1. Pendahuluan
Ketika kita ingin
mengetahui kesahihan sebuah hadits, apakah hadits itu bisa diterima atau
ditolak, maka kita harus mencari cara yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut,
yaitu dengan cara mengkaji penukilan, periwayatannya, baik dari segi ketsiqohan
perawi, kedhabitan hafalannya, seluk beluk jati dirinya, apakah dia terlepas
dari keteledoran, mengada-ada, dan lain sebagainya.
Untuk itu ilmu
al-jarh wa at-ta’dil bermamfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seorang
rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dinilai oleh para ahli sebagai seorang
rawi yang cacat, periwayatannya harus ditolak, dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai seorang yang adil, niscaya periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadits terpenuhi.
Kalaulah ilmu
al-jarh wa at-ta’dil ini tidak dipelajari dengan seksama, paling tidak, akan
muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadits dinilai sama.
Padalah, perjalanan hadits semenjak Nabi Muhammad SAW. Sampai dibukukan
mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi
yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, kemurnian sebuah hadits
perlu mendapat penelitian secara seksama karena terjadinya pertikaian di bidang
politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah yang lainnya banyak mereka kaitkan
dengan hadits. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadits yang disandarkan
kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka
buat untuk kepentingan golongannya. Jika kita tidak mengetahui benar atau
salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadits yang
benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’). Oleh karena itu,
maka ilmu al-jarh wa at-Ta’dil mempunyai urgensi yang sangat vital dalam
menyaring semua periwayatan hadits yang sampai kepada kita selaku pemeluk agama
islam. Dan dalam makalah ini lebih khusus membahas mengenai syarat-syarat
penjarah dan penta’dil dan hal-hal yang harus dihindarai dalam melakukan jarh
wa ta’dil.
PEMBAHASAN
A. SYARAT-SYARAT
PENJARAH DAN PENTA’DIL :
Di isyaratkan kepada
mu’addil dan pada jarih, ilmu, taqwa, wara’, jauh dari ta’asshub dan mengetahui
sebab-sebab jarah dan sebab-sebab tazkiyah (ta’dil). Orang yang tidak demikian
keadaannya, tidaklah dapat diterima tazkiyah dan jarahnya.
Dalam kitab
Thawatihurrahmut syarah musallamuts Tsubut diterangkan bahwa muzakki (orang
yang menyatakan ke’adilan seseorang) harus seseorang yang adil lagi mengetahui
sebab-sebab jarah dan ta’dil, haruslah orang yang insaf lagi jujur, bukan
muta’ashshib, ‘ajub kepada diri sendiri, karena orang yang muta’ashshib tidak
didengar perkatannya.
Ad-Daruquthni pernah
mencela Abu Hanifah, mengatakannya seorang dha’if. Abu Hanifah seorang imam
yang wara’ lagi taqwa, maka darimana datang kelemahannya ?
Dalam
Tanwirush-Shahifah, diterangkan bahwa kita tidak boleh terkicuh dengan
perkataan Al-Khatib, karena beliau itu, sangat anti kepada beberapa ulama,
yaitu Abu Hanifah, Ahmad dan shahabat-shahabatnya, Al-Khatib mencela mereka itu.
Oleh karena nya kita rasakan bahwa pencelaan itu dilakukan lantaran ta’ ashshub
dan ada qarinah untuk itu.[1]
Adapun rinciannya sebagai
berikut :
1. Berilmu :
Adapun
yang dimaksud dengan berilmu yaitu menguasai berbagai macam disiplin ilmu-ilmu
agama, khususnya yang berkonotasi ke dalam materi hadis. Karena mustahil bagi
orang yang mentajrih atau menta’dil itu bisa memberikan argumen-argumen atas
tuduhannya jikalau tidak ada ilmu yang dimiliki. Disamping itu, ilmu ini butuh
penalaran yang sangat tinggi sehingga ilmu ini tidak menerima riwayat dari
orang yang kurang cerdas dalam berfikir.
2. Taqwa :
Bagi
orang yang mentajrih atau menta’dil harus dalam keadaan takut oleh Allah karena
hal ini akan sangat berdampak negatif jika seorang penjarah atau penta’dil tidak
meyakini exixtensi sang maha pencipta.
3. Wara’:
Wara’
yaitu orang yang selalu menjauh dari sifat atau perbuatan maksiat, hal-hal yang
subhat, dosa-dosa kecil dan hal yang makruhat. Sungguh tidak masuk dalam
kategori bagi orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang dimurkai Allah.
4. Jujur :
Ini
adalah sifat yang paling urgen yang mana orang harus berlaku jujur dalam
memberikan persaksian bahwa sifulan telah begini dan begitu. Karena tidak
menutup kemungkinan ada orang yang mentajrih hanya sekedar ingin menjatuhkan
orang yang tidak disukai.
5. Jauh dari
Ta’ashub (fanatik golongan)
Syarat
ini ada kaitannya dengan jujur karena orang yang tidak menjauhi sektenya
masing-masing dalam memberikan persaksian itu akan dominan dalam mempertahankan
sekte yang dianut. Maka pada akhirnya, pendapatnya akan tidak jujur disebabkan
karena arogansi yang dimiliki oleh masing-masing sekte.
6. Mengetahui
sebab-sebab mentajrih dan menta’dil :
Sebagaimana
yang telah diketahui bersama bahwa ada ulama yang berpendapat bahwa tidak
diterima tajrih atau ta’dil jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya. Oleh karena
itu, para ulama yang setuju dengan pendapat diatas telah sepakat untuk
memasukan syarat bagi orang yang mentajrih atau menta’dil bahwa harus ada
penyebutan sebab-sebab, mengapa dia mentajrih atau menta’dil si fulan. Oleh
karena itu, apabila kita menemui sebagian ahli tajrih dan ta’dil menjarahkan
atau pun menta’dilkan seorang perowi, maka kita tidak perlu segera menerima
pendapatnya tersebut tetapi hendaklah kita melakukan penelitian terlebih
dahulu. Karena, kadang-kadang sebab-sebab yang digunakan untuk menjarah atau
menta’dil itu setelah kita adakan penyelidikan ternyata dapat di pakai untuk
menolak tuduhannya. Dikatakan kepada yahya bin sa’id alqathan, “apakah kamu
tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan hadistnya akan menjadi
musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata, “mereka menjadi musuh-musuhku
lebih baik bagiku daripada Rasulullah.
Ø
Sebab-sebab perawi dikenakan jarh dan ta’dil :
Menurut
Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-sebab yang
menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya berkisar
disekitar lima macam saja: bid’ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal, da’wa
al-inqitha’. Sebagai berikut :
a. Bid’ah
yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang yang disifati
dengan bid’ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya orang
yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan Rafidhah dan mereka
yang dianggap fasik adalah golongan yang mempunyai keyakinan (‘itikad) yang
berlawanan dengan dasar syari’at.
b. Mukhalafah
ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat. Mukhalafah ini dapat
menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
c. Yang
dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam meriwayatkan.
d. Jahalah
al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum dikenal
identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
e. Sedangkan
Da’wa al-“inqitha’ ialah diduga keras sanadnya terputus, misalnya menda’wa
perawi,mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
B. HAL-HAL
YANG HARUS DI HINDARI DALAM MELAKUKAN JARH DAN TA’DIL :
Hal –hal yang harus dihindari
oleh penjarah dan penta’dil dalam melakukan jarh dan ta’dil ialah :
1. Tidak boleh
mencela lebih dari keperluan, Oleh karena mencela seseorang merupakan suatu
perbuatan yang sukar dan terkadang-kadang menimbulkan kerenggangan batin antara
manusia dan dibolehkan karena sesuatu darurat yang dihargai syara’, maka para
ulama menetapkan bahwa mencela lebih dari kadar keperluan tidak dibolehkan.
2. Tidak boleh
hanya mengutip jarh, sehubungan dengan orang yang dinilai jarh oleh kritikus,
tapi dinilai adil oleh sebagian lainnya, karena sikap demikian berarti telah
mencampakkan hak rawi yang bersangkutan dan para muhaddisin mencela sikap yang
demikian.
3. Tidak boleh
jarh terhadap rawi yang tidak perlu di jarh, karena beranggapan bahwa
menjatuhkan lawan dengan mencela dan menuduh adalah tradisi yang buruk.
4. Tidak boleh
mencecat pribadi-pribadi ulama yang tidak ada sangkut pautnya dengan periwayatan
hadis.
Ø
Cara melakukan jarh dan ta’dil :
Disadari
sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at
adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah
beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya
meliputi:
a. Bersikap
jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya.
Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan: “Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan
kejelekannya tanpa menyebut-nyebutkan kebaikannya”
b. Cermat
dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan
antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu
hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
c. Tetap
menjaga batas-batas kesopanan, dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah
dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan
untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan:“
Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
d. Bersifat
Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama
tidak menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan
bahwa si fulan tsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti
orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak
disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya
sebab-sebab al- Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa diterima
haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, lebih banyak ragu, atau tidak
dhabit atau pendusta atau fasik” dan lain sebagainya.
Ø
Keharusan berhati-hati dalam menjarahkan para
perawi :
Tidaklah
boleh kita bercepat-cepat menghukum kemajruhan seorang perawi lantaran ada yang
menjarahkannya. Tetapi kita harus meneliti lebih jauh, karena mencecat
seseorang bukanlah soal yang mudah. Kerap kali pencecatan yang dihadapkan oleh
seseorang, kita ketemukan sebab-sebab yang menolak cecatan itu.
Terkadang-kadang
para pencecat; adalah orang yang sendirinya tercecat. Maka karenanya kita tidak
boleh menerima perkataannya selama belum ada yang menyetujuinya.
Ada pula
para pencecat yang sangat streng yang mencecat para perawi dengan sebab yang
paling kecil. Maka kita tidak boleh menerima pencecatannya, kecuali disetujui
oleh tokoh-tokoh hadis yang lain. Dalam hal ini, banyak tokoh-tokoh yang
terlibat dalam menjarah dan menta’dil, kemudian As Sakhwi berkata : “semua
tokoh-tokoh itu dapat dibagi ke dalam 3 bagian.” Yaitu :
a. Sebagian
terlalu keras dalam mencecat dan sangat berhati-hati dalam menyatakan keadilan
seorang perawi. Maka apabila golongan ini mempercayai seorang perawi,
diterimalah perkataannya itu. Dan apabila dia melemahkan seseorang, maka
telitikanlah apakah ada orang lain yang menyetujuinya. Jika tidak ada orang
yang mempercayainya maka perawi itu benar dla’if. Jika ada yang mempercayai
perawi itu, maka dalam hal ini, harus diterangkan sebab pencecatannya. Apabila
seseorang dilemahkan oleh ibnu ma’in dan dipercayai oleh Al-Bukhari, maka oang
yang seperti ini lah yang diperselisihkan tentang keshahihan atau
kedlhaifannya. Lantaran itu, berkatalah Adz-Dzahabi ;”tiada berkumpul dua orang
ulama untuk sepakat mempercayai orang yang sebenarnya lemah dan untuk
melemahkan orang yang sebenarnya kepercayaan. Itulah sebabnya An-Nasai tidaklah
ditinggalkan sesuatu hadis hingga sepakat semua orang meninggalkan perawi
itu’’.
b. Sebahagian
yang lain terlalu bermudah-mudah, yaitu seperti at-turmudzi, al-hakim, dan ibn
hazm. Ibn hazm menyatakan terhadap abu isa, abu qasim al baghawi, isma’il ibn
muhammad ash shaffar, orang-orang yang majhul, padahal mereka adalah
orang-orang yang terkenal.
c. Sebahagian
yang lain sederhana, imbang keadaannya, seperti ahmad ibn hambal dan
al-bukhari, tidak terlalu streng dan tidak terlalu bermudah-mudah.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Prof.
DR. T.M. Hasbi Ash- Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta,
Bulan Bintang, 1953
Ø http://clotehkangtop.blogspot.com/2011/07/jarah-wa-tadil.html
[1] Prof. DR. T.M.
Hasbi Ash- Shiddiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Jakarta, Bulan
Bintang, 1953, Hlm:363.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus