak intelektualis, dan
tidak mengacu kepada emosi-emosi khidmat dan hormat yang secara khusus bercorak
keagamaan yang berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan semacam itu. Definisi
dari Tylor itu dikritik lebih jauh karena tampaknya definisi itu berimplikasi
bahwa sasaran sikap keagamaan selalu berupaya wujud personal, padahal bukti antropologik
yang semakin banyak jumlahnya menunjukkan bahwa wujud spiritual pun sering
dipahami sebagai kekuatan impersonal. Radcliffe-Brown, salah seorang ahli
antropologi kurun waktu belakangan, menawarkan definisi yang berusaha
memperbaiki ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan yang diduga ada ini. “Agama”,
katanya, “di mana pun merupakan ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada
kekuatan di luar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakan
sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan moral. “Baginya, ekspresi penting dari
rasa ketergantungan ini adalah peribadatan, dan mengenal kewajiban sosial untuk
melaksanakannya, sebagai lawan dari ketidakpastian dan kemungkinan berubahnya
kepercayaan-kepercayaan terhadap beberapa sasaran ibadat. Dengan pendapatnya
ini dia sangat mendekati pendapat Durkheim, yang menekankan ciri kolektif atau
sosial pada agama dalam definisinya. Menurut pendapatnya, “agama adalah sistem
yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan
dengan benda-benda sakral, yakni katakanlah, benda-benda yang terpisah dan
terlarang kepercayaan-kepercayaan yang peribadatan-peribadatan yang
mempersatukan semua orang yang menganutnya ke dalam suatu komunitas moral yang
disebut gereja”. Mengenai definisi itu dia tidak mengulas lebih lanjut mengenai
kata sakral, dan para pengeritiknya mengatakan bahwa gagasan mengenai kata
sakral, itu terlalu kabur dan cenderung kepada unsur memuaskan dalam definisi
agama itu. Namun demikian jelas dalam semua karya tulisnya bahwa, “yang sakral”
atau “yang terpisah dan terlarang” itu adalah yang hanya bisa diancang dan
dengan peribadatan, karena kekuatannya bisa membahayakan dan juga bisa
menguntungkan. Perpindahan dari dunia sehari-hari yang profan (lawan dari
sakral) harus ditanggapi secara cermat dan hati-hati, dan hanya dengan
cara-cara yang disetujui masyarakat. Jadi peribadatan dan perasaan-perasaan
takut dan khidmat menurut Durkheim, sebagaimana menurut Radcliffe-Brown,
merupakan sifat-sifat pokok agama, tanpa mempermasalahkan sasaran-sasaran
peribadatannya.[5]
b)
Keberadaan Agama Dalam Kehidupan
Manusia
Ø Perspektif
Sosiologis :
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama
dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara
terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta
pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup
bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, soerjono
soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi
diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana
sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang
menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa
pengetahuan prihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh
gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.
Dari dua defenisi tersebut terlihat bahwa sosiologi
adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan
struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Dengan ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor
yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan
yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya,
sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama.
Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru
dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan
dari ilmu sosiologi. [6]
Mengkaji agama
dalam konteks sosiologi memunculkan dua bentuk pebgertian. Pertama, hasil-hasil
kajian agama diperuntukkan bagi kepantingan ilmu studi agama; dan Kedua, hasil-hasil
kajian itu diperuntukkan bagi kepentingan sosiologi. Menurut saya, kedua-duanya
menggunakan prinsip-prinsip metodologi sosiologi dan menghasilkan sosiologi
agama.
Menurut
romadon, ada dua kemungkinan para pengkaji agama menggunakan pendekatan
sosiologi ini, yang satu berangkat sebagai sarjana sosiologi, sedang yang lain
berangkat sebagai sarjana ilmu agama secara religio scientifical. Dengan
demikian, ada perbedaan mendasar antara ahli sosiologi agama dan ahli “ilmu
studi agama” yang sama-sama menggunakan pendekatan sosiologi. Ahli sosiologi
agama terikat oleh Frame work sosiologi objektif, yaitu untuk mengatahui
manusia dan masyarakat sejauh dapat diperoleh atau dicapai melalui penelitian
terhadap unsur-unsur, proses-proses, serta hal-hal yang mempengaruhi dan
dipengaruhi, dari, oleh, dan dalam kehidupan berkelompok. Asumsi dasarnya
adalah tingkah laku manusia itu dipahami sebagai produk kehidupan berkelompok.
Sosiologi agama
dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan
masyarakat serta bentuk-bentuk yang terjadi antarmereka. Interrelasi itu berupa
dorongan, gagasan, dan kelembagaan agama yang mempengaruhi, dan sebaliknya juga
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi, dan stratifikasi sosial.
Jadi, sosiologi agama bertugas menyelidiki tata cara masyarakat, kebudayaan,
dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama itu sendiri
memengaruhi mereka.[7]
Pentingnya
pendekatan sosiologi dalam memahami agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat
dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah
sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya
mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memehami
agamanya. Sebagai contoh, dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, Jalaludin
Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini
islam terhadap masalah sosial, dengan
mengajukan lima alasan sebagai berikut.
Pertama, dalam Al-qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar
dari kedua sumber hukum islam itu berkenaan dengan urusan Muamalah.
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah dalam
islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan wakrtunya
dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan).
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat
perseorangan.
Keempat, dalam islam terdapat ketentusn bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan
masalah sosial.
Kelima, dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik
dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah
sunnah.[8]
Ø Perspektif
Psikologis :
Psikologi atau
ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala prilaku
yang dapat diamatinya. Meurut zakiah derajat perilaku seseorang yang tampak
lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya, seseorang
ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada
guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan
gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu
jiwa agama, sebagaimana dikemukakan zakiah derajat, tidak akan mempersoalkan
benar tidaknya suatu agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku
penganutnya.
Dalam ajaran
agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkanb sikap batin
seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang
saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua
itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu ini
seseorang selain akan mengatahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan
diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama
kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama
akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari
salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan
pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah,langkah baru yang lebih efisien
lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak
digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian
tersebutlah kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai
pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang
teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan
sampai pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan
hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat
dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena
seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.[9]
Dalam abad
ke-20 muncul pendekatan baru untuk menjelaskan agama dari segi ilmu
pengetahuan, yaitu pendekatan psikologi. Studi psikologi terhadap agama
sebenarnya meliputi dua macam kegiatan yaitu : kegiatan pengumpulan dan
klasifikasi data dan kegiatan menyusun dan menguji berbagai keterangan. Di
antara penelitian yang terpenting dalam bidang ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh ahli filsafat dan psikologi Amerika. William James (1842-1910)
dengan tulisannya The Varieties of
Religious Experience, dimana ia telah berusaha menyelidiki pengalaman-pengalaman
keagamaan seperti conversi atau pertobatan dan pindah agama berdasarkan konsep
pengaruh ketidaksadaran – invasions –
from unconsciousness. Tetapi lantaran gaya dan coraknya yang filsofis, maka
pengaruh buku ini dikatakan telah berakhir. Namun sebagai pelopor, dia harus
cukup berperan.
Yang lebih
radikal, walaupun ditulis dengan contoh-contoh yang terlalu banyak dan luas,
adalah tulisan ahli psikologis Amerika J.H Leuba (1868-1946), A Psycological Study Religion. Leuba
berusaha meneliti aspek pengalaman mistik secara psikologi dan fisiologi. Di
antara mereka yang sudah mengusahakan satu klasifikasi yang lebih cermat
mengenai pengalaman mistik ini adalah apa yang sudah dihasilkan oleh sarjana
Inggris Evelyn Underhill (1875-1941). Walaupun studinya tidak semata-mata
didasarkan atas pandangan ilmu jiwa, namun dia sudah berhasil mengungkapkan
sebagai contoh tradisi keagamaan dari Yahudi, Kristen dan Islam.
Akhir-akhir ini
penjelajahan secara sistematis terhadap aspek misti dunia Timur telah banyak
dialakukan orang. Sejumlah besar karya pada sarjana telah berhasil
mendeskripsikan dan mengklasifikasikan berbagai bentuk syamanisme, fetishisme dan gejala-gejala keagamaan lainnya yang
termasuk jenis ini. James Bissert Pratt telah berhasil menulis sebuah buku
berjudul the Religious Consciousness, A Psychological Study. Buku ini berusaha
sedapat mungkin menggambarkan dan mendeskripsikan kesadaran agamawi secara
murni berdasarkan metode empiris yang murni pula.
Sangat erat
hubungannya dengan perdebatan psikologi ini adalah apa yang dihasilkan oleh
Sigmund Freund (1866-1939), salah seorang pemikir besar abad ini turut
menentukan cara bagaimana seharusnya orang memandang dunia dan dirinya sendiri
dewasa ini, telah berhasil merumuskan suatu pendekatan terbaru dalam bidang
psikologi, yaitu pendekataan psiko-analisis. Dalam beberapa tulisannya mengenai
agama, ia tidak pernah menyembunyikan atheismenya, karena baginya agama adalah
gangguan kejiwaan. Psiko-analisis
dihasilkannya setelah ia mencobakan berbagai metode terlebih dahulu, terutama
metode hypnosis dan metode sugesti.
Zakiah Daradjat
menyimpulkan teori psiko-analisis Freud tentang agama, dalam tiga factor ;
1.
Sesungguhnya kepercayaan agama seperti keyakinan akan keabadian,
sorga dan neraka tak lain dari hasil pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan
kelezatan yang mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2.
Sikap seseorang terhadap Allah adalah peralihan dari sikapnya
terhadap bapak, yaitu sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh akan
kesayangan.
3.
Doa-doa lainnya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang
disadari (0bsessions) untuk mengurangkan rasa dosa, yaitu perasaan yang ditekan
akibat pengalaman-pengalaman seksual, yang kembali kepada
masa pertumbuhannya kompleks oedip.
Sehubungan
dengan psiko-analisis, maka ada diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad saw.
(571-632), sudah menyelidiki gejala-gejala kejiwaan seorang pemuda Yahudi,
yaitu Ibnu Sayyad, secara kritis dan cermat. Menurut Iqbal, Nabi Muhammad
adalah seorang penyelidik pertama atas gejala-gejala kejiwaan dengan cara yang
kritis. Penyelidikan beliau sangat tertarik dan terus-menerus menyelidiki
Yahudi yang bertabiat sangat pemarah dan menderita penyakit psikis itu dengan
cara melakukan tes, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya, memeriksanya
dalam sikapnya yang aneka ragam.[10]
Ø Perspektif
Antropologis :
Untuk
melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dengan sosiologi adalah
agak sulit, karena macam ilmu ini terbagi bukan lantaran metode-metode yang
dipakai oleh para sarjana, melainkan oleh tradisi. Bagaimanpun juga antropologi
telah memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak
bisa tulis baca dan tanpa teknik. Dengan demikian untuk melakukan praktek
antropologis, diperlukan teknik-teknik tertentu, seperti melakukan teknik
partisipasi observasi. Namun banyak penelitian antropologi saat ini diterapkan
kepada masyarakat yang lebih kompleks. Seperti halnya diberbagai daerah
kediaman orang Hindu di India dimana terdapat perbedaan tingkatan dalam
masyarakat, mulai dari elite berpendidikan sampai kepada pekerja-pekerja yang
buta huruf, pe;lksanan tugas yang hina-dina berdaarkan ketentuan tradisional,
kasta dan bawahan mereka yang tidak memiliki kasta dianggap paling hina., tidak
boleh disentuh.
Usaha pertama
memadukan penyelidikan arkeologi terhadap manusia prasehjarah di satu pihak
dengan penelitian antropologi di lain pihak dilakukan oleh seorang antropologi
Inggris. Evolusi jalur lain dikemukakan oleh Tylor yang teorinya sudah dicatat
terdahulu dalam bukunya Primitive Culture.
Menurut dia, evolusi agama bermula dari animisme sebagai bentuk agama yang paling
asli dan dari animism inilah berkembang menjadi fetishisme, percaya kepada
hantu, politeisme dan akhirnya monoteisme.
Tangga evolusi
lain dikemukakan oleh Sir James Frazer yang teorinya juga telah ditulis
terdahulu. Menurut dia, agama itu berevolusi dari magis berkembang menjadi agama
dan dari agama timbul ilmu pengetahuan. Barangkali dari Bapak sosiologi modern,
August Comte tentang tiga tingkatan perkembangan pikiran yaitu: tingkatan
teologi, tingktan metafisik dan tingkatan positif, sejalan dengan jalan pikiran
Frazer di atas.
Berdasarkan
pembatasan antara agama primitif dan bukan primitif atau modern itu, mka timbul
masalah, bagaimana memahami yang tradisional itu dan membedakannya dari yang
modern, karena berbicara tentang agama tradisional, sudah ada pendapat, bahwa
agama-agama tradisional itu adalah agama-agama yang selama ini menjadi anutan
masyarakat umat manusia., seperti : Islam, Kristen, Kristen, Hindu, Buddha dan
lain sebagainya. Sedang agama modern katanya adalah : ilmu pengetahuan,
komunisme, militerisme, aliran kebatinan dan sebagainya. Maka istilah primitif,
atau tradisional atau konvensional sekarang ini tentu tidak begitu saja dapat
diperoleh kesepakatan pemakainya.[11]
Pendekatan
antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai slalah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan dawam
rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung; bahkan sifatnya partisipatif.
Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi
pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis.
Penelitian antropologis yang bersifat induktif dan Grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidsk-tidaknya dengan upaya membebaskan
diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang
mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada
penelitian historis.
Sejalan dengan
pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat
ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada
umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.[12]
c) Fungsi agama
dalam kehidupan Manusia
Dalam hal
fungsi, manusia dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang
timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahakan
secara empiris karena adanya
keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama
menjalankan fungsinya sehingga
masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil, dan
sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1)
Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan
pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman,
dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara
(perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
2)
Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan
keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan
keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia
untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan
berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat
memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang
salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
3)
Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
·
Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik
bagi kehidupan moral warga masyarakat.
·
Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang
dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum
Negara modern.
4)
Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan
kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur
kesamaan.
·
Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti
liberalism, komunisme, dan sosialisme.
·
Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama.
Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
·
Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan
tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian
dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas
yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
5)
Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini
diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama
dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan menurut
Thomas F. O’Dea menuliskan enam
fungsi agama dan masyarakat yaitu:
·
Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
·
Sarana
hubungan transendental melalui pemujaan dan upacara
Ibadat.
·
Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
·
Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
·
Pemberi identitas diri.
·
Pendewasaan agama.
Sedangkan
menurut Hendropuspito lebih ringkas lagi, akan
tetapi intinya hampir sama.
Menurutnya fungsi agama dan
masyarakat itu adalah edukatif,
penyelamat, pengawasan sosial, memupuk persaudaraan,
dan transformatif.
Agama memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena
agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma
masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola
perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat.
Agama menjadi
sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari
dua sudut pandang. Pertama, nilai agama
dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di
sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri
yang disebut mistisme.
Disinilah letak
fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang
baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.[13]
1.
Fungsi Agama dalam kehidupan pribadi
Agama mampu
memenuhi kebutuhan pokok individu dan mengisi kekosongan jiwa manusia.
Kekosongan ini tidak mungkin diisi oleh sesuatu yang lain. Karena manusia yang
hidup dialam raya yang menakjubkan ini, mata disilaukan oleh mahluk langit maupun bumi yang membuatnya heran dan
kagum. Dilihatnya manusia datang ke dunia kemudian lenyap.
Manusia
berusaha untuk mengetahui jawaban – jawaban yang dapat menentramkan jiwa dan
berpegang kepadanya. Akan tetapi akal manusia bagaimanapun cerdas dan luar
horizonya, namun tidak akan mampu memberikan jawaban yang tepat. Jawaban ini
hanya dapat dijawab melalui agama allah yang benar dan disampaikan rasul –
rasul allah kepada manusia.
Setiap orang
bagaimanapun tingkat cerdasnya atau lemahnya otaknya, akan merasakan bahwa
kemampuanya tunduk dibawah kekuatan yang tinggi. Dia dikuasai oleh kehenak yang
maha tinggi yang mengatur manusia dan alam semesta. Setiap pribadi menyadari
bahwa ia tertarik untuk mengetahui kekuasaan yang agung itu. Kadang – kadang ia
mencarinya dengan pengindraan dan akal.
Agama merupakan
pendidikan yang memperbaiki sikap dan tingkah laku manusia. Membina budi
pekerti luhur seperti kebenaran, keikhlasa, kejujuran, keadilan, kasih sayang,
cinta mencintai, dan menghidupkan hati
nurani manusia untuk memperhatikan Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri
maupun bersama orang lain.
Agama bertujuan
untuk membentuk pribadi yang cakap untuk hidup didalam masyarakat (kehidupan
duniawi) sebagai jembatan emas untuk mencapai kebahagiaaan ukhrawi. Agama memberikan kita nilai-nilai
rohani yang merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia, bahkan kehidupan
fitrahnya. Karena tanpa landasan mental spiritual manusia tidak akan mampu mewujudkan
keseimbangan antara dua kekuatan yang saling bertentangan, yakni kekuatan
kebaikan dan kejahatan.
Agama merupakan
sarana menjamin kelapangan dada
dan mewujudka kebahagiaan individu dan menumbuhkan ketengana hati pemeluknya.
Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan, dan menjauhkanya
dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati orang jernih,
halus dan suci.
Jiwa manusia
pada dasarnya berkeluh kesah, berkesinnambungan. Kecuali dengan mengena allah
dan tunduk kepada-Nya. Agama adalah satu-satunya
naungan yang memberikan ketentraman, ketenngan , dan kebaikan hati manusia
didunia dan keridhoan allah di akhirat.
Agama mengatur
hubungan manusia dengan tuhannya, hubungan dengan sesama saudaranya. Agama
mengadakan hubungan yang erat antar individu dalam suatu masyarakat, dan menyangga
mereka dalam suatu kesatuan yang lenggeng, serta menyembuhkan penyakit-penyakit
sosial yang tumbuh.
2.
Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat
Agama merupakan
keharusan masyarakat, karena manusia adalah mahluk sosial. Ia lahir, hidup dan
mati daa masyarakat. Lehidupan sosial tentunya menimbulkan interaksi sosial
yang aka melahirkan hak dan kwajiban. Manusia tidak dapat menikmati kebebasan
tanpa batas ditengah-tengah
masyarakat, tidak dapat bertindak sekehendaknya saja, karena akan bertentangan
degan kebebasa dan keinginan orang lain.
Setiap orang
akan menyadari hak dan kwajibannya. Interaksi sosial diatur berdasarkan
kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan bersama, bukan untuk seorang atau
sekelompok tertentu saja. Undang-undang
itu ditaati oleh seorang atau sekelompok orang saja, tetapi seluruh masyarakat
secara dasar.
Agama
memelihara hak asasi, mencegah penganiyayaan dan merampas hak orang lain. Agama
adalah ciptaan allah yang maha mengetahui kemaslahatan hamba, maha bijaksana
dalam menetapkan hukum-hukum bagi manusia.[14]
Dalam
melaksanakan hukum-hukum agama,
unsur yang sangat penting untuk membuat orang patuh ialah rasa kerelaan yang
enuh kesadaran, berdasarkan pilihan sendiri. Manusia tunduk kepada agama adalah
karena dorongan taat kepada allah, ingin mendapat pahala dan taku kepada
siksa-Nya.
Nilai agama
berusaha mewujudkan suatu masyarakat
yang bekerjasama pada kebaikan dan ketakwaan. Nilai inilah yang mebebankan
saling tanggng jawab antar individu dan masyarakat, secara seimbang dan menjaga
kepentingan umum dan kebebasan ndividu. Dengan demikian kehidupan akan
terhindar dari kehancuran dan kekacauaan.
Dengan demikian kehidupan akan terhindar dari
kehancuran dan kekacauaan. Nilai agama ini mempunyai pengaruh besar dalam
kehidupan sosial, bahkan tanpa nilai tersebut masyarakat manusia akan turun
ketingkat kehidupan hewan yang amat rendah. Jadi agama merupakan tali ppengikat
yang sangat kuat antarpribadi dalam sutu masyarakat.
Dan agama juga
unsur kuratif yang sangat mujarab terhadap penyakit sosial, sehingga
terjelmalah kehormatan integrasi antara mereka malalui kesatuan akidah dan
ibadah disatu pihak, dan nilai – nilai moral keagamaan dipihak lain.
DAFTAR PUSTAKA
·
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi
Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012
·
Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi
Aksara, Jakarta, 1996
·
Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Ilmu Studi Agama, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2005
·
Betty R. Scharf, Sosiologi Agama (Edisi Kedua), Prenada
Media, Jakarta Timur, 2004
·
Prof. H.M. Arifin ,Med, Menguak Misteri Ajaran
Agama-Agama Besar, Golden Terayon Press, Jakarta, 1987
·
Prof. H. Mohammad Daud Ali,
S.H, Pendidikan Agama Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2005
·
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, Rineka
Cipta, Jakarta, 1991
[1] Prof. H.M. Arifin ,Med, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden
Terayon Press, Jakarta, 1987, Hlm: 3.
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 9.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 13.
[4] Prof. H. Mohammad Daud Ali,
S.H, Pendidikan Agama Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2005,
Hlm: 35.
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi
Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 38
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi
Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 40.
[9] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi
Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 50.
[12] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi
Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 35.
[13]. Muhammad Abdul Qadir
Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam,
Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal.5
[14]. Ibid, hal.
12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar