Minggu, 04 Desember 2016

Jarh wa Ta'dil (syarat-syarat Mu'addil dan Jarih)






1.   Pendahuluan
Ketika kita ingin mengetahui kesahihan sebuah hadits, apakah hadits itu bisa diterima atau ditolak, maka kita harus mencari cara yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut, yaitu dengan cara mengkaji penukilan, periwayatannya, baik dari segi ketsiqohan perawi, kedhabitan hafalannya, seluk beluk jati dirinya, apakah dia terlepas dari keteledoran, mengada-ada, dan lain sebagainya.
Untuk itu ilmu al-jarh wa at-ta’dil bermamfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang  rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Kalaulah ilmu al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama. Padalah, perjalanan hadits semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadits perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Oleh karena itu, maka ilmu al-jarh wa at-Ta’dil mempunyai urgensi yang sangat vital dalam menyaring semua periwayatan hadits yang sampai kepada kita selaku pemeluk agama islam. Dan dalam makalah ini lebih khusus membahas mengenai syarat-syarat penjarah dan penta’dil dan hal-hal yang harus dihindarai dalam melakukan jarh wa ta’dil.



PEMBAHASAN
A.    SYARAT-SYARAT PENJARAH DAN PENTA’DIL :
Di isyaratkan kepada mu’addil dan pada jarih, ilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’asshub dan mengetahui sebab-sebab jarah dan sebab-sebab tazkiyah (ta’dil). Orang yang tidak demikian keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab Thawatihurrahmut syarah musallamuts Tsubut diterangkan bahwa muzakki (orang yang menyatakan ke’adilan seseorang) harus seseorang yang adil lagi mengetahui sebab-sebab jarah dan ta’dil, haruslah orang yang insaf lagi jujur, bukan muta’ashshib, ‘ajub kepada diri sendiri, karena orang yang muta’ashshib tidak didengar perkatannya.
Ad-Daruquthni pernah mencela Abu Hanifah, mengatakannya seorang dha’if. Abu Hanifah seorang imam yang wara’ lagi taqwa, maka darimana datang kelemahannya ?
Dalam Tanwirush-Shahifah, diterangkan bahwa kita tidak boleh terkicuh dengan perkataan Al-Khatib, karena beliau itu, sangat anti kepada beberapa ulama, yaitu Abu Hanifah, Ahmad dan shahabat-shahabatnya, Al-Khatib mencela mereka itu. Oleh karena nya kita rasakan bahwa pencelaan itu dilakukan lantaran ta’ ashshub dan ada qarinah untuk itu.[1]
Adapun rinciannya sebagai berikut :
1.     Berilmu :
Adapun yang dimaksud dengan berilmu yaitu menguasai berbagai macam disiplin ilmu-ilmu agama, khususnya yang berkonotasi ke dalam materi hadis. Karena mustahil bagi orang yang mentajrih atau menta’dil itu bisa memberikan argumen-argumen atas tuduhannya jikalau tidak ada ilmu yang dimiliki. Disamping itu, ilmu ini butuh penalaran yang sangat tinggi sehingga ilmu ini tidak menerima riwayat dari orang yang kurang cerdas dalam berfikir.

2.    Taqwa :
Bagi orang yang mentajrih atau menta’dil harus dalam keadaan takut oleh Allah karena hal ini akan sangat berdampak negatif jika seorang penjarah atau penta’dil tidak meyakini exixtensi sang maha pencipta.

3.    Wara’:
Wara’ yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat atau perbuatan maksiat, hal-hal yang subhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat. Sungguh tidak masuk dalam kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang dimurkai Allah.

4.    Jujur :
Ini adalah sifat yang paling urgen yang mana orang harus berlaku jujur dalam memberikan persaksian bahwa sifulan telah begini dan begitu. Karena tidak menutup kemungkinan ada orang yang mentajrih hanya sekedar ingin menjatuhkan orang yang tidak disukai.

5.    Jauh dari Ta’ashub (fanatik golongan)
Syarat ini ada kaitannya dengan jujur karena orang yang tidak menjauhi sektenya masing-masing dalam memberikan persaksian itu akan dominan dalam mempertahankan sekte yang dianut. Maka pada akhirnya, pendapatnya akan tidak jujur disebabkan karena arogansi yang dimiliki oleh masing-masing sekte.

6.    Mengetahui sebab-sebab mentajrih dan menta’dil :
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa tidak diterima tajrih atau ta’dil jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Oleh karena itu, para ulama yang setuju dengan pendapat diatas telah sepakat untuk memasukan syarat bagi orang yang mentajrih atau menta’dil bahwa harus ada penyebutan sebab-sebab, mengapa dia mentajrih atau menta’dil si fulan. Oleh karena itu, apabila kita menemui sebagian ahli tajrih dan ta’dil menjarahkan atau pun menta’dilkan seorang perowi, maka kita tidak perlu segera menerima pendapatnya tersebut tetapi hendaklah kita melakukan penelitian terlebih dahulu. Karena, kadang-kadang sebab-sebab yang digunakan untuk menjarah atau menta’dil itu setelah kita adakan penyelidikan ternyata dapat di pakai untuk menolak tuduhannya. Dikatakan kepada yahya bin sa’id alqathan, “apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan hadistnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata, “mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah.

Ø  Sebab-sebab perawi dikenakan jarh dan ta’dil :
Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa al-inqitha’. Sebagai berikut :

a.    Bid’ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
b.    Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
c.     Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
d.    Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
e.     Sedangkan Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.

B.    HAL-HAL YANG HARUS DI HINDARI DALAM MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL :
Hal –hal yang harus dihindari oleh penjarah dan penta’dil dalam melakukan jarh dan ta’dil ialah :

1.     Tidak boleh mencela lebih dari keperluan, Oleh karena mencela seseorang merupakan suatu perbuatan yang sukar dan terkadang-kadang menimbulkan kerenggangan batin antara manusia dan dibolehkan karena sesuatu darurat yang dihargai syara’, maka para ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar keperluan tidak dibolehkan.
2.    Tidak boleh hanya mengutip jarh, sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh kritikus, tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap demikian berarti telah mencampakkan hak rawi yang bersangkutan dan para muhaddisin mencela sikap yang demikian.
3.    Tidak boleh jarh terhadap rawi yang tidak perlu di jarh, karena beranggapan bahwa menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tradisi yang buruk.
4.    Tidak boleh mencecat pribadi-pribadi ulama yang tidak ada sangkut pautnya dengan periwayatan hadis.

Ø  Cara melakukan jarh dan ta’dil :
Disadari sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya meliputi:

a.    Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda  mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebut-nyebutkan kebaikannya”
b.    Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
c.     Tetap menjaga batas-batas kesopanan, dalam melakukan Jarh dan    Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:“ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
d.    Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya sebab-sebab al- Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik” dan lain sebagainya.
  
Ø  Keharusan berhati-hati dalam menjarahkan para perawi :
Tidaklah boleh kita bercepat-cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang menjarahkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh, karena mencecat seseorang bukanlah soal yang mudah. Kerap kali pencecatan yang dihadapkan oleh seseorang, kita ketemukan sebab-sebab yang menolak cecatan itu.
Terkadang-kadang para pencecat; adalah orang yang sendirinya tercecat. Maka karenanya kita tidak boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.
Ada pula para pencecat yang sangat streng yang mencecat para perawi dengan sebab yang paling kecil. Maka kita tidak boleh menerima pencecatannya, kecuali disetujui oleh tokoh-tokoh hadis yang lain. Dalam hal ini, banyak tokoh-tokoh yang terlibat dalam menjarah dan menta’dil, kemudian As Sakhwi berkata : “semua tokoh-tokoh itu dapat dibagi ke dalam 3 bagian.” Yaitu :

a.    Sebagian terlalu keras dalam mencecat dan sangat berhati-hati dalam menyatakan keadilan seorang perawi. Maka apabila golongan ini mempercayai seorang perawi, diterimalah perkataannya itu. Dan apabila dia melemahkan seseorang, maka telitikanlah apakah ada orang lain yang menyetujuinya. Jika tidak ada orang yang mempercayainya maka perawi itu benar dla’if. Jika ada yang mempercayai perawi itu, maka dalam hal ini, harus diterangkan sebab pencecatannya. Apabila seseorang dilemahkan oleh ibnu ma’in dan dipercayai oleh Al-Bukhari, maka oang yang seperti ini lah yang diperselisihkan tentang keshahihan atau kedlhaifannya. Lantaran itu, berkatalah Adz-Dzahabi ;”tiada berkumpul dua orang ulama untuk sepakat mempercayai orang yang sebenarnya lemah dan untuk melemahkan orang yang sebenarnya kepercayaan. Itulah sebabnya An-Nasai tidaklah ditinggalkan sesuatu hadis hingga sepakat semua orang meninggalkan perawi itu’’.
b.    Sebahagian yang lain terlalu bermudah-mudah, yaitu seperti at-turmudzi, al-hakim, dan ibn hazm. Ibn hazm menyatakan terhadap abu isa, abu qasim al baghawi, isma’il ibn muhammad ash shaffar, orang-orang yang majhul, padahal mereka adalah orang-orang yang terkenal.
c.     Sebahagian yang lain sederhana, imbang keadaannya, seperti ahmad ibn hambal dan al-bukhari, tidak terlalu streng dan tidak terlalu bermudah-mudah.































DAFTAR PUSTAKA

Ø  Prof. DR. T.M. Hasbi Ash- Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta, Bulan Bintang, 1953
Ø  http://clotehkangtop.blogspot.com/2011/07/jarah-wa-tadil.html


[1] Prof. DR. T.M. Hasbi Ash- Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta, Bulan Bintang, 1953, Hlm:363.

1 komentar: