Senin, 05 September 2022

Agama Yahudi




A.    ASAL USUL AGAMA YAHUDI :
Sejarah bangsa yahudi dimulai dengan Abraham yang mendengar panggilan Allah untuk menduduki tanah Kanaan. Cucu Abraham Yakub, dijanjikan untuk diberi banyak anak oleh Allah dan dari 12 nama anak laki-lakinya itu, suku-suku bangsa israel memperoleh nama mereka. Sementara itu, kata Yahudi (Jew) berasal dari nama suku israel yang paling kuat, yaitu Yehuda (Judah).[1]
Ketika Musa dipanggil Allah, bangsa israel sedang menjalani masa perbudakan yang menguras tenaga ditangan bangsa mesir. Musa mendengar suara Allah yang berbicara kepadanya dari suatu semak yang menyala tetapi tidak terbakar dan, atas perintah-Nya, Musa pergi ke Fir’aun mesir untuk meminta supaya bangsa israel dibebaskan. Hanya karena setelah sepulu wabah dari Allah menimpa orang-orang mesir maka permintaan itu dikabulkan. Kemudian bangsa israel menghabiskan waktu selama 40 tahun dalam perjalanannya sebagai kaum pengembara sebelum mereka tiba di tanah terjanji. Selama perjalanan mereka itu – keluaran – Allah memberikan sepuluh perintah kepada Musa digunung Sinai. Bangsa yahudi juga diberi banyak hukum yang lain untuk mengurus semua aspek kehidupan pribadi serta masyarakat dan hukum-hukum ini masih berpengaruh pada kehidupan orang-orang yahudi ortodoks zaman sekarang.[2]
Oleh karena agama tersebut diajarkan oleh Musa pada abad ke 13 SM dan Kira-kira pada 4 abad sesudah Nabi Ibrahim meninggal dunia. Musa sebagai seorang Rasulullah adalah dibenarkan oleh islam dan kristen. Dengan demikian beliau sudah pasti membawa agama yang lurus dan haq atas dasar kewahyuan yang diterima dari Allah. Dengan alasan berbagai macam, sarjana-sarjana barat yang beragama kristen, memandang agama yahudi menjadi induknya agama islam dan agama kristen. Tetapi anehnya pada masa sekarang hanya memperoleh pengikut pada lingkungan terbatas yaitu pada bangsa israel saja yang jumlahnya lebih kurang 4 juta jiwa. Itupun mungkin disebabkan adanya perasaan (haufinisme) atau nasionalisme yang fanatik dan (Zionisme) satau suatu aliran faham bangsa yahudi yang fanatik untuk memperjuangkan kepentingan bagsa tersebut. Dan disamping itu, unsur-unsur tradisional yang mereka pegang teguh adalah besar pula pengaruh nya atas  pemeluk agama ini sehingga boleh dikatakan bangsa yahudi dimanapun berada merasa wajib memeluk agama yahudi.[3]

B.     POKOK-POKOK AJARAN AGAMA YAHUDI :
Agama yahudi sebenarnya merupakan kelanjutan ajaran kewahyuan yang pernah diturunkan oleh tuhan kepada nabi Ibrahim. Kecuali Musa dipandang sebagai salah seorang nabi yang meneruskan agama Ibrahim, juga memang agama wahyu dimanapun selalu mempunyai ciri-ciri yang sama dalam prinsip-prinsip ajarannya. Maka demikian pula ajaran Musa sebagai agama wahyu juga mempunyai prinsip-prinsip sama dengan ajaran yang diberikan oleh Ibrahim. Didalamnya ada persamaan dengan prinsip-prinsip ajaran yang pernah diberikan oleh para Rasul sebelum dan sesudahnya.
Agama Yahudi terkenal sebagai agama Monotheisme mutlak (Tauhid) yang meletakkan dasar kepercayaan kepada Tuhan Esa pada tempat pertama. Setiap orang yahudi yang akan mengerjakan suatu pekerjaan, harus lebih dahulu mengucapkan “SHEMAH” yaitu ucapan:
“Dengarkanlah, hai bangsa Israel, Tuhan kita yang kita sembah adalah Maha Esa”.
Nabi Musa setelah membebaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa mesir kuna, kemudian membawa pengikut-pengikutnya kelembah bukit sinai (Tursina) dimana ia menunjukkan kepada mereka dua buah papan yang bertuliskan 10 perintah tuhan atau yang disebut oleh orang Barat dan Kristen “Ten Commandments” yang mengandung ajaran sebagi berikut :
1.      Saya adalah tuhanmu yang kamu sembah, yang telah membawa kamu keluar dari tanah mesir. Keluar dari rumah belenggu: kau tidak mempunyai Tuhan lain kecuali Aku.
2.      Kamu tidak boleh membuat persamaan atau menyamakan segala sesuatu yang ada di langit sebelah atas, atau diatas bumi, atau apa-apa yang ada di dalam air, di bawah bumi , dengan Tuhanmu.
3.      Kamu tidak boleh menyia-nyiakan nama Tuhanmu (menyebut Tuhanmu dengan sia-sia).
4.      Ingatlah hari Sabbath, untuk disucikannya.
5.      Hormatilah ayah dan ibumu.
6.      Kamu dilarang membunuh.
7.      Kamu dilarang mencuri.
8.      Kamu dilarang bersaksi palsu.
9.      Kamu dilarang berbuat zina.
10.  Kamu dilarang bernafsu loba-Tamak terhadap milik orang lain.
Kemudian “Ten Commandments” ini dijadikan inti ajaran kitab Taurat dan dijadikan sumber hukum yahudi serta kepercayaan dan ethiknya. Dengan Commandments ini pula orang yahudi telah membuang jauh-jauh faham agama bangsa Semit primitif. Akan tetapi sifat tuhan serta hubungan manusia dengan-Nya dari waktu ke waktu sering kali dirumuskan dalam bentuk yang berbeda-beda.
Adapun pokok-pokok ajaran agama yahudi, menurut pendapat salah seorang sarjana yahudi yang pernah menjadi Direktur Lembaga Kebudayaan Yahudi, yaitu Joseph Gaer, dalam bukunya yang berjudul “What the Great religions believe”. Adalah sebagai berikut :
“kepercayaan agama yahudi telah mengalami perubahan beberapa kali sejak dari permulaan sampai sekarang ini. Ada beberapa kepercayaan dan upacara-upacara yang telah ditinggalkan. Dan ada beberapa yang telah di rubah dan di susun untuk disesuaikan dengan civilisasi dan kebudayaan dengan mana agama tersebut mengadakan hubungan, sehingga kepercayaan ataupun upacara-upacara tersebut mengalami pengertian yang baru. Tetapi ada beberapa kepercayaan kuna yang tersusun dalam tradisi masih tetap merupakan warisan zaman lampau dan tetap masih mendapatkan pengikut-pengikutnya yang setia”.
Dengan demikian agama Yahudi pada masa sekarang atau masa-masa selanjutnya sudah tak dapat lagi disebut agama wahyu, karena telah mengalami perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pengikut-pengikutnya sendiri.
Mengenai sifat labilnya (mudah berubahnya) ajaran Yahudi yang disebabkan oleh tangan-tangan pengikutnya sendiri sebenarnya sudah dapat kita duga sebelumnya, oleh karena secara historis memang agama tersebut tidak memiliki dokumen-dokumen tertulis yang dapat dipercaya kemurniannya dari nabinya secara langsung, berbeda halnya dengan dokumen-dokumen tentang ajaran Muhammad yang ditulis langsung pada saat nabi memberikannya langsung kepada penulis-penulisnya sendiri. Disamping itu keadaan yang tidak menguntungkan agama Yahudi itu telah diberitahukan oleh Al-Qur’an beberapa kali kepada kita dimana intinya menyatakan bahwa para imam-imam telah banyak merubah kalam Tuhan dalam kitab sucinya, karena dorongan mencari keuntungan yang kecil saja, padahal mereka tahu bahwa perbuatan demikian sebenarnya tidak baik (dosa).[4]

C.     PENGERTIAN TENTANG TUHAN :
            Konsepsi musa tentang ketuhanan member petunjuk-petunjuk yang berbeda dengan pandangan tentang dewa-dewa dari bangsa- bangsa Israel pada masa sebelumnya bahkan juga konsepsi ketuhana dari bangsa-bangsa Babilonia, Mesir, Asiria, dan Medeterania dan lain-lain yang pada masa itu mempertuhan benda serta kekuatan alam sekitar yaitu, masing-masing kekuatan alam diperdewakan. Misalnya badai, taufan, matahari, hujan dan sebagainya.
Musa datang dengan membawa agama yang memberantas konsepsi ketuhanan yang sesat tersebut dan menggantikan dengan konsepsi ketuhanan yang Monoteisthis (tauhid). Di dalam kitab perjanjian lama berkali-kali ditegaskan bahwa tuhan itu hanya satu yaitu Yahweh, yang membebaskan bangsa Israel dari perbudakan bangsa Mesir (Deut, 33 : 29). Bahkan yang lebih tegas lagi adalah suatu pernyataan Yahweh yang ditujukan kepada bangsa Israel pada saat itu, dalam Ten commandments berbunyi sebagai berikut :
“Dengarkanlah hai bangsa Israel, bahwa Tuhan kita adalah Tuhan Yang Maha Esa”.
Penggambaran Tuhan pada bentuk manusia (antrhopomorfisme) juga dilarang oleh agama ini, karena tuhan  tidak memiliki sifat-sifat seperti manusia.
J.N.D Anderson dalam bukunya “The World’s Religions” menyatakan bahwa Tuhan Yahudi itu adalah pribadi yang sempurna. Bebas dari semua pembatasan-pembatasan dan jauh dari ketidaksempurnaan. Ia adalah Ruh yang murni. Dan jiwa universum. Agama Yahudi menunjukkan bahwa alam dan semua fenomena-fenomenanya (gejala-gejalanya) merupakan bukti adanya tuhan pencipta alam”.
Kesemuanya itu membuktikan bahwa konsepsi ketuhanan agama Musa memang monotheisme absolut (faham Ketuhanan Esa yang mutlak) sebagaimana konsepsi islam ; berbeda dengan rumusan dari agama Kristen sekarang yang mempercayai adanya Trinitas yang menganggap bahwa tuhan adalah Esa tapi Tiga. Ke-esaan-Nya. Ketuhanan dalam agama Kristen lebih sulit difahami daripada agama Yahudi dan islam. Terutama bila dihayati dari segi ratio (akal)[5]

D.    HOLOKAUST :
Dari seluruh sejarahnya, bangsa yahudi telah diceraiberaikan oleh para penindas sebagai akibat kebencian dan kekerasan mereka. Anti-Semit mencapai puncaknya dalam peristiwa Holokaust (pembantaian besar-besaran) pada abad ke-20, ketika enam juta laki-laki, perempuan, dan anak-anak Yahudi dibantai oleh Nazi.
Tak seorang pun dalam sejarah telah mengalami penderitaan seperti yang dialami bangsa yahudi di eropa pada tahun 1930-an dan 1940-an. Abad-abad kejahatan anti semit meledak dengan contoh yang paling manekutkan dari pemusnahan secara teratur terhadap segolongan bangsa dalam sejarah umat manusia. Hanya dalam waktu enam tahun, antara tahun 1939 sampai 1945, berjuta-juta orang eropa dibantai hanya karena mereka dalah orang-orang yahudi.
·         Kamp konsentrasi :
Pembunuhan besar-besaran dalam kamp-kamp konsentrasi jerman pada perang dunia kedua sangat mengerikan sehingga disebut Holokaust, yang berarti “Kurban Kebakaran”, meskipun bangsa yahudi lebih suka menyebutnya Shoah, yang artinya “penghancuran”. Diseluruh eropa yang diduduki Nazi bangsa yahudi dikumpulkan dalam jumlah besar dan dikirim ke kamp-kamp konsentrasi untuk dibunuh dengan gas beracun.ada 28 kamp dan nama-nama kamp itu telah menjadi simbol dunia untuk kekejaman manusia atas manusia – diantaranya adalah Dachau, Buchenwald, Auschwitz, dan belsen. Pada tahun 1944, lebih dari 6000 bangsa yahudi setiap harinya dibantai hanya di Auschwitz.
Nazi mengklaim bahwa orang yahudi melakukan segala hal yang mengancam masa depan bangsa jerman. Meskipun orang yahudi banyak jabatan kunci dijerman, dan sangat sukses di bidang bisnis, mereka dikatakan netral terhadap masa depan negara itu. Dalam konflik kepentingan antara agama dan negara ada dugaan keras, sebagaimana yang dituduhkan Nazi, bahwa loyalitas utama bangsa yahudi adalah untuk Allah dan bukannya untuk negara. Lebih-lebih bangsa yahudi dianggap sebagai ancaman kemurnian ras yang sedang diusahakan Adolf Hitler untuk bangsa jerman.
Baru setelah perang selesai, dunia dan bangsa yahudi sungguh sadar akan apa yang telah terjadi. Setelah mengalami goncangan yang begitu berat, mulailah mereka bereaksi.
Dengan tegas masyarakat yahudi menjelaskan bahwa dunia tidak boleh melupakannya. Hari-hari peringatan diatur, do’a-do’a khusus ditulis, dan kamp-kamp konsentrasi yang tidak tersentuh dibuka untuk umum. Tugu peringatan khusus dibangun di Yad Veshem, Yerusalem. Nama itu sendiri berarti “sebuah tempat dan sebuah nama”. Tugu peringatan itu berupa sebuah ruang kosong yeng diterangi oleh sebuah lilin dengan nama kedua puluh kamp konsentrasi yang ditulis dilantai. Juga`di Yad Veshem itu ditanam sederet pohon, yang disebut  The Avenue of The Righteus (jalan kebajikan), dimana setiap pohon melambangkan seorang non-Yahudi yang membantu menyelamatkan kehidupan bangsa yahudi pada peristiwa holokaust.[6]

E.     KITAB SUCI :
Bagi orag yahudi yang saleh kitab suci merupakan pusat kehidupannya. Kitab suci mereka ditulis dalam bahasa ibrani. Orang yahudi menamakan kitab suci mereka TeNakh dan terdiri dari tiga bagian, yaitu hukum atau taurat, nabi-nabi atau Nevi’im, dan sastra atau Ketuvim.
·         Taurat :
Orang yahudi sering membandingkan Taurat dengan cetak biru (blueprint) alam semesta – yang ada sebelum penciptaan dan sebelum manusia diciptakan. Taurat artinya “hukum” atau “pengajaran” dan menunjuk pada keseluruhan apa yang diketahui tentang Allah dan hubungan-Nya dengan dunia ciptaan-Nya. Dala pengertian yang lebih sulit, Taurat menunjuk pada lima kitab Musa – Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, danUlangan – yang terletak dipermulaan kitab suci. Bersamaan dengan hari sabat, Taurat dirayakan sebagai pemberian tuhan terbesar kepada orang-orang yahudi.
Bagian penting ibadat umat yahudi adalah pembacaan dengan suara keras sejumlah ayat dari Taurat. Di sinagoga, bacaan dan gulungan kitab Taurat, atau Sefer Torah, dibacakan pada hari sabat pagi dan sore, perayaan keagamaan pagi, dan pada hari senin dan selasa pagi. Sebagai penghormatan besar, kitab taurat hanya boleh dibuka oleh orang laki-laki, demikian dalam tradisi ortodoks, dan untuk dibacakan di depan umat. Orang yang dipilih untuk membaca kitab suci dalam bahasa ibrani harus menggunakan yad – alat penunjuk yang dipegang.
·         Para Nabi :
Dalam tradisi yahudi ada delapan kitab yang diberi nama menurut nama para nabi. Empat kitab yang pertama – Yoshua, Hakim-hakim, Samuel I dan II, serta Raja-raja I dan II – biasanya mmengacu pada nabi-nabi terdahulu dan kitab-kitab sejarah. Keempat kitab yang lain mengacu pada nabi-nabi terakhir – Yeyasa , Yeremia, Yehezkiel, dan 12 nabi-nabi kecil yang dianggap satu kitab. Sebagian besar isi kitab dari nabi-nabi terakhir merupakan kumpulan khotbah yang disampaikan oleh para nabi, yang nama-namanya menjadi nama kitab-kitab itu, yang semuanya dikumpulkan oleh para murid mereka. Bacaan terpilih dari kitab para nabi dibacakan di sinagoga pada hari-hari sabat, perayaan-perayaan keagamaan, dan-hari hari puasa.
·         Sastra :
Sastra, bagian ketiga TeNakh, dianggap kurang bernilai dari pada dua jenis kitab yang lain, walaupun kitab itu memang berisi mazmur, yang secara teratur digunakan dalam ibadat di sinagoga. Bacaan dari sastra ini sering diberikan di sinagoga pada hari-hari perayaan keagamaan.[7]


F.      MADZHAB AGAMA YAHUDI :
Hampir dapat dipastikan bahwa bilamana suatu agama atau ideologi telah ditinggalkan oleh nabinya atau pendirinya, maka timbullah perpecahan yang berupa aliran atau madzhab dan sekte-sekte. Demikian pula halnya dengan agama yahudi setelah ditinggalkan oleh nabi Musa, maka timbul pula perpecahan dalam kalangan pengikut-pengikutnya sehingga timbullah 3 macam aliran Madzhab yaitu :

1.      Madzhab Saduki yaitu suatu aliran yang mempergunakan nama pendeta besar bernama Zadok. Cita-cita aliran ini tergolong ortodox (kolot). Karena tidak menginginkan adanya perubahan dalam syariat agama. Pengikut-pengikut aliran ini harus bersifat taqlid kepada apa yang telah disabdakan dalam kitab Talmud secara lafzhiyah semata-mata. Dan kitab tersebut dilarang untuk ditafsirkan ataupun diterjemahkan ke dalam bahasa lain dati bahasa aslinya yaitu bahasa Ibrani.

2.      Madzhab parisee adalah aliran/madzhab yang mengambil nama aslinya dari bahasa Ibrani “Perishim” yang berarti memisahkan diri dari golongannya. Jumlah pengikut aliran ini tidak hanya terbatas pada golongan rahib-rahib (pendeta) saja seperti di dalam golongan saduki. Melainkan orang awam kebanyakan menjadi pengikutnya. Oleh karena itu jumlah pengikut madzhab tersebut lebih besar dari pada saduki. Aliran ini mempunyai cita-cita memodernisasikan agama yahudi sesuai dengan kemajuan peradaban serta kebudayaan masyarakat. Bahkan dapat dikatakan bahwa aliran ini mempunyai program yang diarahkan kepada perubahan dan perluasan doktrin-doktrin agama masa lampau agar supaya dapat konsisten dan serasi dengan konsepsi kebenaran yang paling tinggi yang dapat dicapainya.


3.      Diantara konflik antara pengikut aliran agama tradisional (saduki) dengan leberal (parisee) tersebut maka muncullah aliran mistik (Chassidisme) yang mengadakan reaksi-reaksi terutama terhadap hukum-hukum yang kering. Aliran ini muncul 200 tahun yang lalu di polandia dimana ajaran-ajarannya “Sefer yetzirah” dan “Zohar” yang banyak terpengaruh oleh anasir Hellinistis, Gnostis dan kristen. Tokohnya yang terkenal ialah Martin Buber yang mengarang buku dengan judul “I and Thou” (saya dan kau).[8]
















DAFTAR PUSTAKA
·         Prof. H.M. Arifin ,M.Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Trayon Press, Jakarta, 1987
·         Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta



[1] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta, 2006, Hlm: 40.
[2] Ibid.
[3] Prof. H.M. Arifin ,M.Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Trayon Press, Jakarta, 1987, Hlm: 118.
[4] Prof. H.M. Arifin ,M.Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Trayon Press, Jakarta, 1987, Hlm 122.
[5] Prof. H.M. Arifin ,M.Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Trayon Press, Jakarta, 1987, Hlm 123.
[6] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta, 2006, Hlm: 42.
[7] Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Kanisius, Yogyakarta, 2006, Hlm: 44.
[8] Prof. H.M. Arifin ,M.Ed, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Golden Trayon Press, Jakarta, 1987, Hlm: 128.

Kamis, 27 April 2017

Dua kutub

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan mempunyai dua sisi yang berbeda, sisi jasmaniah dan rohaniah. Keduanya mempunyai domain wilayah yang berjauhan dan terpisah. Rohaniah mampu   melesat tajam ke atas sementara jasmaniah mampu mencengkram dalam ke bawah.

Senin, 05 Desember 2016

Gus Dur


Muhammad Abduh


DOSA DAN KEJAHATAN

Ushul Fiqh ('Urf dan Maslahah Mursalah)




A.    Pendahuluan
Syari’at islam adalah seperangkat pranata aturan yang memiliki dimensi vertical dan horizontal. Dalam tatanan vertical telah diatur hukum-hukum yang bersifat ta’abudi, sebagaimana tata cara shalat dan puasa. Dalam wilayah ini, ketentuan-ketentuannya berlaku sepanjang  masa sebagaimana adanya.
Dalam tatanan hubungan horizontal yang menyangkut sesama manusia yang sebagian besar bersifat muamalah. Dalam menawarkan solusi dari berbagai problematika kehidupan, antara lain: qiyas,maslahah mursalah, ishtihsan, ‘‘Urf, dan lainnya. Dalam menetapkan hukum melalui dalil tersebut, para ulama masih memperselisihkan penggunaannya.
Untuk itu dalam makalah ini penulis ingin mengulas pendapat para ulama tentang kehujjahan ‘‘Urf dan maslahah mursalah sebagai salah satu dalil dalam pensyari’atan hukum.

B.     Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa, maslahah berarti manfa’at dan kebaikan, sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi menberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.
Menurut ishtilah, maslahah mursalah ialah kemashlahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyuruh mengambil atau menolaknya.[1] Pada hakekatnya, maslahah mempunyai dua sisi, yaitu sisi positif (ijabi) dan sisi negatif (salabi). Sisi positif berupa merealisasikan kebaikan (ijad al-manfa’ah). Sedang sisi negatif berupa menolak kerusakan atau bahaya (daf al-mafsadah). [2]

C.    Kehujjahan Masalihul Mursalah.
Hukum Islam diciptakan adalah untuk menuju kemaslahatan manusia pada semua tempat dan waktu.[3] Jumhur ulama menolak mashalihul mursalah sebagai sumber hukum dengan alasan berikut ini :
1. Dengan nash-nash yang ada dan cara qiyas yang benar, syara’ senantiasa mampu merespons masalah yang muncul demi kemaslahatan manusia.
2. Bila menetapkan hukum hanya berdasarkan kemaslahatan berarti dapat membuka pintu keinginan hawa nafsu.
Sementara imam syafi’i membolehkan berpegang mashalihul mursalah dengan syarat harus sesuai dengan dalil kulli atau dalil juz’i dan syara’.[4] Sedangkan Imam Malik membolehkan secara mutlak, dengan alasan sebagi berikut :
1.    Nash-nash syara’ menetapkan bahwa syari’at itu diundangkan untuk merealisasikan kemashlahatan manusia, karenanya berhujjah dengan maslahah mursalah sejalan dengan karakter syara’ dan prinsip-prinsip yang mendasarinya serta tujuan pensyari’atannya.
2.    Bahwa setiap hukum selalu mengandung kemaslahatan bagi manusia. Rasul diutus juga untuk menjadi rahmat bagi setiap alam. Kemaslahatan manusia ,akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan manusia.
3.    Para mujtahid dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya banyak melakukan ijtihad berdasarkan maslahah dan tidak ditentang oleh seorang pun dari mereka. Karenanya ini merupakan ijma’.

Menurut al-Ghazali, maslahah mursalah yang dapat dijadikan dalil hanya maslahah dharuriyah. Sedang maslahah hajiyah dan maslahah tahsiniyah tidak dapat dijadikan dalil.
D.    Syarat-syarat Maslahah Mursalah
              Maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dengan syarat:
1.    Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki, bukan sekedar maslahah yang diduga atau diasumsikan;
2.    Kemashlahatan tersebut harus kemashlahatan umum, bukan kemashlahatan pribadi atau kemashlahatan khusus.
3.    Kemashlahatan tersebut sesuai dengan maqashid al-syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’;
4.    Kemashlahatan tersebut harus selaras dan sejalan dengan akal sehat. Artinya kemashlahatan tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal sehat.
5.    Pengambilan kemashlahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemashlahatan dharuriyah, bukan kemashlahatan hajiyah atau tahsiniyah.

E.     Pembagian  Maslahah
Berdasar dari beberapa pengertian maslahah mursalah, para ahli Ushul Fiqih mengemukakan beberapa macam maslahah yaitu :

1.    Maslahah al-Mu’tabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang  menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya terkait alat yang digunakan sebagai hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalam hadits Rasulullah saw hukuman bagi pencuri dengan keharusan mengembalikan barang curiannya, jika masih utuh, atau mengganti dengan yang sama nilainya, apabila barang yang dicuri telah habis. Contoh lain maslahah menjaga agama, nyawa, keturunan (juga maruah), akal dan nyawa. Syarak telah mensyariatkan jihad untuk menjaga agama, qisas untuk menjaga nyawa, hukuman hudud kepada penzina dan penuduh untuk menjaga keturunan (dan juga maruah), hukuman sabetan kepada peminum arak untuk menjaga akal, dan hukuman potong tangan ke atas pencuri untuk menjaga harta.

2.    Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’,
karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, kemaslahatan harta riba untuk menambah kakayaan, kemaslahatan minum khomr untuk menghilangkan stress, maslahah orang- orang penakut yang tidak mau berjihad, dan sebagainya. Contoh lain terkait dengan hukuman Penguasa Sepanyol yang melakukan hubungan seksual di bulan Ramadhan dengan mendahulukan berpuasa dua bulan berturut-
turut dan memberi makan fakir miskin 60 orang dibanding memerdekakan budak, oleh Al-Laits Ibn Sa’ad (94-175 H/ Ahli fiqh Maliki di Spanyol).

3.    Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi menjadi dua, yaitu :
(a)    Maslahah al-Gharibah,
 yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci mapun secara umum. Para ulama ushul fiqh (masa itu) tidak dapat menemukan contoh pastinya. Bahkan Imam as-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada dalam teori.
(b)   Maslahah al-Mursalah,
 yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’
atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash
(ayat atau hadist).

Macam-Macam Maslahah Berdasarkan Tingkatannya. Berdasarkan pandangan syar’i dan dalil-dalil nash serta untuk menjaga maqashid al-syari’ah, para ulama menggolongkan maslahah menjadi tiga tingkatan[5]:

1.    Maslahah Dhoruriyyat, Yaitu maslahah yang ditetapkan demi keberlangsungan hidup manusia di dunia maupun diakherat. Sekiranya maslahah ini tidak terealisisir, maka hilanglah kehidupan manusia di dunia, hilanglah kenikmatan dan tersiksalah di akherat. Maslahah ini meliputi lima hal yang telah disebutkan di atas, yang menjadi maqasid al-syari’ah.
2.    Maslahah Hajiyyat, Yaitu maslahah yang dibutuhkan oleh manusia hanya untuk menghilangkan kesulitan pada dirinya. Sekiranya maslahah tersebut tidak tercapai, maka hidup manusia akan merasa kesulitan dan kesusahan, tidak sampai menghilangkan kehidupannya.[6] Maslahah ini terdapat pada masalah furu’ yang bersifat mu’amalah, –seperti jual beli– serta berbagai macam keringanan (rukhsoh) yang telah ditetapkan oleh syari’, misalnya menjama’ dan menqashar shalat bagi musafir, berbuka bagai orang orang hamil dan menyusui dan lain sebagainya.
3.    Maslahah Tahsiniyyat, Yaitu maslahah yang dimaksudkan untuk memperbaiki adat kebiasaan dan memulyakan akhlak manusia. Seperti bersuci ketika akan melakukan shalat, memakai perhiasan, wangi-wangian, haramnya makanan yang kotor dan lain sebagainya.
Oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung kemashlahatan dhorury menjadi lebih penting untuk didahulukan dan dijaga daripada hukum-hukum yang bersifat hajjiyat apalagi yang bersifat tahsiniy/takmily.
F.     Para ulama tentang Maslahah Mursalah
1.      Pandangan Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menerima Maslahah Mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas penerapanya. Untuk menjadikan maslahah mursalah menjadi dalil, ulama Malikiyah dan Hanabilah bertumpu pada;
a.)  Praktek para sahabat yang telah menggunakan maslahah mursalah diantaranya, saat sahabat mengumpulkan al-Quran kedalam beberapa mushaf. Padahal hal ini tidak dilakukan pada masa Rosululloh SAW. Alasan yang mendorong mereka tak lain untuk menjaga al-Quran dari kepunahan karna banyak hafidz yang meninggal. Selain itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah, “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”(Q.S: Al-hijr).
b.) Adanya maslahath berarti sama dengan merealisasikan maqosid as-syari’. Oleh karena itu, wajib menggunakan dalil maslahah karena merupakan sumber hukum pokok yang berdiri sendiri.
c.)  Seandainya maslahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat, maka orang-orang mualaf   akan mengalami kesulitan, Allah berfirman:
Artinya; “Dia tidak sekali-kali menjadikan kamu dalam agama suatu kesempitan” (Q.S: Al Hajj 78). Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh imam malik dan hanabilah.

2.      Pandangan golongan syafi’i dan hanafi
Sedangkan dari golongan syafi’I dan hanafi tidak mengagap maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan memasukannya kedalam bab qiyas. Para penolak legalitas maslahah mursalah mendasarkan pendapatnya dengan beberapa alasan:
a.)  Penerapan maslahah mursalah berpotensi mengurangi kesakralitasan hukum-hukum syariat.
b.) Posisi maslahah mursalah berada dalam pertengahan penolakan syara’ dan pengukuhannya pada sebagian yang lain.
c.)  Penerapan maslahah mursalah akan merusak unitas dan universalitas syariat islam.

3.      Pandangan jumhur ulama
Jumhur ulama menerima maslahah mursalah sebagai metode ishtinbath hukum dengan alasan:
a.)  Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat  manusia.
b.) Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman dan lingkungan mereka sendiri.  Apabila syariat islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.

G.    Kemashlahatan dalam Pandangan Ulama Al- Thufi
Najm al-Din al-Thufi (675-716 H / 1276-1316 M), sebagaimana dikutip Musthafa Zaid berpendapat bahwa menurut al-Thufi, al-maslahah al-mursalah merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam menetapkan hukum syara’, baik maslahah itu mendapat dukungan dari syara’ maupun tidak. Karenanya ia tidak membagi maslahah tersebut, sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh di atas.[7]
Di antara pemikiran at-Thufi yang amat bertentangan dengan arus umum mayoritas ulama ushul fiqh tentang konsep maslahah bertolak dari hadis Rasulullah yang berbunyi :
Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh (pula) dimudaratkan (orang lain)
Menurutnya, inti dari seluruh ajaran Islam yang termuat dalam nash adalah maslahah bagi umat manusia. Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan disyari’atkan dan kemaslahatan itu tidak perlu mendapatkan dukungan dari nash, baik oleh nash tertentu maupun oleh makna yang terkandung dalam oleh sejumlah nash. Oleh karena itu, maslahah menurutnya merupakan dalil yang paling kuat yang secara mandiri dapat dijadikan alasan dalam menentukan hukum syara’.
Menurut at-Tufi maslahat tidak berlaku pada bidang ibadah, muqaddarad dan sejenisnya. At-Tufi membangun pendapatnya di atas, atas empat dasar sebagai berikut;
1)      Akal manusia dapat menemukan dan membedakan mana maslahat dan mana mafsadat. Karena akal manusia dapat membedakan mana maslahat dan mana yang mafsadat.
2)      Maslahat menurut at-Tufi merupakan dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari nash.
3)      Lapangan operasional maslahat, hanya dalam bidang muamalah dan adat, bukan pada bidang ibadah dan muqoddarod.
4)       Maslahat merupakan dalil hukum Islam yang paling kuat, karena itu menurut at-Tufi, maslahat bukan hanya hujjah ketika tidak ada nash dan ijma’ melainkan harus pula didahulukan atas nash dan ijma’ ketika terjadi pertentangan di antara keduanya. Menurut Ahmad Munif Surtmaputra, pengutamaan maslahat atas nash dan ijma’ tersebut dilakukan oleh at-Tufi dengan jalan takhsis dan bayan, bukan dengan jalan meninggalkan nash, sebagaimana mendahulukan as-Sunnah atas al-Qur’an dengan jalan bayan.[8] Pengutamaan maslahah atas nash qoth’i dan ijma’ didasarkan pada argumen:
a.    Bahwa ijma’ itu kehujahannya diperselisihkan oleh para ulama, sedang maslahah disepakati termasuk oleh mereka yang menentang ijma’. Ini berarti bahwa mendahulukan sesuatu yang disepakati (maslahah) atas sesuatu yang di perselisihkan (ijma’), lebih utama di mata al-Thufi.
b.    Bahwa nash itu banyak mengandung pertentangan, dan hal inilah, yang salah satunya, menjadi sebab terjadinya perbedaan pendapat yang tercela dalam hukum menurut pandangan syara’. Sedang, memelihara maslahah secara substansial merupakan sesuatu yang hakiki, yang tidak diperselisihkan. Dengan demikian, pengutamaan maslahah merupakan sebab terjadinya kesepakatan yang dikehendaki oleh syara’.
Meskipun terdapat sejumlah kritik terhadap konsep dan argumentasi yang dikemukakan oleh at- Thufi, namun pada kenyataan teorinya banyak diikuti para ulama generasi berikutnya.

H.    Pengertian ‘Urf :
‘Urf adalah : sesuatu yang telah dikenal dengan orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia juga disebut : adat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara’, tidaka ada perbedaan antara ‘urf dan adat kebiasaan. Maka ‘urf yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shighat lafzhiyyah (ungkapan melalui perkataan). Sedangkan ‘urf yang bersifat pemutlakan lafazh “Al-walad” terhadap anak laki-laki, bukan anak perempuan, dan saling pengertian mereka untuk tidak memutlakan lafazh “Al-Lahm” (daging) terhadap ikan.
‘Urf tersebut terbentuk dari saling pengertian orang banyak, sekalipun mereka berlainan stratifikasi sosial mereka, yaitu kalangan awam dari masyarakat, dan kelompok elite mereka. Ini berbeda dengan ijma’, karena sesungguhnya ijma’ terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak ikut campur tangan dalam membentuknya.

I.       Pembagian ‘Urf :
Dilihat dari segi obyeknya, ‘Urf dibagi dua, yaitu urf lafzhi dan urf amali :
1.      Urf lafzhi ialah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafazh tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas di pikiran masyarakat. Seperti kebiasaan masyarakat arab menggunakan kata “walad” untuk anak laki-laki. Padahal, menurut makna aslinya kata itu berarti anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga kebiasaan mereka menggunakan kata “lahm” untuk daging binatang darat, padahal Alqur’an menggunakan kata itu untuk semua jenis daging, termasuk daging ikan, penggunaan kata “dabbah” untuk binatang berkaki empat, padahal kata ini menurut aslinya mencakup semua binatang yang melata.

2.      Urf amali ialah kebiasaan masyarakat yeng berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperadatan. Seperti kebiasaan masyarakat melakukan jual beli dengan tanpa akad (bai’al-tha’thi), kebiasaan sewa kamar mandi tanpa dibatasi waktu dan jumlah air yang digunakan, kebiasaan sewa-menyewa perabot rumah, penyajian hidangan bagi tamu untuk dimakan, mengunjungi tempat-tempat rekreasi pada hari libur, kebiasaan masyarakat memberi kado pada acara ulang tahun, dan lain-lain.

Dari segi cakupannya Urf dibagi dua, yaitu urf amm dan urf khash:
1.      Urf amm ialah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan seluruh daerah. Contoh urf amm yang berbentuk perbuatan misalnya dalam jual beli mobil, seperti kunci, tang, dongkrak dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad tersendiri dan biaya tambahan. Yang berupa ucapan (al-urf al-qouli al-amm) misalnya pemakaian/pemaknmaan kata “thalaq” untuk lepasnya ikatan perkawinan dan lain-lain.

2.      Urf khash ialah kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu, seperti kebiasaan masyarakat jawa merayakan lebaran ketupat, sekatenan, atau kebiasaan masyarakat bengkulu merayakan tabot pada bulan muharram. Demikian juga kebiasaan yang berlaku pada bidang pekerjaan dan profesi tertentu, seperti kebiasaan di kalangan pengacarahukum bahwa jasa pembelaan hukum yang akan dilakukannya harus dibayar dahulu sebagian oleh kliennya dan kebiasaan mencicipi buah tertentu bagi calon pembeli untuk mengetahui rasanya. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa seperti dikutip Haroen, bahwa urf khash ini tidak terhitung jumlahnya dan senantiasa berkembang sesuai situasi dan kondisi masyarakat.

Dilihat dari segi diterima atau ditolaknya urf dubagi dua yaitu:
1.      Urf shahih, ialah urf yang tidak bertentangan dengan salah satu dalil syara’, tidak bertentangan dengan masalah mu’tabarah dan tidak mendatangkan mafsadah yang nyata. Urf shahih adalah urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara’. Seperti mengadakan pertunangan sebelum akad nikah. Atau kebiasaan masyarakat bersalaman dengan teman sesama jenis kelamin kala bertemu.

2.      Urf fasid, yaitu urf  yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara’. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian. Atau seperti kebiasaan para pedagang mengurangi timbangan.

 Hukum urf yang shahih harus dipelihara dan dilestarikan sebagai bagian dari hukum islam. Sedangkan urf fasid harus ditinggalkan kerana bertentangan dengann dalil dan semangat hukum islam dalam membina masyarakat.

J.      Hukum ‘Urf :
Adapun ‘Urf yang shahih, maka wajib dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam peradilan. Seorang mujtahid haruslah memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim juga harus memperhatikannya dalam peradilannya. Karena sesungguhnya sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah biasa mereka jalani, maka hal itu telah menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai pula dengan kemaslahatan mereka. Oleh karena itu, maka sepanjang ia tidak bertentangan dengan syara’, maka wajib diperhatikan. Syar’i telah memelihara terhadap tradisi bangsa arab dalam pembentukan hukumnya. Misalnya, menetapkan kewajiban denda atas orang perempuan berakal, mensyarat kan adanya keseimbangan (Kufu’) dalam perkawinan dan memperhitungkan ahli waris yang tidak mendapat bagian pasti dalam perwalian dan pembagian harta waris.
Oleh karena itu Ulama’ berkata :
العادة شريعة محكّمة
Artinya :
“adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum”.
‘Urf mendapat pengakuan di dalam syara’. Imam banyak mendasarkan hukumnya atas amal perbuatan penduduk madinah. Abu hanifah dan para pemgikutnya berbeda pendapat mengenai sejumlah  hukum berdasarkan perbedaan ‘Urf mereka. Imam Syafi’i ketika turun ke mesir, maka ia merubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika ia berada di baghdad, karena perubahan ‘urf. Karena ini pula lah, maka ia mempunyai dua mazhab, yaitu :
1.      Mazhab lama, dan
2.      Mazhab baru.
Demikian pula di dalam fiqh mazhab Hanafiyyah terdapat sejumlah hukum yang di dasarkan atas ‘urf. Diantaranya ialah : apabila dua orang yang saling dakwa-mendakwa berbeda pendapat dan tidak ada bukti pada salah seorang dari mereka, maka perkataan yang diterima adalah orang yang disaksikan oleh ‘urf. Apabila suami isteri tidak sepakat atas mahar yang harus didahulukan dan mahar yang diakhirkan penyerahannya, maka hukum yang diputuskan adalah kebiasaan. Barang siapa yang bersumpah tidak akan memakan daging, kemudian ia memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya, atas dasar kebiasaan (‘Urf). Benda yang dapat dipindah-pindahkan sah untuk diwakafkan apabila ‘Urf tentang hal itu berlaku. Persyaratan dalam perjanjian adalah sah apabila ada pengakuan oleh syara’, atau dikehendaki oleh perjanjian itu sendiri, atau diberlakukan oleh ‘urf.

Almarhul al-‘alamah ibnu ‘Abidin telah menyusun sebuah risalah yang ia namakan :
نشرالعرف فيما بني من لأحكام على العرف
(penyebaran ‘urf dalam hukum yang didasarkan atas ‘urf)
Diantara ungkapan yang terkenal ialah :
المعروف عرفا كا لمشروط شرطا. والثّابت با لمعروف كالثّابت بالنّصّ.
Artinya :
“sesuatu yang dikenal sebagai adat kebiasaan adalah seperti sesuatu yang dipersyaratkan sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap berdasarkan ‘urf adalah seperti sesuatu yang tetap berdasarkan nash”.
Adapun ‘urf fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka ia tidak wajib diperhatikan, karena memperhatikannya berarti bertentangan dengan dalil syar’i, atau membatalkan hukum syar’i. Maka apabila manusia telah terbiasa mengadakan suatu perjanjian yang termasuk diantara perjanjian yang fasid, seperti perjanjian yang bersifat riba, atau perjanjian yang mengandung penipuan atau bahaya, maka ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh terhadap pembolehan perjanjian tersebut. oleh karena inilah, maka dalam undang-undang yang dibuat, ‘urf yang bertentangan dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui. ‘urf hanyalah dilihat dalam perjanjian seperti ini dari segi lain, yaitu : sesungguhnya perjanjian itu apakah termasuk kondisi darurat manusia atau termasuk dari kebutuhan mereka, dimana apabila akad itu dibatalkan, maka struktur krhidupan mereka akan rusak, atau mereka akan memperoleh keberatan dan kesempitan ataukah tidak ? jika akad tersebut termasuk kondisi darurat mereka atau kebutuhan mereka, maka ia diperbolehkan. Karena sesungguhnya darurat memperbolehkan hal-hal terlarang. Sedangkan kebutuhan ditempatkan pada tempat darurat dalam masalah ini. Akan tetapi jika ia tidak termasuk kondisi darurat mereka dan tidak pula termasuk kebutuhan mereka, maka ia diputuskan kebatalannya, dan tidak di akui adanya ‘urf itu.
Hukum yang didasar kan atas ‘urf dapat berubah dengan perubahannya pada suatu masa atau tempat. Karena sesungguhnya cabang akan berubah dengan perubahan pokoknya. Oleh karena inilah dalam perbedaan pendapat semacam ini, fuqaha’ mengatakan : “sesungguhnya perbedaan tersebut adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan dalil”.
Setelah dibuktikan, sebenarnya ‘urf bukanlah suatu dalil syar’i yang berdiri sendiri. Biasanya ‘urf adalah termasuk dari memelihara maslahah mursalah. Sebagaimana ia diperhatikan didalam pembentukan berbagai hukum, ia juga diperhatikan dalam menginterpretasikan nash-nash. Ia dapat dipergunakan untuk mentakhsishkan lafazh yang ‘am (umum), dan membatasi terhadap yang mutlak. Qiyas terkadang ditinggalkan karena ada ‘urf. Oleh karena itulah perjanjian produksi adalah sah, karena berlakunya ‘urf padanya. Jika di qiyaskan, tentu ia idak tidak sah, karena ia merupakan perjanjian atas`sesuatu yang tidak ada.



KESIMPULAN

maslahah mursalah ialah kemashlahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ dalam penetapan hukum dan tidak ada dalil yang menyruh mengambil atau menolaknya.
Syarat-syarat maslahah mursalah:
1.    Maslahah tersebut harus maslahah yang hakiki,
2.    Kemashlahatan tersebut harus kemashlahatan umum,
3.    Kemashlahatan tersebut sesuai dengan maqashid al-syari’ah dan tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’,
4.    Kemashlahatan tersebut harus selaras dan sejalan dengan akal sehat,
5.    Pengambilan kemashlahatan tersebut harus untuk merealisasikan kemashlahatan dharuriyah.
Pembagian maslahah dari segi pandangan syara’: Maslahah mu’tabarah, Maslahah mulghah, dan Maslahah mursalah.
Pembagian maslahah berdasarkan tingkatannya: Maslahah dharuriyah, Maslahah hajiyah, dan Maslahah tahsiniyah
‘‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah di kenal dan menjadi kebiasaan manusia baik berupa ucapan, perbuatan atau tidak melakukan sesuatu.
Syarat-syarat ‘‘Urf:
1.    ‘Urf tersebut harus benar-benar merupakan kebiasaan masyarakat,
2.    ‘Urf tersebut harus masih tetap berlaku pada saat hukum yang didasarkan pada ‘Urf tersebut ditetapkan,
3.    Tidak terjadi kesepakatan untuk tidak memberlakukan ‘Urf oleh pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,
4.    ‘Urf tersebut tidak bertentangan dengan nash atau prinsip-prinsip umum syari’at.
Pembagian ‘‘Urf dari segi obyeknya:’Urf lafzil qauli dan ‘Urf amali Pembagian ‘‘Urf dari segi cakupannya adalah ‘Urf amm dan ‘Urf khash.



DAFTAR PUSTAKA

Ø  Jawari Mughni Muhammad, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Ilmi, Bairut, 1975
Ø Al-imam Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Multazam At-tib’u Wa An-nashr, 1958
Ø Ptof. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2005
Ø Prof. Dr. Satria Efendi,m. Zein, M.A, Ushul Fiqh, Jakarta, Kencana, 2008
Ø Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Drs. H. Januri, M. Ag., Fiqh Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 2008
Ø Suwarjin, M.A Ushul Fiqh, Teras, Yogyakarta, 2012



[1] Nasrun Haroen, ushul fiqh, jakarta, logos, 1997
[2] Zaidan, al- Wajiz, beirut, muassasah al-risalah, 1996
[3] ibid
[4] Ibid, hlm. 240
[5] Alaidin Koto, ilmu fiqh dan ushul fiqh (jakarta, raja grafindo persada, 2004, hlm 122
[6] Az-zuhaili, ushul, hlm.125
[7] Suwarjin, ushul Fiqh, yogyakarta, teras, 2012, hlm. 146
[8] Ibid, hlm. 147