Minggu, 04 Desember 2016

Agama dan kehidupan Manusia (agama-agama dunia)






PEMBAHASAN

1.      AGAMA DAN KEHIDUPAN MANUSIA
a)      Pengertian Agama :
ada beberapa orang mengartikan kata-kata “Agama” dengan “menegakkan”, karena dianggap kata tersebut berasal dari bahasa arab “Aqoma”. Tapi arti demikian belum tentu dapat dibenarkan. Marilah kita bandingkan dengan pendapat lain, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa “Agama” adalah kata-kata yang paralel dengan yang terdapat dalam kata mejemuk yang menjadi nama kitab yang berbahasa jawa kuna seperti “Negara Kertagama” yang mengandung arti : peraturan-peraturan tentang kemakmuran negara; sedang “Asmaragama” berarti tata cara atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan asmara.
Dilihat dari pengertian tersebut, maka kita lebih cenderung untuk menerima arti letterlijk “agama” sebagai peraturan/tata cara, bukannya berasal dari bahasa arab “Aqoma” yang artinya menegakkan.[1]
Sedangkan pengertian agama yang penulis adopsi dari buku “Metodologi Studi Islam” karangan Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A. yaitu, pengertian agama dari segi bahasa dapat kita ikuti antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata Din dari bahasa arab dan kata Religi dalam bahasa eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata Sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian harun nasution mengtakan, kata itu tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi secara turun temurun. Hal demikian menunjukkan pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari satu generasu ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang mempunyai kitab-kitab suci. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa agama berarti tuntunan. Pengertian ini tampak menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
Selanjutnya din dalam bahasa semit berarti undang-undang atau hukum. Dalam bahasa arab kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga sejalan dengan kandungan agama yang didalamnya terdapat peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi penganut agama yang bersangkutan.
Adapun kata religi berasal dari bahasa latin. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegree yang nmengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.
Dari beberapa definisi tersebut, akhirnya Harun Nasution mnyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam istilah-istilah diatas ialah ikatan. Agama memang mengandung ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap oleh panca indera.[2]
Adapun pengertian agama dari segi istilah, karena demikian banyak definisi agama yang dikemukakan oleh para ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut: 1) pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus dipatuhi; 2) pengakuan terhadap adanya kekuatan ghaib yang menguasai manusia; 3) mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada diluar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia; 4) kepercayaan pada suatu kekuatan ghaib yang menimbulkan cara hidup tertentu; 5) suatu sistem tingkah laku yang berasal dari kekuatan ghaib; 6) pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan ghaib; 7) pemujaan terhadap kekuatan ghaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia; 8) ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.[3]
Pengertian mengenai agama juga telah dijelaskan dalam buku ”Pendidikan Agama Islam” karangan Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, yang mana penjelasannya ialah : Perkataan agama berasal dari bahasa Sansekerta yang erat hubungannya dengan agama Hindu dan Budha. Dalam kepustakaan dapat dijumpai uraian tentang perkataan ini. Karena itu ada bermacam teori mengenai kata agama. Salah satu diantaranya mengatakan, akar kata agama adalah gam yang mendapat awalan a dan akhiran a sehingga menjadi a – gam – a. Akar itu kadang-kadang mendapat awalan i dengan akhiran yang sama, sehingga menjadi i – gam – a, kadangkala mendapat awalan u dengan akhiran yang sama sehingga menjadi u – gam – a. Bahasa Sansekerta yang menjadi asal perkataan agama, termasuk dalam rumpun bahasa Indo- Jerman, serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris.
Dalam bahasa Belanda kita temukan kata-kata ga, gaan dan dalam bahasa Inggris kata go yang artinya sama dengan gam: pergi. Namun, setelah mendapat awalan dan akhiran a pengertiannya berubah menjadi jalan. Dalam hubungan dengan makna perkataan-perkataan di atas (agama, igama, dan ugama) dalam bahasa Bali ketiganya mempunyai makna berikut. Agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara dalam berhubungan dengan Dewa-Dewa; sedang ugama ialah peraturan, tata cara dalam berhubungan antar manusia. Ketiga kata itu kini dipakai dalam tiga bahasa: agama dalam bahasa Indonesia, igama dalam bahasa Jawa dan ugama dalam bahasa Melayu (Malaysia) dengan pengertian yang sama. Pengertian jalan sebagai perubahan arti pergi, terdapat juga dalam agama Syinto (Jepang), Budha menyebut undang-undang pokoknya: jalan. Jesus Kristus menyuruh agar pengikutnya mengikuti jalannya. Dalam agama Islam terdapat perkataan Syari’at dan tarikat artinya jalan (Haro Din dkk., 1990: 254). Agama Hindu dan Budha menyebarkan kata agama di Kepulauan Nusantara ini, diambil alih oleh bahasa Melayu dan dilanjutkan oleh bahasa Indonesia. Selain dari arti agama yang telah disebutkan di atas, menurut teori, ada beberapa arti lain yang dikandung oleh perkataan agama.
Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa ada masalah mengenai makna perkataan agama di tanah air kita. Permasalahannya adalah, dilihat dari sudut ilmu pengetahuan keagamaan, terdapat kerancuan dalam pemakaian kata agama, karena dipakai untuk agama-agama yang berbeda sistem dan ruang lingkupnya. Sistem dan ruang lingkup agama Nasrani, seperti telah disebut di atas tetapi disebut kembali untuk menegaskan, hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, sedang sistem dan ruang lingkup agama Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia, termasuk dirinya sendiri serta lingkungan hidupnya. Memperbandingkan sistem dan ruang lingkup ini sengaja dilakukan terhadap dua agama samawi atau agama Wahyu yaitu Nasrani dan Islam untuk memudahkan pemahaman. Namun, segera harus dikemukakan bahwa perbedaan itu tidak boleh dipergunakan untuk menyerang dan merendahkan agama lain, karena kedua agama yang dibandingkan itu sama-sama berasal dari Allah. Kita harus saling menghormati pemeluk agama lain yang sistem, ruang lingkup agamanya berbeda dengan agama yang kita peluk. Namun, perlu segera ditegaskan pula bahwa persamaan istilah untuk menyebut agama yang berbeda sistem dan ruang lingkupnya itu, tidak boleh dipahami atau dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa semua agama sama. Tidak. Agama-agama tidak sama karena berbeda sistem, ruang lingkup, dan klsifikasinya.
Agama adalah “the problem of ultimate concern”: masalah yang mengenai kepentingan mutlak setiap orang. Oleh karena itu, menurut Paul Tillich, setiap orang yang beragama selalu berada dalam keadaan involved (terlibat) dengan agama yang dianutnya. Memang, kata Profesor Rasjidi, manusia yang beragama itu “aneh”. Ia melibatkan diri dengan agama yang dipeluknya dan mengikatkan diri kepada Tuhan. Tetapi, bersamaan dengan itu ia merasa bebas, karena bebas menjalankan segala sesuatu menurut keyakinannya. Ia tunduk kepada Yang Maha kuasa, tetapi (bersamaan dengan itu) ia merasa dirinya terangkat, karena merasa mendapat keselamatan. Keselamatanlah yang menjadi tujuan akhir kehidupan manusia dan keselamatan itu akan diperolehnya melalui pelaksanaan keyakinan agama yang ia peluk.
Karena agama mengenai kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang beragama terlibat dengan agama yang dipeluknya, maka tidaklah mudah membuat sebuah definisi yang mencakup semua agama. Kesulitannya adalah karena setiap orang  beragama cenderung memahami agama menurut ajaran agamanya sendiri. Hal ini ditambah lagi dengan fakta bahwa dalam kenyataannya agama di dunia ini amat beragam. Namun, karena ada segi-segi agama yang sama, suatu rumusan umum (sebagai definisi kerja) mungkin dapat dikemukakan. Agama ialah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan Dia melalui upacara, penyembahan, dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu. Selain segi-segi persamaan, antara agama yang beragama itu terdapat juga perbedaan-perbedaan, seperti telah disebut di atas. Dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu di dalam masyarakat majemuk karena beragamnya agama di tanah air kita sikap yang perlu ditegakkan oleh pemeluk agama adalah sikap ‘agree in disagreement”, sikap setuju (hidup bersama) dalam perbedaan.[4]
Sudah diakui secara umum oleh para pengkaji bahwa semua masyarakat yang dikenal di dunia ini, sampai batas tertentu, bersifat relijius. Pengakuan ini tentunya merupakan kesepakatan mengenai apa sajakah yang membentuk perilaku keagamaan, namun dalam kenyataannya kesepakatan mengenai hak ini lebih sulit bisa diperoleh. Argumen yang dikemukakan mengenai bagaimana cara mendefinisikan agama, dan bagaimana membedakannya, di satu pihak, dengan magi, sains dan filsafat, dan dengan beberapa jenis entusiasme politik dan sosial di lain pihak, sudah muncul selama bertahun-tahun. Hal inilah, meskipun telah ada kesepakatan substansial, yang dalam prakteknya merupakan cakupan dan corak data yang harus dicoba atasi oleh setiap ahli (dan pengkaji) sosiologi agama.
E. B. Tylor dalam buku perintisnya, Primitive Culture, yang diterbitkan pada tahun 1871, mengemukakan apa yang dikenal dengan “definisi minimum” agama yang tidak akan memberikan penilaian lagi mengenai sumber atau fungsinya. Dia mendefinisikan agama sebagai “kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual”. Namun ketidakpuasan dikemukakan terhadap definisi ini atas dasar bahwa definisi itu terlalu bercoarak intelektualis, dan tidak mengacu kepada emosi-emosi khidmat dan hormat yang secara khusus bercorak keagamaan yang berkaitan dengan kepercayaan-kepercayaan semacam itu. Definisi dari Tylor itu dikritik lebih jauh karena tampaknya definisi itu berimplikasi bahwa sasaran sikap keagamaan selalu berupaya wujud personal, padahal bukti antropologik yang semakin banyak jumlahnya menunjukkan bahwa wujud spiritual pun sering dipahami sebagai kekuatan impersonal. Radcliffe-Brown, salah seorang ahli antropologi kurun waktu belakangan, menawarkan definisi yang berusaha memperbaiki ketidaksempurnaan-ketidaksempurnaan yang diduga ada ini. “Agama”, katanya, “di mana pun merupakan ekspresi suatu bentuk ketergantungan pada kekuatan di luar diri kita sendiri, yakni kekuatan yang dapat kita katakan sebagai kekuatan spiritual atau kekuatan moral. “Baginya, ekspresi penting dari rasa ketergantungan ini adalah peribadatan, dan mengenal kewajiban sosial untuk melaksanakannya, sebagai lawan dari ketidakpastian dan kemungkinan berubahnya kepercayaan-kepercayaan terhadap beberapa sasaran ibadat. Dengan pendapatnya ini dia sangat mendekati pendapat Durkheim, yang menekankan ciri kolektif atau sosial pada agama dalam definisinya. Menurut pendapatnya, “agama adalah sistem yang menyatu mengenai berbagai kepercayaan dan peribadatan yang berkaitan dengan benda-benda sakral, yakni katakanlah, benda-benda yang terpisah dan terlarang kepercayaan-kepercayaan yang peribadatan-peribadatan yang mempersatukan semua orang yang menganutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut gereja”. Mengenai definisi itu dia tidak mengulas lebih lanjut mengenai kata sakral, dan para pengeritiknya mengatakan bahwa gagasan mengenai kata sakral, itu terlalu kabur dan cenderung kepada unsur memuaskan dalam definisi agama itu. Namun demikian jelas dalam semua karya tulisnya bahwa, “yang sakral” atau “yang terpisah dan terlarang” itu adalah yang hanya bisa diancang dan dengan peribadatan, karena kekuatannya bisa membahayakan dan juga bisa menguntungkan. Perpindahan dari dunia sehari-hari yang profan (lawan dari sakral) harus ditanggapi secara cermat dan hati-hati, dan hanya dengan cara-cara yang disetujui masyarakat. Jadi peribadatan dan perasaan-perasaan takut dan khidmat menurut Durkheim, sebagaimana menurut Radcliffe-Brown, merupakan sifat-sifat pokok agama, tanpa mempermasalahkan sasaran-sasaran peribadatannya.[5]

b)     Keberadaan Agama Dalam Kehidupan Manusia
Ø  Perspektif Sosiologis :
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, soerjono soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan ke arah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas tentang proses-proses sosial mengingat bahwa pengetahuan prihal struktur masyarakat saja belum cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama dari manusia.
Dari dua defenisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. [6]
Mengkaji agama dalam konteks sosiologi memunculkan dua bentuk pebgertian. Pertama, hasil-hasil kajian agama diperuntukkan bagi kepantingan ilmu studi agama; dan Kedua, hasil-hasil kajian itu diperuntukkan bagi kepentingan sosiologi. Menurut saya, kedua-duanya menggunakan prinsip-prinsip metodologi sosiologi dan menghasilkan sosiologi agama.
Menurut romadon, ada dua kemungkinan para pengkaji agama menggunakan pendekatan sosiologi ini, yang satu berangkat sebagai sarjana sosiologi, sedang yang lain berangkat sebagai sarjana ilmu agama secara religio scientifical. Dengan demikian, ada perbedaan mendasar antara ahli sosiologi agama dan ahli “ilmu studi agama” yang sama-sama menggunakan pendekatan sosiologi. Ahli sosiologi agama terikat oleh Frame work sosiologi objektif, yaitu untuk mengatahui manusia dan masyarakat sejauh dapat diperoleh atau dicapai melalui penelitian terhadap unsur-unsur, proses-proses, serta hal-hal yang mempengaruhi dan dipengaruhi, dari, oleh, dan dalam kehidupan berkelompok. Asumsi dasarnya adalah tingkah laku manusia itu dipahami sebagai produk kehidupan berkelompok.
Sosiologi agama dirumuskan secara luas sebagai suatu studi tentang interrelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk yang terjadi antarmereka. Interrelasi itu berupa dorongan, gagasan, dan kelembagaan agama yang mempengaruhi, dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi, dan stratifikasi sosial. Jadi, sosiologi agama bertugas menyelidiki tata cara masyarakat, kebudayaan, dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama itu sendiri memengaruhi mereka.[7]
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama sebagaimana disebutkan diatas, dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memehami agamanya. Sebagai contoh, dalam bukunya berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini islam  terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut.
Pertama, dalam Al-qur’an atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar dari kedua sumber hukum islam itu berkenaan dengan urusan Muamalah.
Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah dalam islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan wakrtunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan).
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan.
Keempat, dalam islam terdapat ketentusn bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
Kelima, dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.[8]

Ø  Perspektif Psikologis :
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala prilaku yang dapat diamatinya. Meurut zakiah derajat perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya, seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan zakiah derajat, tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkanb sikap batin seseorang. Misalnya sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu ini seseorang selain akan mengatahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari salat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah,langkah baru yang lebih efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itulah sebabnya ilmu jiwa ini banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebutlah kita melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman agama yang benar. Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan hidupnya mendapat bimbingan dari agama.[9]
Dalam abad ke-20 muncul pendekatan baru untuk menjelaskan agama dari segi ilmu pengetahuan, yaitu pendekatan psikologi. Studi psikologi terhadap agama sebenarnya meliputi dua macam kegiatan yaitu : kegiatan pengumpulan dan klasifikasi data dan kegiatan menyusun dan menguji berbagai keterangan. Di antara penelitian yang terpenting dalam bidang ini adalah penelitian yang dilakukan oleh ahli filsafat dan psikologi Amerika. William James (1842-1910) dengan tulisannya The Varieties of Religious Experience, dimana ia telah berusaha menyelidiki pengalaman-pengalaman keagamaan seperti conversi atau pertobatan dan pindah agama berdasarkan konsep pengaruh ketidaksadaran – invasions – from unconsciousness. Tetapi lantaran gaya dan coraknya yang filsofis, maka pengaruh buku ini dikatakan telah berakhir. Namun sebagai pelopor, dia harus cukup berperan.
Yang lebih radikal, walaupun ditulis dengan contoh-contoh yang terlalu banyak dan luas, adalah tulisan ahli psikologis Amerika J.H Leuba (1868-1946), A Psycological Study Religion. Leuba berusaha meneliti aspek pengalaman mistik secara psikologi dan fisiologi. Di antara mereka yang sudah mengusahakan satu klasifikasi yang lebih cermat mengenai pengalaman mistik ini adalah apa yang sudah dihasilkan oleh sarjana Inggris Evelyn Underhill (1875-1941). Walaupun studinya tidak semata-mata didasarkan atas pandangan ilmu jiwa, namun dia sudah berhasil mengungkapkan sebagai contoh tradisi keagamaan dari Yahudi, Kristen dan Islam.
Akhir-akhir ini penjelajahan secara sistematis terhadap aspek misti dunia Timur telah banyak dialakukan orang. Sejumlah besar karya pada sarjana telah berhasil mendeskripsikan dan mengklasifikasikan berbagai bentuk syamanisme, fetishisme dan gejala-gejala keagamaan lainnya yang termasuk jenis ini. James Bissert Pratt telah berhasil menulis sebuah buku berjudul the Religious Consciousness, A Psychological Study. Buku ini berusaha sedapat mungkin menggambarkan dan mendeskripsikan kesadaran agamawi secara murni berdasarkan metode empiris yang murni pula.
Sangat erat hubungannya dengan perdebatan psikologi ini adalah apa yang dihasilkan oleh Sigmund Freund (1866-1939), salah seorang pemikir besar abad ini turut menentukan cara bagaimana seharusnya orang memandang dunia dan dirinya sendiri dewasa ini, telah berhasil merumuskan suatu pendekatan terbaru dalam bidang psikologi, yaitu pendekataan psiko-analisis. Dalam beberapa tulisannya mengenai agama, ia tidak pernah menyembunyikan atheismenya, karena baginya agama adalah gangguan kejiwaan. Psiko-analisis dihasilkannya setelah ia mencobakan berbagai metode terlebih dahulu, terutama metode hypnosis dan metode sugesti.
Zakiah Daradjat menyimpulkan teori psiko-analisis Freud tentang agama, dalam tiga factor ;
1.      Sesungguhnya kepercayaan agama seperti keyakinan akan keabadian, sorga dan neraka tak lain dari hasil pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan yang mempercayai adanya kekuatan mutlak bagi pemikiran-pemikiran.
2.      Sikap seseorang terhadap Allah adalah peralihan dari sikapnya terhadap bapak, yaitu sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh akan kesayangan.
3.      Doa-doa lainnya (dari penenang agama) adalah cara-cara yang disadari (0bsessions) untuk mengurangkan rasa dosa, yaitu perasaan yang ditekan akibat pengalaman-pengalaman seksual, yang kembali kepada masa pertumbuhannya kompleks oedip.
Sehubungan dengan psiko-analisis, maka ada diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad saw. (571-632), sudah menyelidiki gejala-gejala kejiwaan seorang pemuda Yahudi, yaitu Ibnu Sayyad, secara kritis dan cermat. Menurut Iqbal, Nabi Muhammad adalah seorang penyelidik pertama atas gejala-gejala kejiwaan dengan cara yang kritis. Penyelidikan beliau sangat tertarik dan terus-menerus menyelidiki Yahudi yang bertabiat sangat pemarah dan menderita penyakit psikis itu dengan cara melakukan tes, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya, memeriksanya dalam sikapnya yang aneka ragam.[10]

Ø  Perspektif Antropologis :
Untuk melukiskan garis pemisah yang jelas antara antropologi dengan sosiologi adalah agak sulit, karena macam ilmu ini terbagi bukan lantaran metode-metode yang dipakai oleh para sarjana, melainkan oleh tradisi. Bagaimanpun juga antropologi telah memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-kebudayaan primitif yang tidak bisa tulis baca dan tanpa teknik. Dengan demikian untuk melakukan praktek antropologis, diperlukan teknik-teknik tertentu, seperti melakukan teknik partisipasi observasi. Namun banyak penelitian antropologi saat ini diterapkan kepada masyarakat yang lebih kompleks. Seperti halnya diberbagai daerah kediaman orang Hindu di India dimana terdapat perbedaan tingkatan dalam masyarakat, mulai dari elite berpendidikan sampai kepada pekerja-pekerja yang buta huruf, pe;lksanan tugas yang hina-dina berdaarkan ketentuan tradisional, kasta dan bawahan mereka yang tidak memiliki kasta dianggap paling hina., tidak boleh disentuh.
Usaha pertama memadukan penyelidikan arkeologi terhadap manusia prasehjarah di satu pihak dengan penelitian antropologi di lain pihak dilakukan oleh seorang antropologi Inggris. Evolusi jalur lain dikemukakan oleh Tylor yang teorinya sudah dicatat terdahulu dalam bukunya Primitive Culture. Menurut dia, evolusi agama bermula dari animisme sebagai bentuk agama yang paling asli dan dari animism inilah berkembang menjadi fetishisme, percaya kepada hantu, politeisme dan akhirnya monoteisme.
Tangga evolusi lain dikemukakan oleh Sir James Frazer yang teorinya juga telah ditulis terdahulu. Menurut dia, agama itu berevolusi dari magis berkembang menjadi agama dan dari agama timbul ilmu pengetahuan. Barangkali dari Bapak sosiologi modern, August Comte tentang tiga tingkatan perkembangan pikiran yaitu: tingkatan teologi, tingktan metafisik dan tingkatan positif, sejalan dengan jalan pikiran Frazer di atas.
Berdasarkan pembatasan antara agama primitif dan bukan primitif atau modern itu, mka timbul masalah, bagaimana memahami yang tradisional itu dan membedakannya dari yang modern, karena berbicara tentang agama tradisional, sudah ada pendapat, bahwa agama-agama tradisional itu adalah agama-agama yang selama ini menjadi anutan masyarakat umat manusia., seperti : Islam, Kristen, Kristen, Hindu, Buddha dan lain sebagainya. Sedang agama modern katanya adalah : ilmu pengetahuan, komunisme, militerisme, aliran kebatinan dan sebagainya. Maka istilah primitif, atau tradisional atau konvensional sekarang ini tentu tidak begitu saja dapat diperoleh kesepakatan pemakainya.[11]
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai slalah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan dawam rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung; bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang bersifat induktif dan Grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau setidsk-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.[12]

c)      Fungsi agama dalam kehidupan Manusia
Dalam hal fungsi, manusia dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
1)      Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
2)      Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
3)      Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
·         Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
·         Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
4)      Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
·         Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
·         Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
·         Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
5)      Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan  menurut   Thomas   F.  O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan masyarakat yaitu:
·         Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
·         Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara
Ibadat.
·         Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
·         Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
·         Pemberi identitas diri.
·         Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut  Hendropuspito  lebih ringkas  lagi,  akan tetapi   intinya   hampir   sama.   Menurutnya   fungsi   agama   dan masyarakat   itu   adalah   edukatif,   penyelamat,   pengawasan   sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat.
Agama menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
Disinilah letak fungsi agama dalam kehidupan manusia, yaitu membimbing manusia kejalan yang baik dan menghindarkan manusia dari kejahatan atau kemungkaran.[13]

1.      Fungsi Agama dalam kehidupan pribadi
Agama mampu memenuhi kebutuhan pokok individu dan mengisi kekosongan jiwa manusia. Kekosongan ini tidak mungkin diisi oleh sesuatu yang lain. Karena manusia yang hidup dialam raya yang menakjubkan ini, mata disilaukan oleh mahluk  langit maupun bumi yang membuatnya heran dan kagum. Dilihatnya manusia datang ke dunia kemudian lenyap.
Manusia berusaha untuk mengetahui jawaban – jawaban yang dapat menentramkan jiwa dan berpegang kepadanya. Akan tetapi akal manusia bagaimanapun cerdas dan luar horizonya, namun tidak akan mampu memberikan jawaban yang tepat. Jawaban ini hanya dapat dijawab melalui agama allah yang benar dan disampaikan rasul – rasul allah kepada manusia.
Setiap orang bagaimanapun tingkat cerdasnya atau lemahnya otaknya, akan merasakan bahwa kemampuanya tunduk dibawah kekuatan yang tinggi. Dia dikuasai oleh kehenak yang maha tinggi yang mengatur manusia dan alam semesta. Setiap pribadi menyadari bahwa ia tertarik untuk mengetahui kekuasaan yang agung itu. Kadang – kadang ia mencarinya dengan pengindraan dan akal.
Agama merupakan pendidikan yang memperbaiki sikap dan tingkah laku manusia. Membina budi pekerti luhur seperti kebenaran, keikhlasa, kejujuran, keadilan, kasih sayang, cinta mencintai, dan menghidupkan hati  nurani manusia untuk memperhatikan Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain.
Agama bertujuan untuk membentuk pribadi yang cakap untuk hidup didalam masyarakat (kehidupan duniawi) sebagai jembatan emas untuk mencapai kebahagiaaan ukhrawi.  Agama memberikan kita nilai-nilai rohani yang merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia, bahkan kehidupan fitrahnya. Karena tanpa landasan mental spiritual  manusia tidak akan mampu mewujudkan keseimbangan antara dua kekuatan yang saling bertentangan, yakni kekuatan kebaikan dan kejahatan.
Agama merupakan sarana menjamin kelapangan dada dan mewujudka kebahagiaan individu dan menumbuhkan ketengana hati pemeluknya. Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan, dan menjauhkanya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati orang jernih, halus dan suci.
Jiwa manusia pada dasarnya berkeluh kesah, berkesinnambungan. Kecuali dengan mengena allah dan tunduk kepada-Nya. Agama adalah satu-satunya naungan yang memberikan ketentraman, ketenngan , dan kebaikan hati manusia didunia dan keridhoan allah di akhirat.
Agama mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, hubungan dengan sesama saudaranya. Agama mengadakan hubungan yang erat antar individu dalam suatu masyarakat, dan menyangga mereka dalam suatu kesatuan yang lenggeng, serta menyembuhkan penyakit-penyakit sosial yang tumbuh.
2.      Fungsi agama dalam kehidupan masyarakat
Agama merupakan keharusan masyarakat, karena manusia adalah mahluk sosial. Ia lahir, hidup dan mati daa masyarakat. Lehidupan sosial tentunya menimbulkan interaksi sosial yang aka melahirkan hak dan kwajiban. Manusia tidak dapat menikmati kebebasan tanpa batas ditengah-tengah masyarakat, tidak dapat bertindak sekehendaknya saja, karena akan bertentangan degan kebebasa dan keinginan orang lain.
Setiap orang akan menyadari hak dan kwajibannya. Interaksi sosial diatur berdasarkan kebaikan, keadilan, dan kemaslahatan bersama, bukan untuk seorang atau sekelompok tertentu saja. Undang-undang itu ditaati oleh seorang atau sekelompok orang saja, tetapi seluruh masyarakat secara dasar.
Agama memelihara hak asasi, mencegah penganiyayaan dan merampas hak orang lain. Agama adalah ciptaan allah yang maha mengetahui kemaslahatan hamba, maha bijaksana dalam menetapkan hukum-hukum bagi manusia.[14]
Dalam melaksanakan hukum-hukum agama, unsur yang sangat penting untuk membuat orang patuh ialah rasa kerelaan yang enuh kesadaran, berdasarkan pilihan sendiri. Manusia tunduk kepada agama adalah karena dorongan taat kepada allah, ingin mendapat pahala dan taku kepada siksa-Nya.
Nilai agama berusaha mewujudkan suatu masyarakat yang bekerjasama pada kebaikan dan ketakwaan. Nilai inilah yang mebebankan saling tanggng jawab antar individu dan masyarakat, secara seimbang dan menjaga kepentingan umum dan kebebasan ndividu. Dengan demikian kehidupan akan terhindar dari kehancuran dan kekacauaan.
 Dengan demikian kehidupan akan terhindar dari kehancuran dan kekacauaan. Nilai agama ini mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan sosial, bahkan tanpa nilai tersebut masyarakat manusia akan turun ketingkat kehidupan hewan yang amat rendah. Jadi agama merupakan tali ppengikat yang sangat kuat antarpribadi dalam sutu masyarakat.
Dan agama juga unsur kuratif yang sangat mujarab terhadap penyakit sosial, sehingga terjelmalah kehormatan integrasi antara mereka malalui kesatuan akidah dan ibadah disatu pihak, dan nilai – nilai moral keagamaan dipihak lain.





DAFTAR PUSTAKA
·         Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012
·         Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara, Jakarta, 1996
·         Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Ilmu Studi Agama, CV Pustaka Setia, Bandung, 2005
·         Betty R. Scharf, Sosiologi Agama (Edisi Kedua), Prenada Media, Jakarta Timur, 2004
·         Prof. H.M. Arifin ,Med, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Terayon Press, Jakarta, 1987
·         Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Pendidikan Agama Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2005
·         Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1991


[1] Prof. H.M. Arifin ,Med, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Terayon Press, Jakarta, 1987, Hlm: 3.
[2] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 9.
[3] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 13.
[4] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Pendidikan Agama Islam, PT RajaGrafindo persada, Jakarta, 2005, Hlm: 35.
[5] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama (Edisi Kedua), Prenada Media, Jakarta Timur, 2004, Hlm: 33.
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 38
[7] Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Ilmu Studi Agama, CV Pustaka Setia, Bandung, 2005, Hlm:99.
[8] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 40.
[9] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 50.
[10] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, Hlm: 65.
[11] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama 2, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, Hlm: 53.

[12] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Metodologi Studi Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, Hlm: 35.

[13]. Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal.5
[14]. Ibid, hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar